:
Oleh Baheramsyah, Kamis, 3 Maret 2016 | 15:57 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 923
Jakarta, InfoPublik - Pemerintah perlu menempuh kebijakan progresif guna menguatkan keberadaan sektor perikanan di tengah kompetisi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Indonesia masih unggul dalam konteks produksi dan potensi, namun belum kompetitif ketika dihadapkan pada persaingan ekspor khususnya produk olahan hasil perikanan yang lebih mempunyai nilai tambah perekonomian.
“Langkah ini dapat ditempuh dengan pengesahan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam sebagai upaya negara dalam melindungi mereka, dan juga memberikan kemudahan akses permodalan dan akses pasar yang dapat ditempuh melalui digitalisasi pemasaran produk hasil perikanan. Inovasi ini harus hadir di kampung-kampung nelayan,” ungkap Wakil Sekjen Dewan Pengurus Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (DPP KNTI) Niko Amrullah di Jakarta, Kamis (3/3).
Tidak mengherankan, lanjut Niko, apabila kinerja ekspor khususnya produk olahan hasil perikanan kita masih memprihatinkan, karena kondisi sarana prasarana belum menunjang.
68 persen sebaran pelabuhan perikanan berada di Indonesia bagian Barat, 25 persen di Indonesia bagian tengah, dan hanya 7 persen di Indonesia bagian timur.
Padahal, keberadaan ikan justru melimpah di Indonesia Timur, khususnya di Kepulauan Maluku yang merupakan lumbung Ikan Tuna. Terlebih, keberadaan Unit Pengolahan Ikan (UPI) masih didominasi di Pulau Jawa dan Sumatera.
Merujuk dari statistik World Trade Organitation (WTO), selama kurun waktu sekitar 33 tahun (1980-2013) kinerja ekspor Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN, hanya unggul di sektor pertanian secara umum, termasuk perikanan di dalamnya. Namun mulai tahun 2013 Thailand beranjak menggunguli posisi Indonesia.
Sedangkan untuk kinerja ekspor di sektor industri manufaktur, Indonesia jauh tertinggal di bawah Singapura, Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Uniknya, Vietnam yang dari tahun 1980-2010 masih sejajar dengan Indonesia, mulai 2012 naik tajam mengungguli Indonesia. Lebih jauh, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kita berada di peringkat ke-5 setelah Singapura, Brunei, Malaysia dan Thailand.
Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bahwa sarana prasarana pemasaran mengalami penurunan tajam dari 2.718 unit di tahun 2013 menjadi 82 unit di tahun 2014.
Sentra pengolahan Ikan pun menunjukkan penurunan dari 19 unit di tahun 2010 menjadi 5 unit di tahun 2014. Demikian juga dengan Unit Pengolahan Ikan yang bersertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) berkurang banyak dari 505 unit di tahun 2010 menjadi 116 unit di tahun 2014.
Aspek permodalan, para nelayan anggota KNTI yang tersebar di 25 provinsi masih mengeluhkan mekanisme untuk memperoleh KUR yang lebih rumit dibandingkan jasa pinjaman tengkulak meski pada umumnya lebih merugikan nelayan. Lebih jauh, proporsi kredit bermasalah (NPL) terhadap baki debit dari UMKM di sektor perikanan lebih tinggi dibandingkan di sektor pertanian.
Merujuk data OJK bahwa di tahun 2015 rata-rata proporsi NPL UMKM sektor perikanan adalah sebesar 4,82 persen sedangkan sektor pertanian adalah 4,52 persen, pungkas Niko.