Ini Tiga Sektor Penting Upaya Peningkatan IPK dari KPK

:


Oleh Pasha Yudha Ernowo, Jumat, 10 Februari 2023 | 14:40 WIB - Redaktur: Untung S - 399


Jakarta, InfoPublik - Menurunnya angka Corruption Preception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2022 menjadi rambu dan perhatian bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Berdasarkan data Transparency International, Indonesia mendapati skor 34 atau turun empat poin dari tahun sebelumnya. Catatan itu menempatkan Indonesia pada ranking 110 dari 180 negara.

Tren IPK Indonesia mengalami fluktuasi dalam beberapa tahun terakhir. Dimana angka tertinggi yang pernah didapat ialah 40 pada 2019 dan terendah pada 2012-2013 dengan skor 32. Hal itu pun menjadi pembahasan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) KPK bersama Komisi III DPR, yang berlangsung di Gedung DPR RI.

Firli Bahuri, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menjelaskan penurunan angka CPI 2022 bersumber dari tiga indikator utama. Pertama, Political Risk Services (PRS) International Country Risk Guide, kedua, IMD World Competitiveness Yearbook, dan ketiga, Political Economic Risk Consultancy (PERC) Asia Risk Guide.

“Ketiga aspek itu sangat berpengaruh pada sektor prioritas di Indonesia yaitu sektor dunia usaha, sektor politik, dan sektor layanan publik,” kata Firli, dalam keterangan tertulis yang diterima InfoPublik, Jumat (10/2/2023).

Lanjut Firli, berdasarkan risk assessment ada konflik kepentingan antara politisi dan pelaku usaha. Perilaku suap untuk mendapatkan perizinan ekspor, perizinan impor, proses pemeriksaan pajak, dan pinjaman yang masih terus terjadi. Hubungan illegal politik dan bisnis, sistem kroni, nepotisme, reservasi jabatan, imbal bantuan, pendanaan rahasia juga masih masif.

Di sisi lain, penyebab menurunnya IMD World Competitiveness ialah tingkat suap dan korupsi di dalam dunia usaha. Dimana terjadi persaingan usaha yang tidak sehat dengan menggunakan cara-cara kotor. “Sementara penurunan PERC dipengaruhi pada persepsi korupsi di kalangan eksekutif lokal, akademisi, dan ekspatriat yang sering ditemukan di institusi,” jelas Firli.

Uraian masalah di atas menunjukkan perlunya perbaikan secara masif dan terstruktur pada dunia bisnis, politik, dan hukum di Indonesia jika ingin skor CPI meningkat pada tahun yang akan datang.

Melihat penurunan skor CPI 2022, tentunya tidak membuat KPK tinggal diam. Tiki-taka program pemberantasan korupsi dibawah payung Trisula Pemberantasan Korupsi terus dijalankan secara stimultan dengan harapan memberikan dampak yang signifikan.

Pada sektor ekonomi, KPK melalui Direktorat Antikorupsi Badan Usaha (AKBU) telah memfasilitasi pembangunan ekosistem dan lingkungan bisnis yang bersih dari korupsi terutama dari praktik suap, gratifikasi, dan pemerasan. KPK mendorong implementasi sistem manajemen Anti-Penyuapan (SMAP). Salah satunya dengan menerapkan panduan cegah korupsi. Dimana badan usaha dapat mengadopsi prinsip panduan cegah korupsi dengan mengaksesnya melalui laman JAGA.ID.

Selain itu, KPK juga membangun Unit Pengendali Gratifikasi (UPG) melalui sinergi bersama berbagai instansi pada kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah (KLPD). KPK pun mendorong KLPD untuk menerapkan Whistle Blowing System sebagai upaya pengendalian korupsi. Harapannya, langkah pencegahan ini mampu mendorong terbangunnya lingkungan usaha yang berintegritas.

Sementara di sektor politik, KPK telah menjalankan program Politik Cerdas Berintegritas (PCB). Pada 2022, PCB telah diikuti oleh 20 Parpol (16 Parpol nasional dan 4 parpol lokasl Aceh) serta penyelenggara pemilu pusat maupun daerah. Pada 2023, KPK akan melanjutkan program itu kepada 6 Parpol.

Lalu, pada sektor penegakan hukum KPK menemukan fakta belum efektifnya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Bahkan, masih ditemukan praktik korupsi di lembaga penegak hukum itu sendiri. Hal ini menjadi catatan serius mengingat seharusnya APH menjadi garda terdepan penegakan hukum di Indonesia.

Pada dasarnya, KPK senantiasa tidak henti menjalankan program pemberantasan korupsi baik pada sektor pendidikan, pencegahan, dan penindakan. Tika-taka program ini tentunya akan berjalan secara efektif jika didukung oleh pelbagai pihak—utamanya lembaga negara, DPR, DPRD, APH, Pemda, dan masyarakat mau berkolaborasi bersama.

Hal itu menjadi penting karena komponen IPK sangat luas (ekonomi, demokrasi, layanan publik, politik). Sehingga perlu dikoordinasikan oleh pemerintah, karena adanya keterbatasan kewenangan pada masing-masing instansi.

“KPK berharap pentingnya kolaborasi dan saling menurunkan ego sektoral agar pemberantasan korupsi di Indonesia bisa menjadi kenyataan,” tutup Firli.

Foto: Dok KPK