Peningkatan Produksi Harus Berdampak Sejahterakan Petani

:


Oleh Baheramsyah, Selasa, 26 April 2016 | 13:24 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 342


Jakarta, InfoPublik - Kementerian Pertanian  tidak hanya fokus pada upaya peningkatan produksi komoditas pangan, namun terus berupaya juga memperbaiki daya beli petani sehingga upaya peningkatan produksi memberikan dampak akhir pada peningkatan kesejahteraan petani.

Kepala Pusat Data dan Informasi Kementan Suwandi menuturkan strategi yang ditempuh Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman guna meningkatkan daya beli dan kesejahteraan petani, yaitu pertama, pada aspek hulu dan on-farm, melakukan akselerasi peningkatan produksi dan kualitas produk. Strategi ini dengan memberi kemudahan agro-input berupa subsidi pupuk, benih dan berbagai bantuan, membangun infrastruktur irigasi dan lahan, mekanisasi untuk efisiensi produksi dan mutu hasil, pelatihan, penyuluhan, asuransi usaha tani dan lainnya. "Hasil dari strategi ini sudah dapat dilihat dari produksi padi di tahun 2015 naik sebesar 6,37 persen dan komoditas lain juga meningkat signifikan dibandingkan 2014," tutur Suwandi, Selasa (26/4).

Kedua, pada aspek hilir, dilakukan pengolahan hasil untuk meningkatkan nilai tambah, pengaturan tata niaga, serta mengendalikan impor dan mendorong ekspor. Pengaturan tata niaga dengan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah atau beras yang diikuti Program Mentan berupa Sergab (Serap Gabah) petani oleh Bulog telah berdampak langsung pada stabilisasi harga gabah petani.

"Dengan program Sergab ini, petani memperoleh jaminan pasar, petani menikmati  harga wajar di saat panen raya dan daya beli petani semakin membaik. Hasil Program Sergab yakni per 23 April 2016 telah berhasil menyerap lebih dari 1,4 juta ton gabah petani,” tegas Suwandi.

Menurut Suwandi, program pengaturan tata niaga pangan yang dilakukan Mentan juga telah memberikan berbagai hasil positif dalam pembangunan pertanian. Yakni rantai pasok tata niaga pangan menjadi lebih pendek, stok cadangan beras nasional tercukupi yaitu stok beras di Bulog lebih dari 1,7 juta ton, dan berkat program Toko Tani Indonesia (TTI), konsumen menikmati harga beras lebih murah Rp 7.500 per kg.

Demikian juga pada pengetatan tata niaga pupuk telah berhasil ditangkap dan diproses hukum pada lebih dari 40 kasus pengoplos dan bisnis pupuk ilegal. Pengendalian tata niaga sapi atau daging pun telah diproses hukum oleh KPPU atas kartel daging sapi. Kemudian, kebijakan Mentan mengendalikan impor dan mendorong ekspor telah berdampak pada impor ilegal, penyelundupan buah, bawang dan pangan lainnya telah ditangkap dan dimusnahkan.

"Oleh karena itu, dapat menghemat devisa lebih dari Rp 52 triliun dan memberi insentif bagi petani untuk semangat berproduksi. Ke depan berbagai program dan jurus jitu Mentan ini terus ditingkatkan baik dari sisi kualitas dan kuantitasnya sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh masyarakat luas,” terang Suwandi.

Suwandi menyebutkan, hasil dari berbagai strategi peningkatan daya beli dan kesejahteraan petani di atas telah meningkatkan daya beli petani di tahun 2015 jika dibandingkan 2014. Kemampuan daya beli ini juga mengindikasikan tingkat kesejahteraan membaik. Daya beli petani dilihat dari indikator Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP).

Data BPS menyebutkan NTUP tahun 2015 sebesar 107,44 lebih tinggi dibandingkan 2014 sebesar 106,04. Secara rinci menurut subsektor 2015, NTUP tanaman pangan 105.03, hortikultura 108,35, maupun peternakan 103,71 lebih tinggi dibandingkan 2014. Demikian juga indikator NTP tanaman pangan 2015 sebesar 100,37 lebih tinggi dibandingkan 2014 sebesar 98,89 dan NTP peternakan 107,40 lebih tinggi dibandingkan 2014 sebesar 106,65.
"Sedangkan subsektor perkebunan yang sebagian besar komoditas orientasi ekspor, nilai NTP dan NTUP nya dipengaruhi oleh harga dunia dan krisis global," lanjut Suwandi.

"Meningkatnya kesejahteraan petani tahun 2015 tersebut, ditopang juga dengan semakin menurunnya tingkat ketimpangan pendapatan atau Gini Rasio di pedesaan sebesar 0,37 jauh lebih baik dibandingkan perkotaan 0,45," tambah Suwandi.

Indikator NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani. Ada korelasi antara daya beli dengan kesejahteraan petani. Semakin tinggi daya beli petani, biasanya petani lebih sejahtera. NTP dihitung dari rasio indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayarkan petani. Indikator NTP memiliki kelemahan diantaranya indeks hargayang dibayarkan petani mencakup seluruh pengeluaran rumah tangga petani termasuk biaya produksi, sekolah, berobat, membeli sandang, papan dan lainnya sehingga tidak mencerminkan pengeluaran riil dari usahanya.  

"Sebagai respon atas kelemahan NTP, maka digunakan juga indikator NTUP yaitu rasio indeks harga yang diterima petani dari usaha pertanian dengan indeks harga yang dibayarkan petani untuk pengeluaran usaha pertanian.  NTP dan NTUP di atas 100 menunjukkan petani surplus, sama dengan 100 berarti impas dan di bawah 100 berarti petani rugi atau defisit," jelas Suwandi.

Mengingat indeks harga berfluktuasi secara harian dan bulanan, maka untuk melihat kemampuan daya beli petani semestinya tidak hanya membandingkan nilai NTP dan NTUP dalam kurunwaktu sesaat saja (bulanan), melainkan dihitung rerata dalam waktu lebih panjang (tahunan).

“Menganalisis kesejahteraan petani dengan NTP dalam kurun waktu pendek bulanan akan menyesatkan karena bisa terjadi bulan ini petani dianggap tidak sejahterakarena NTP dan NTUP turun dan bulan depan berubah drastis menjadi sejahtera karena NTP dan NTUP naik,” tegas Suwandi.