:
Oleh Taofiq Rauf, Senin, 20 Desember 2021 | 12:10 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 5K
Jakarta, InfoPublik - Tantangan yang dihadapi dunia ke depan semakin kompleks. Perseteruan antarnegara, pandemi Covid-19, pemulihan ekonomi global, hingga persoalan perubahan iklim masih menjadi isu yang harus diselesaikan. Bukanlah hal yang mudah memang untuk menyelesaikan beragam persoalan tersebut.
Apalagi negara di dunia dihinggapi saling ketidakpercayaan dan kecurigaan satu sama lain. Sehingga berbagai perundingan atau konferensi kerap berujung ketidaksepahaman. Kalau pun sepakat, pada praktiknya kerap dilanggar. Bentuk saling kecurigaan itu misal terlihat dari perseteruan di kawasan Indo Pasifik.
AS dan sekutu menganggap China semakin menebarkan ancaman di kawasan. Sementara Beijing menilai Washington telah memprovokasi kawasan dan tak menghargai kebijakan ‘Satu China” terhadap Taiwan.
Di perbatasan Ukraina dan Rusia, negara-negara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menuduh Moskow mempersiapkan serangan ke Kiev. Sebaliknya Rusia menuding NATO menebar ancaman dengan menaruh sistem persenjataannya di perbatasan. Dalam masalah perubahan iklim, ketidakpercayaan juga terlihat antara negara berkembang dan maju. Negara berkemban mempertanyakan komitmen negara maju dalam menyalurkan dana pemulihan iklim global yang telah disepakati.
Adapun negara maju meminta agar negara berkembang lebih progresif dalam memberikan target penurunan emisi global. Soal Covid-19 pun juga demikian. Sempat ada keraguan terhadap vaksin yang dibuat oleh negara tertentu. Padahal vaksin itu sudah melewati tes bertingkat.
Masalah distribusi vaksin juga menjadi persoalan lain yang perlu segera diatasi. Nasionalisme vaksin membuat hanya negara-negara tertentu yang bisa menikmati vaksin.
Sementara negara-negara miskin atau bukan produsen hanya bisa ‘menelan ludah’. Nasionalisme vaksin tak hanya menghambat pemulihan ekonomi global, tapi memicu kesenjangan dan ketidakpercayaan antarnegara.
Berbagai distrust tersebut menghambat pembangunan dunia. Oleh karena itu, dalam beragam ruang diplomasi, Pemerintah RI selalu mendorong ruang dialog, rekonsialiasi, dan keadilan bagi seluruh pihak dalam menyelesaikan masalah.
Tanpa adanya dialog dan keadilan, maka sulit untuk mengatasi ruang ketidakpercayaan itu. Bersyukur, kebijakan luar negeri Indonesia yang menganut paham bebas aktif membuat RI diterima banyak negara. Indonesia pun kerap menjadi penengah dan penyeimbang diantara ruang ketegangan yang tercipta.
Dalam KTT G20, Indonesia mendapat kepercayaan besar menjabat kursi Presidensi yang secara resmi dimulai pada 1 Desember hingga satu tahun ke depan. Pada 2022, penyelenggaran KTT G20 akan digelar di Bali.
G20 merupakan perhimpunan negara yang cukup besar. Organisasi ini merepresentasikan 85 persen produk domestik bruto (PDB) dunia. Amerika Serikat, Rusia, dan China yang kerap berseteru pun masuk di dalamnya.
Oleh karena itu, pemerintah tidak menyianyiakan amanah tersebut. Mengusung tema besar, “Recover Together, Recover Stronger”, Indonesia ingin negara-negara G20 berkolaborasi bersama untuk pemulihan dunia, terutama seusai Covid-19. Indonesia mendorong pembangunan tata kelola dunia yang lebih sehat adil serta berkelanjutan.
Ada tiga isu fokus yang dikerjakan RI. Pertama, penanganan kesehatan yang inklusif. Kedua transformasi digital, dan terakhir transisi menuju energi berkelanjutan sebagai bagian dari komitmen mencegah perubahan iklim global.
Indonesia yakin lewat kolaborasi bersama tiga isu tersebut bisa diselesaikan. Kolaborasi pada akhirnya juga akan mengurangi ketegangan antara negara bertikai. Dalam pidato pembukaan Presidensi G20, Presiden Joko Widodo yakin bahwa kebersamaan adalah jawaban atas masa depan dengan semangat solidaritas. Untuk itu, Indonesia berupaya keras menghasilkan inisiatif-inisiatif nyata bagi pemulihan situasi global.
Baca dan download lengkapnya di Edisi 12 GPR News: http://www.gprnews.id/books/hnch