:
Oleh Eko Budiono, Selasa, 20 September 2022 | 14:53 WIB - Redaktur: Untung S - 1K
Jakarta, InfoPublik – Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo, menyampaikan penjelasan terkait 14 isu krusial dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP) yang mendapat resistensi dari masyarakat.
Hal tersebut disampaikan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo, dalam Webinar Dialog Publik Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP) yang digelar oleh Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP). Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Selasa (20/9/2022).
Guru besar yang biasa disapa Prof Tuti itu menuturkan isu pertama soal living law atau pidana adat dalam pasal 2 dan pasal 601 RUU KUHP.
“Living law itu sebagai penghormatan terhadap hukum adat selama tidak melanggar hak asasi manusia, Pancasila, dan asas hukum internasional,” katanya.
Menurutnya, living law ditetapkan berdasarkan kesepakatan dari pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD).
Isu krusial kedua, kata Prof Tuti, yakni pidana mati yang diatur dalam pasal 67 dam 100 RUU KUHP.
Menurutnya, Indonesia masih memerlukan pidana mati dalam RUU KUHP.
Prof Tuti menegaskan, pidana mati dalam RUU KUHP diatur sebagai pidana yang bersifat khusus, dan selalu dicantumkan alternatif dengan jenis pidana lainnya yakni pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.
“Pidana mati juga dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun apabila memenuhi persyaratan,” katanya.
Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan perbuatan terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden.
Isu ketiga, kata Prof Tuti, yakni penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.
Ketentuan soal penyerangan atau menghina presiden dan wakil presiden diatur dalam Pasal, 218, 219, 220. Pasal itu menyebut, setiap warga negara yang menghina presiden dapat dipidana 3,5 tahun.
Pasal tersebut merupakan delik aduan.
"Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan; Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden".
Menurut Prof Tuti, pasa-pasal tersebut tidak bertujuan untuk membatasi demokrasi dan kebebasan berpednapat.
Sedangkan isu keempat, kata Prof Tuti, terkait dengan santet atau tindak pidana menyatakan diri memiliki kekuatan gaib atau untuk mencelakakn orang lain yang diatur dalam pasal 252 RUU KUHP.
Di dalam Pasal 252 Ayat (1) disebutkan, setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV (Rp200 juta).
Jika setiap orang melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (vide Ayat 2).
Selanjutnya, disebutkan dalam penjelasan Pasal 252 RUU KUHP bahwa ketentuan itu dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic), yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya.
Ketentuan itu dimaksudkan juga untuk mencegah secara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun teluh (santet).
Prof Tuti mengatakan, pasal itu sebenarnya untuk melindungi religiusitas dalam sila pertama Pancasila.
Sedangkan isu kelima yakni terkait unggas dan ternak yang rusak kebun.
Pada Pasal 278 yang mengatur, bahwa setiap orang yang membiarkan unggas atau ternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain.
Menurut Prof Tuti, pasal itu bertujuan untuk melindungi kepentingan para petani.
Isu krusial keenam yakni contempt of court atau mengatur soal penghinaan terhadap proses peradilan yang diatur dalam pasal 280 RUU KUHP.
Menurut Prof Tuti, aturan itu untuk menjaga ketertibang persaiangan serta melindungi wibawa pengadilan.
“Pasal tersebut tidak mengurangi kebebasan pers,” katanya.
Sedangkan isu ketujuh terkait penodaan agama yang diatur dalam pasal 302 RUU KUHP.
Menurur Prof Tuti, aturan soal penodaan agama itu bertujuan agar tidak terjadi main hakim sendiri di negara multireligi seperti Indonesia.
"Setiap orang di muka umum yang menghasut untuk melakukan permusuhan, Kekerasan, atau diskriminasi, terhadap agama, kepercayaan, orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V," demikian bunyi Pasal 302.
Isu kedelapan yakni pasal mengenai penganiayaan hewan.
Prof Tuti menegaskan pasal itu masih diperlukan diatur dalam pasal 340.
Pada Pasal 340 ayat 1 huruf (a) menyangkut penganiayaan hewan, pemerintah mengusulkan untuk mengganti frasa "berpengaruh" menjadi merusak. Pada penjelasan, ditambahkan keterangan yang dimaksud dengan "kemampuan kodrat" adalah kemampuan hewan yang alamiah.
Isu kesembilan yakni mencegah kehamilan dan menggugurkan kandungan.
Ketentuan soal alat kontrasepsi diatur dalam tiga pasal. Masing-masing Pasal 412, 413, dan 414.
Pasal 412 menyebutkan, setiap orang yang secara terang-terangan menawarkan atau menunjukkan alat pencegah kehamilan kepada anak, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori satu.
Menurut Prof Tuti, pidana tidak dapat dijatuhkan jika yang melakukan hal tersebut merupakan seorang kompeten, atau dilakukan untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Sedangkan isu kesepuluh yakni soal aborsi atau pengguguran kandungan diatur dalam sejumlah pasal 467 RUU KUHP.
Pasal 467 ayat 1 menyebutkan, "Setiap perempuan yang melakukan aborsi dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun".
Prof Tuti menyatakan, pidana tidak berlaku jika aborsi dilakukan kepada korban kekerasan seksual, dengan masa kehamilan tidak lebih dari 12 minggu atau ada indikasi darurat medis.
Isu kesebelas yakni terkait gelandangan yang diatur dalam pasal 429. Di dalamnya menyebutkan, "Setiap Orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I (atau sekitar Rp1,5 juta)".
Sementara itu, isu kesebelas yakni mengenai perzinaan. Pasal perzinaan merupakan delik aduan.
Menurutnya, penuntutan hanya bisa dilakukan terhadap pelaku jika hanya dilaporkan dua pihak. Pertama, suami atau istri. Kedua, orang tua atau anak.
"Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II (Rp7,5 juta)," demikian bunyi Pasal 415.
Sedangkan isu ketigabelas mengenai kohabitasi atau kumpul kebo.
Kohabitasi adalah dua orang lawan jenis yang tinggal satu atap di luar ikatan pernikahan. RUU KUHP mengancam pidana bagi seseorang yang melakukan kohabitasi.
Pasal kohabitasi diatur dalam Pasal 416. Ayat 1 menyebutkan, "Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II".
Prof Tuti menuturkan, kohabitasi hanya bisa dilakukan penuntutan jika dilaporkan dua pihak, suami atau istri; anak atau orang tua.
Dia menambahkan, isu keempat belas yakni perkosaan yang diatur dalam pasal 477 RUU KUHP.
Pasal tersebut menyebutkan, seseorang bisa dipidana jika melakukan kekerasan atau ancaman bersifat memaksa orang lain bersetubuh bisa dipidana 12 tahun penjara.
Pada ayat 2 dijelaskan, perbuatan perkosaan meliputi persetubuhan suami atau istri, anak, seseorang yang tidak berdaya dan penyandang disabilitas.
Selanjutnya, penuntutan atas dugaan perkosaan dalam hubungan perkawinan bisa dilakukan jika ada pengaduan dari korban. Hal ini tercantum pada ayat 6.
Foto: You Tube DJIKP Kominfo