:
Oleh H. A. Azwar, Selasa, 16 Februari 2016 | 15:02 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 322
Jakarta, InfoPublik - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan, hingga akhir Maret 2016 ada 12.860 karyawan di beberapa perusahaan terancam terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Definisi PHK besar-besaran adalah dalam kurun waktu dua bulan jumlah karyawan terkena PHK melebihi 5.000 orang. Sudah lebih dari 10.000 yang kami tarik hingga akhir Maret dan sudah ada proses PHK yang terjadi," kata Presiden KSPI Said Iqbal dalam konferensi pers terkait PHK, honorer, dan kriminalisasi aktivis buruh di Jakarta, Senin (15/2).
Iqbal menjelaskan ada tiga kategori PHK yang menyertai total 12.860 karyawan itu, yakni karena perusahaan tutup berjumlah 3.668 orang, antara lain dari PT Krama Yudha Ratu Motor (KRM) Pulo Gadung sebanyak 200 orang, industri farmasi PT Novartis 500 orang dan PT Sandos 200 orang.
"Industri farmasi sebenarnya tidak tutup perusahaannya, tetapi rasionalisasi atau pengurangan tenaga kerja karena kapasitas produksi yang menurun," jelas Iqbal.
Kategori kedua, lanjut dia, adalah karyawan terkena PHK tahun lalu namun laporannya baru masuk akhir Januari 2016 dengan total 8.300 orang, terdiri dari karyawan PT Philips Sidoarjo 800 orang, PT Panasonic Pasuruan 800 orang, PT Jaba Garmindo Tangerang 4.700 orang dan Ford Indonesia 2.000 orang.
Sementara, kategori ketiga yakni adanya disharmonis perusahaan atau PHK sepihak yang dilakukan oleh tiga perusahaan, yakni dua perusahaan Jepang dan satu perusahaan Korea dengan jumlah total 712 karyawan dirumahkan. “PT Sunstar mem-PHK 271 orang, PT DMC TI ada 255 orang dan Oxun sebanyak 186 orang,” jelas Iqbal.
Sementara itu, Ketua Umum Serikat Pekerja Otomotif, Heri, mengatakan sejak semester II/2015 sampai akhir Januari 2016 telah terjadi penurunan kapasitas produksi yang berimbas terhadap penggunaan tenaga kerja.
Banyak tenaga kerja temporer yang diputus atau tidak diperpanjang kontraknya oleh perusahaan otomotif. (PHK) ini hampir terjadi di semua lini produksi otomotif, tidak hanya sepeda motor, tetapi juga roda empat dan komponen pendukung spare part.
Menurut Heri, penurunan kapasitas produksi dipengaruhi oleh menurunnya permintaan di pasar dalam negeri dan tingkat daya beli konsumen yang rendah.
"Ketidakmampuan pemerintah untuk meningkatkan daya beli masyarakat disebabkan salah satunya oleh kebijakan upah murah melalui PP 78 Tahun 2015 tentang pengupahan yang berimbas pada harga barang yang mahal," tukas Heri.