:
Oleh Taofiq Rauf, Senin, 15 Mei 2023 | 14:11 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 2K
Jakarta, InfoPublik - Masalah perberasan selalu menarik perhatian publik di dalam negeri. Setiap isu kenaikan harga atau kabar gagal panen akan menjadi perbincangan, tak hanya di level pemerintah, tapi juga masyarakat umum.
Kondisi itu dapat dipahami karena hampir 97 persen penduduk Indonesia mengonsumsi beras. Dari Sabang hingga Merauke beras menjadi primadona dibandingkan Sagu, gandum atau panganan sejenis lainnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) melansir bahwa tingkat konsumsi beras masyarakat per kapita per minggu pada 2021 mencapai 1,451 kg atau lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya 1,39 per kg. Makanya wajar jika setiap lonjakan harga beras biasanya akan ikut berimbas terhadap angka inflasi. Hal inilah yang selalu menjadi konsen pemerintah dengan menjaga harga beras tidak melonjak.
Saat ini rata-rata harga beras di Pasar Induk Cipinang Jakarta Timur berada di kisaran Rp11.907 per kg atau lebih tinggi dibanding periode April 2021 seharga Rp9890,21 per kg.
Kenaika harga beras memang tidak dapat dihindarkan karena biaya produksi yang juga meningkat. Kenaikan ongkos produksi disebabkan melonjaknya harga pupuk, pestisida, hingga biaya angkut atau transportasi yang disebabkan oleh meningkatkatnya harga bahan bakar minyak (bbm). Di sisi lain kondisi cuaca yang semakin tidak menentu membuat sejumlah wilayah lumbung padi terendam air, yang mengakibatkan kualitas beras ikut turun.
Oleh karena itu jika harga beras ditekan terlalu rendah, sementara cost produksi meninkat, maka akan sangat merugikan petani. Dampaknya secara jangka panjang mereka tidak mau menanam lagi. Ujung-ujungnya Indonesia sangat tergantung dari impor dan jauh dari misi swasembada beras dan kebutuhan pangan nasional. Sebaliknya jika harga beras dibiarkan terlalu liar, maka tidak bagus bagi konsumen karena akan menggerus daya beli mereka.
Disinilah kehadiran pemerintah untuk menjaga keseimbanga tersebut yakni supaya petani tetap dapat untung, dan konsumen juga bisa membeli beras dengan harga terjangkau. Tentu hal ini bukanlah pekerjaan mudah.
Ada sejumlah langkah yang dilakukan pemerintah saat ini untuk menjaga keseimbangan tersebut. Pertama yakni dengan menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk beras petani pada Maret lalu. HPP untuk Gabah Kering Panen (GKP) dari Rp4.200 per kg naik menjadi Rp5.000 per kg. Kenaikan HPP ini bertujuan agar harga beras di tingkat petani tetap terjaga. Petani bisa tetap untung karena penghitungan HPP tersebut sudah mempertimbangkan biaya produksi.
Kedua yakni menaikkan Harga Eceran Tertinggi (HET). Penetapan HET diperlukan agar harga-harga beras di tingkat eceran tidak naik dengan liar. Misal di zona 1 termasuk wilayah Jawa, HET untuk beras medium ditetapkan RP10.900 per kg. Sementara beras Premium Rp13.900 per kg.
Ketiga yang tidak kalah penting adalah memperkuat stok. Penguatan stok diperlukan agar jika beras naik tidak wajar, pemeerintah melalui Badan Urusan Logistik (Bulog) bisa menggelar operasi pasar buat meninakkan harga beras. Stok ini juga dibutuhkan buat bantuan pangan bagi keluarga penerima manfaat. Stok dalam bentuk cadangan beras pemerintah itu diserap dari beras petani dan kekurangannya melalui impor.
Keempat yakni mendorong peningkatan produktivitas beras nasional, di antaranya dengan percepetan musim tanam, penggunaan bibit unggul, serta mekanisasi pertanian. Pemerintah ingin bila setiap hektare yang kini hanya menghasilkan 5-7 ton GKP, dapat ditingkatkan menjadi 8-10 ton.
Melalui keempat langkah tersebut diharapkan keseimbangan dapat tercapai. Alhasil petani senang, konsumen pun ikut gembira.
Baca selengkapnya dan download GPRNews Edisi IV 2023 di: https://www.gprnews.id/books/drra/