:
Oleh Amrln, Minggu, 3 Januari 2016 | 22:38 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 565
Penerapan ketentuan pembentukan tambahan modal ini untuk mengantisipasi kerugian dari pertumbuhan kredit atau pembiayaan yang berlebihan (Countercyclical Buffer).
Ketentuan tersebut wajib dipenuhi oleh perbankan bersama dengan pembentukan penyangga modal lainnya sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM), yaitu tambahan modal untuk mengantisipasi kerugian pada periode krisis (Capital Conservation Buffer).
Termasuk tambahan modal khusus untuk bank-bank yang ditetapkan berdampak sistemik atau Domestic Systemically Important Bank yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan bank menyerap kerugian.
Demikian disampaikan Arbonas Hutabarat selaku Deputi Direktur Departemen Komunikasi dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (3/1).
Menurutnya, tambahan modal ini berfungsi sebagai penyangga atau buffer guna menyerap kerugian saat perekonomian ditengarai memasuki periode memburuk (burst period).
Arbonas memaparkan, Countercyclical Buffer merupakan salah satu instrumen kebijakan makroprudensial yang ditujukan untuk melindungi bank dari perilaku mengambil risiko yang berlebihan. Perilaku tersebut tercermin dari penyaluran kredit yang berlebihan pada saat ekonomi ekspansi (periode boom) sehingga berpotensi menimbulkan peningkatan risiko sistemik.
"Tambahan modal yang wajib dibentuk perbankan pada periode ekspansi akan dapat digunakan ketika perbankan menghadapi tekanan saat ekonomi sedang kontraksi sehingga keberlanjutan fungsi intermediasi bank dapat terjaga," katanya.
Terkait dengan hal tersebut, lanjutnya, besaran Countercyclical Buffer bersifat dinamis yaitu berkisar antara 0 sampai dengan 2,5 persen dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) bank. "Bank Indonesia akan melakukan evaluasi besaran Countercyclical Buffer tersebut secara berkala paling kurang satu kali dalam enam bulan," ujarnya.
Untuk pertama kali, Bank Indonesia menetapkan Countercyclical Buffer sebesar 0 persen bagi perbankan yang efektif mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016. Penetapan tersebut mempertimbangkan kondisi ekonomi Indonesia yang saat ini sedang mengalami perlambatan yang antara lain tercermin pada pertumbuhan kredit yang melambat secara signifikan.
Kebijakan ini tidak terpisahkan dari ketentuan permodalan perbankan yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang diharapkan akan memperkuat daya tahan perbankan. Hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan permodalan perbankan dalam menyerap potensi risiko kerugian manakala terjadi krisis keuangan dan ekonomi serta mencegah menjalarnya krisis sektor keuangan ke sektor ekonomi.
Kewajiban pembentukan Countercyclical Buffer tersebut dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/22/PBI/2015 tentang Kewajiban Pembentukan Countercyclical Buffer yang diterbitkan pada 28 Desember 2015.