Indonesia-Afghanistan Tingkatkan Kerja Sama Industri

:


Oleh Wawan Budiyanto, Kamis, 6 April 2017 | 23:23 WIB - Redaktur: Juli - 1K


Jakarta, InfoPublik - Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan Afghanistan merupakan mitra dagang nonmigas terbesar di Asia Tengah yang dapat dijadikan peluang kerja sama ekonomi untuk dapat meningkatkan total perdagangan serta mengoptimalkan keuntungan komparatif dan kompetitif bagi kedua negara.

"Kami berkomitmen untuk memperkuat dan melanjutkan kerja sama bilateral terutama di sektor industri. Sebagai negara yang sama-sama memiliki penduduk muslim yang besar, Indonesia menganggap Afghanistan sebagai saudara yang penting dalam hubungan politik maupun ekonomi,” kata Menperin pada acara Business Dialogue Indonesia-Afghanistan di Jakarta, Kamis (6/4).

Menurut Menperin, secara historis, Afghanistan memiliki kedekatan khusus dengan Indonesia karena merupakan salah satu negara yang mengakui awal kedaulatan Republik Indonesia. Kedua negara telah menjalin hubungan yang baik selama 62 tahun dan berperan aktif menyukseskan Konferensi Asia Afrika tahun 1955.

Untuk itu Ia berharap, melalui dialog bisnis yang dihadiri perwakilan pemerintah dan pelaku usaha kedua negara, dapat menjadi ajang diskusi untuk saling membahas potensi kerja sama investasi.

Pada kesempatan tersebut, turut hadir Presiden Afghanistan Mohammad Ashraf Ghani dan Ketua Umum KADIN Indonesia Rosan P. Roeslani.

Pemerintah Afghanistan telah mengambil langkah reformasi untuk meciptakan iklim usaha yang kondusif. Oleh karenanya, pelaku bisnis Indonesia perlu melihat peluang dagang dan perluasan usaha ke negara tersebut.

"Yang masih potensial, antara lain sektor agrikultur, proyek infrastruktur, eksplorasi mineral, tekstil dan aneka, serta sektor industri kecil dan menengah,” ujarnya.

Menperin mengundang pelaku bisnis Afghanistan agar meningkatkan penanaman modal di Indonesia khususnya di industri manufaktur, mulai dari sektor barang konsumsi hingga barang modal.

"Selain itu termasuk jasa perawatan untuk mendukung proyek infrastruktur di dalam negeri. Kerja sama ini akan menempatkan Indonesia sebagai partner utama di Asia Tenggara untuk memenuhi kebutuhan pembangunan ekonomi Afghanistan," katanya.

Menperin pun memberikan apresiasi kepada kalangan pebisnis Afghanistan yang telah berinvestasi di Indonesia dengan nilai mencapai USD12,3 juta tahun 2016. Investasi tersebut, terdistribusi dominan di sektor industri kimia dan farmasi, sedangkan tahun sebelumnya lebih banyak di industri tekstil.

Diharapkan, penguatan hubungan bilateral akan membawa pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi masing-masing negara. "Dalam perdagangan antar negara, sejak tahun 2011 sampai 2015, walaupun terjadi fluktuasi, dapat tumbuh 3,83 persen rata-rata per tahun,” ungkapnya.

Di tahun 2015, total perdagangan kedua negara mencapai USD36,5 juta, bahkan pada 2014 mencatat capaian tertinggi sebesar USD77 juta. Presiden Ashraf menyatakan, peluang bagi Indonesia adalah dapat memanfaatkan posisi Afghanistan menjadi negara penghubung untuk masuk ke kawasan Asia Tengah dan Asia Selatan.

Pasalnya, Afghanistan tengah mengembangkan sejumlah pelabuhan di kawasan ekonomi khusus untuk membantu pengelolaan logistik bagi produk-produk yang akan didistribusikan baik ke Afghanistan maupun negara sekitar di kawasan Asia Tengah.

"Kami juga sedang menyediakan jalur transmisi listrik dan jalur pipa gas bagi beberapa negara di Asia Selatan," jelasnya.

Sementara itu, Rosan menjelaskan kendati kerja sama Afghanistan dinilai sebagai negara non-tradisional oleh dunia bisnis Indonesia, namun hal itu membuat potensi bisnis dan investasi kedua negara terbuka begitu besar.

"Sejumlah upaya dapat diusung untuk memperkuat pertukaran ekonomi dan bisnis selain membangun kepercayaan bersama dan kepercayaan diri diantara pebisnis serta upaya mempromosikan perdagangan secara langsung," ucapnya.

Merujuk data BKPM, nilai investasi Afghanistan di Indonesia pada periode 1 Januari 2010 hingga 30 Juni 2016 menempatkan pada peringkat ke-34 daftar investor asing di Indonesia. Nilai tersebut lebih besar daripada nilai investasi Selandia Baru (peringkat ke-35), Norwegia (peringkat ke-36) atau Arab Saudi (peringkat ke-39) pada periode yang sama.