Organisasi Pekerja Minta Presiden Segera Bentuk Komite Tapera

:


Oleh H. A. Azwar, Senin, 1 Agustus 2016 | 06:39 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 28K


Jakarta, InfoPublik - Undang-undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) telah disahkan oleh Presiden Jokowi pada tanggal 24 Maret 2016 lalu. UU Nomor 4 Tahun 2016 ini juga mulai berlaku sejak 24 Maret 2016.

Sesuai dengan amanat UU tersebut, yakni pada pasal 75 ayat 1, bahwa Presiden membentuk Komite Tapera paling lambat tiga bulan terhitung sejak UU ini diundangkan.

Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menyatakan, seharusnya Komite Tapera sudah terbentuk paling lambat 24 Juni 2016 lalu. Namun, Komite Tapera tersebut hingga saat ini, Senin, 1 Agustus 2016 belum juga terbentuk.

Ya, ketentuan tinggal ketentuan, walaupun Presiden yang menandatangani UU Tapera, tapi Presiden juga lah yang dengan sengaja melanggar Pasal 75 ayat 1 ini, kata Timboel di Jakarta, Senin (1/8).

Dia mengingatkan bahwa Komite Tapera ini sangat strategis perannya. Pasalnya, Komite ini dibentuk dalam rangka pembinaan pengelolaan Tapera. Adapun anggota Komite Tapera ini adalah Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Menteri Keuangan, Menteri Ketenagakerjaan, Komisioner OJK dan seorang dari unsur Profesional yang memahami bidang perumahan dan kawasan pemukiman. “Saya mendapat informasi bahwa saat ini sedang dilakukan proses pemilihan dari unsur profesional,” tutur Timboel.

Ditambahkannya, Komite Tapera diangkat dan diberhentikan oleh Presiden serta bertanggungjawab kepada Presiden. Masa jabatan komite ini 5 tahun. Sesuai UU Tapera disebutkan bahwa Komite Tapera membuat kebijakan umum yang harus dipatuhi oleh BP Tapera. Oleh karenanya segala Kebijakan Operasional yang dibuat BP Tapera harus sesuai dengan kebijakan umum dari Komite Tapera.

Dijelaskannya, Komite Tapera juga terlibat dalam pembuatan regulasi-regulasi yang diamanatkan UU Tapera seperti PP tentang Kepesertaan.  Saat ini kalangan pengusaha dan pekerja sedang menanti berapa persentase iuran dari pemberi kerja dan pekerja.

Perihal iuran ini juga yang akan ditetapkan oleh PP. Juga harus ada ketentuan tentang nilai MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) sebagai syarat untuk mendapatkan rumah. Demikian juga tentang manfaat Tapera ini bagi pekerja yang memiliki upah di atas MBR.

Bahwa pekerja yang memiliki upah di atas MBR tidak berhak mendapatkan rumah dari Tapera. Kalau pun ada imbal hasil untuk dana yang ditabung di Tapera maka imbal hasilnya juga belum jelas.

Hal ini berbeda dengan BPJS Ketenagakerjaan yang wajib memberikan imbal hasil JHT kepada peserta minimal sebesar rata-rata suku bunga deposito bank pemerintah. Kalau imbal hasil dana pekerja yang ditabung di Tapera di bawah suku bunga deposito maka peserta akan rugi.

Dengan mundurnya waktu penetapan Komite Tapera berarti kebijakan umum tentang Tapera juga akan terlambat dibuat. Ini, tentunya akan mempengaruhi pembuatan PP.

Dirinya berharap seluruh regulasi tersebut bisa secepatnya selesai sehingga pemerintah memiliki waktu cukup panjang untuk proses sosialisasi kepada seluruh masyarakat termasuk pengusaha dan pekerja/buruh.

Pembuatan regulasi tersebut juga seharusnya melibatkan para stakeholder seperti SP/SB dan Apindo. Ini perintah UU no. 12 tahun 2011. Jangan sampai kejadian keterlambatan pembuatan regulasi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketengakerjaan terjadi lagi untuk regulasi-regulasi di UU TAPERA ini sehingga proses sosialisasi BPJS waktu itu tidak terjadi, tegas Timboel.

Dijelaskannya, dengan terlambatnya pengangkatan Komite Tapera, maka pemilihan BP (Badan Pelaksana) Tapera juga akan terlambat. Komite Tapera berwenang menseleksi calon komisioner BP Tapera. Dengan keterlambatan proses pemilihan BP Tapera maka komisioner BP Tapera juga akan terlambat terbentuk.

Akibat keterlambatan pemilihan BP Tapera maka kerja-kerja Komisoiner BP Tapera akan terganggu seperti pembuatan kebijakan operasional pengelolaan Tapera, penetapan tata cara penunjukkan manager investasi, Bank Custodian, dan Bank atau perusahaan pembiayaan, ketentuan tentang tata cara pengadaan barang dan jasa, dan sebagainya.

Kalau semuanya terlambat maka pelaksanaan UU Tapera berpotensi akan terganggu. Kalau terganggu maka pekerja/buruh akan terhambat untuk memiliki rumah, jelasnya.

Timboel mengingatkan Presiden bahwa, saat ini masih banyak pekerja/buruh yang belum memiliki rumah walaupun sudah bekerja 10 tahun lebih. Saat ini mereka masih mengontrak rumah. Tiap bulan mereka menyisihkan sekitar hampir 30 persen dari upah mereka untuk membayar kontrakan rumah. Rumah merupakan kebutuhan dasar bagi pekerja/buruh.

Saya tahu, Pak Presiden masih sibuk mengurus UU Tax Amnesty tapi seyogyanya Pak Presiden tidak lupa UU Tapera. Semoga Bapak Presiden segera memerintahkan para menteri terkait untuk melaksanakan seluruh kewajiban yang ada di UU Tapera, pesan Timboel.