:
Oleh Amrln, Senin, 1 Agustus 2016 | 06:45 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 274
Jakarta, InfoPublik - Pengamat Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB) Yeka Hendra Fatika menilai penyebab utama tingginya harga daging sapi saat ini karena merosotnya populasi sapi dalam negeri, sementara kebutuhan masyarakat terus meningkat.
“Masalah utamanya itu di hulu bukan di hilir, segera lakukan perbaikan pembibitan nasional,” kata Yeka pada Diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Wartawan Ekonomi Makro (FORKEM) dengan tema “Siapa Bertanggungjwab Atas Melambungnya Harga Daging?" di Jakarta, Jumat (29/7).
Yeka menyatakan, persoalan tingginya harga daging sapi nasional harus dicermati secara bijak oleh pemerintah khususnya Kementerian Pertanian. Kebiasaan masyarakat Indonesia yang lebih doyan membeli daging sapi segar, menyebaban gelontoran daging impor beku dari luar negeri tidak begitu diminati dan kurang berpengaruh terhadap penurunan harga daging.
“Sekarang yang terjadi justru barang lebih banyak, namun harga daging sapi tetap tinggi,” imbuh Yeka.
Ia menilai, kenaikan harga daging sapi juga tidak bisa distabilkan dengan jeroan impor. Konsumsi jeroan seperti hati hanya agak besar pada menjelang lebaran. Artinya, jika impor jeroan yang dibuka, maka kita kembali mengalami kemunduran dan membuktikan rakyat kita diminta makan jeroan karena tidk mampu beli daging.
Harga Rp 80 ribu perkilogram seperti yang diminta Presiden, sejatinya sangat mungkin terjadi. Ini karena harga secondary cut daging dari Australia saja rata rata USD 5 per kg, kurang lebih Rp 66 ribu per kg.
Data menyebutkan, dari bulan Januari hingga Mei 2016, Bulog hanya mengimpor 5 kontainer secondary cut, padahal seharusnya bisa mengantisipasi dengan mengimpor secondary cut dengan jumlah lebih besar dalam rangka bulan Ramadhan dan Idul Fitri.
Alhasil, lanjut Yeka, jika sudah memasuki bulan Ramadhan Bulog baru mulai beli barang, maka harga sudah terlanjur naik dari negara asalnya dan barang sudah terlanjur kosong di pasaran.
Menurutnya, hal yang kemudian menjadi pertanyaan lagi adalah pembukaan sumber India sebagai sumber baru apakah sudah tepat? Apakah sudah ada jaminan kesehatan dan kehalalan? Jangan hanya karena ingin menekan harga lalu mengesampingkan faktor lain.
Kemudian, jika daging India dibuka dan dijual dengn harga di bawah HPP sapi lokal hari ini, bagaimana dengan peternak lokal?
“Anggaplah Bulog dapat mendistribusikan dengan baik daging India, lalu bagaimana dengan sapi lokal, apa mereka harus merugi dan kita akan dibuat ketergantungan dengan negara India?,” tuturnya.
Ia menilai, seharusnya yang diselesaikan adalah bagaimana agar harga HPP sapi lokal kita bisa setara dengan India.
"Ini karena jika kita membuka keran impor secara besar besaran, tidak menjamin masalah selesai. Bahkan peternakan lokal yang tadinya mulai dilirik karena mulai menghasilkan, akan kembali ditinggalkan dan swasembada daging akan semakin jauh," pungkasnya.