:
Oleh Wandi, Jumat, 29 April 2016 | 08:14 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 294
Jakarta, InfoPublik - Ketua Umum Forum Kajian Konstitusi, Victor Santoso Tandiasa menilai sikap pimpinan DPD RI menolak menandatangani pengaturan masa jabatan pimpinan DPD dari lima tahun menjadi dua setengah tahun melalui draf revisi Tata tertib DPD merupakan tindakan yang tepat.
“Jadi langkah pimpinan DPD yang tidak mau menadatangani tatib DPD yang akan mengatur masa jabatan pimpinan DPD dari lima tahun menjadi dua setengah tahun sudah tepat. Ini menjadi pembelajaran bagi anggota DPD karena pimpinan DPD tidak boleh melanggar sistem peraturan perundang-undangan yang ada,” kata Victor di Jakarta, Kamis (28/4).
Menurut dia, melihat konstitusi, tidak tepat pengaturan tentang masa jabatan pimpinan DPD diatur dalam draf tatib DPD karena akan mengakibatkan ketidakstabilan proses kepemimpinan di DPD. Harusnya itu diatur dalam undang-undang.
“Jika masa jabatan pimpinan dapat diubah-ubah hanya dengan draf tatib, akan menjadi alat tawar menawar. Kalau diloloskan, ke depan mereka meminta masa jabatan pimpinan DPD diganti setiap tahun. Ini kan lembaga negara menjadi tidak stabil dan akan mengganggu tugas dan tanggung jawab pimpinan DPD,” tegasnya.
Dia membandingkan aturan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam UUD 1945 yakni untuk lima tahun.
“Tentu sangat menurunkan wibawa legislatif jika pengaturan masa jabatan Presiden diatur di UUD 1945, sementara masa jabatan Pimpinan DPD (termasuk MPR dan DPR) sebagai primary constitutional organs hanya diatur dalam peraturan internal. Seharusnya diatur dalam tingkatan undang-undang," sarannya.
MPR, DPR dan DPD tambah Victor adalah salah satu pelaku kekuasaan negara utamanya kekuasaan legislatif yang mewakili kepentingan rakyat untuk membentuk peraturan dan mengawasi pelaksanaan peraturan, kedudukan kekuasaan legislatif adalah sederajat dengan kekuasaan eksekutif yang dikepalai oleh presiden.
“Hal tersebut diperkuat dengan Pasal 22C ayat (4) yang mengatakan bahwa Susunan dan Kedudukan DPD diatur dengan Undang-undang, artinya masa jabatan pimpinan DPD seharusnya sudah masuk dalam lingkup kedudukan DPD yang diatur dalam Undang-Undang MD3," tegasnya.
Jika hal ini dibiarkan, Victor khawatir masyarakat akan melihat DPD sebagai lembaga yang tidak memiliki fungsi penting dan hanya sibuk dengan urusan perebutan kekuasaan. DPD juga akan dinilai mengabaikan tugas yang diberikan oleh negara untuk ikut mewujudkan kesejahteraan rakyat.
“Akibatnya, sangat mungkin nantinya rakyat meminta DPD dibubarkan karena memakan anggaran yang berasal dari rakyat tanpa kerja yang jelas, melainkan hanya sibuk berebut kekuasaan," katanya.
Menurutnya, anggota DPD tidak memiliki kewenangan untuk melakukan hal itu karena kewenangan DPD hanya menyangkut legislasi, anggaran dan pengawasan yang menyangkut daerah.
“Jadi selain tidak ada aturan perundangan yang memerintahkan bahwa aturan masa jabatan pimpinan DPD diatur dalam draf tatib juga karena itu bukan kewenangan DPD untuk mengatur masa jabatan tersebut,” katanya.