:
Oleh Baheramsyah, Selasa, 19 Januari 2016 | 07:41 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 387
Jakarta, InfoPublik - Salah satu hal yang mendorong semakin tingginya angka kemiskinan di pedesaan adalah besarnya fluktuasi harga untuk beberapa komoditas, terutama komoditas perkebunan dan hortikultura. Selama tahun 2015 penurunan harga minyak dunia telah menekan harga berbagai komoditas pertanian utama dunia.
Harga CPO misalnya, mengalami penurunan secara tajam termasuk beberapa komoditas hortikultura. Kondisi ini berdampak langsung kepada penerimaan petani di dalam negeri. Petani yang berada di sekitar garis kemiskinan dengan mudah tergelincir masuk kategori masyarakat miskin.
Selanjutnya, untuk tujuh komoditas utama yakni padi, jagung, kedelai, gula, daging sapi, bawang merah dan cabai merah, terjadi ketidak seimbangan balas jasa terhadap margin pemasaran produk. Hasil perhitungan keseluruhan menunjukan bahwa total margin yang tercipta dalam perdagangan tujuh komoditas ini selama setahun mencapai Rp 383,6 triliun.
"Dari jumlah ini 77,3 persen dinikmati oleh pedagang yang jumlahnya diperkirakan 318,6 ribu pelaku, sementara sisanya 22,7 persen atau Rp 87 triliun diperebutkan oleh lebih dari 104 juta petani. Kondisi tidak seimbang ini telah berlangsung dalam waktu lama dan ini berkontribusi sangat nyata terhadap besarnya kemiskinan petani terutama yang mengusahakan tanaman pangan," ungkap Pengamat Pertanian yang juga alumni S3 Institut Pertanian Bogor Suwandi di Jakarta, Senin (18/1).
Suwandi mengatakan, menghadapi kondisi ini Kementerian Pertanian memberikan perhatian khusus kepada masalah stabilisasi harga, disamping upaya memperbesar margin yang diterima petani dalam rantai pemasaran produk. Berbagai upaya dilakukan untuk menjamin stabilitas harga produk yang dihasilkan petani.
Hal yang dilakukan diantaranya intervensi pasar untuk beberapa komoditas strategis, melalui operasi pasar dan penetapan HPP, memperpendek rantai pasok, membangun 1.000 toko tani Indonesia, mempermudah dan mempercepat proses perizinan, memangkas biaya transportasi dan biaya lainnya, pengendalian impor serta mendorong ekspor.
Pengadaan kapal pengangkut sapi terkait erat dengan upaya tersebut. Ditargetkan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama bagian terbesar dari margin perdagangan ini akan dinikmati petani.
Hasilnya kesejahteraan petani 2015 meningkat dilihat dari indikator Nilai Tukar Petani (NTP) maupun Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) dari data BPS. Indikator NTUP digunakan sebagai respon perbaikan terhadap beberapa kelemahan NTP. NTUP nasional 2015 sebesar 107,44 naik 1,40 dibandingkan 2014 sebesar 106,04.
Apabila dirinci menurut subsektor, NTUP subsektor tanaman pangan 2015 naik 2,91 dibandingkan tahun 2014. Subsektor peternakan naik 2,03 dan hortikultura naik 1,35. Hal ini memberikan justifikasi kuat bahwa kesejahteraan petani sektor pertanian keseluruhan meningkat dan hanya pada subsektor perkebunan yang sebagian besar produknya berorientasi ekspor terkena imbas harga dan krisis global sehingga NTUP belum meningkat. Bila dilihat dari indikator NTP subsektor tanaman pangan 2015 naik 1,48 dibandingkan 2014, demikian juga NTP subsektor peternakan juga naik 0,75.
Reorientasi dalam membangun pertanian telah dilakukan pemerintah sejak kabinet kerja ini dengan mencari dan menyelesaikan masalah mendasar di pertanian. Membangun pertanian tidak lagi bertumpu pada penyediaan infrastruktur dan peningkatan produksi pangan, tetapi juga telah menyelesaikan aspek hilir dan tata niaga pertanian serta pemberdayaan petani.
Berbagai upaya di atas yang dipadukan dengan peningkatan produksi dan produktivitas, melalui gerakan dalam Upaya Khusus (UPSUS), akan makin meningkatkan kesejahteraan petani dan membebaskan mereka dari belenggu kemiskinan.