Ida Fauziyah, Organisator yang Rindu ke Pasar

:


Oleh Taofiq Rauf, Senin, 31 Mei 2021 | 07:39 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 1K


Jakarta, GPR News - Kabinet Indonesia Maju periode tahun 2019-2024 memiliki lima menteri perempuan. Ida Fauziyah adalah satu di antaranya. Perempuan kelahiran Mojokerto, Jawa Timur, 17 Juli 1969 ini dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Ketenagakerjaan di Istana Negara, Jakarta, pada 23 Oktober 2019.

Seperti juga para pembantu Presiden lainnya, tugas yang diamanatkan kepada pemilik gelar doktor Ilmu Pemerintahan dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri tersebut tidaklah ringan. Ia harus menga-wal beragam dinamika yang terjadi sepu-tar sektor ketenagakerjaan seperti per-soalan upah pekerja, hubungan pekerja sebagai penerima upah dengan pengusaha, hingga tantangan untuk membuka la-pangan pekerjaan seluas-luasnya.

Namun, ia mampu mengikuti dinami-ka tersebut. Salah satu kunci dari itu semua adalah bekal pengalaman dan jam terbang berorganisasi yang ia dapatkan sejak lama. H. Syahroni adalah sosok penting yang membuat dirinya tertarik terjun berorganisasi. Abah, begitu ia biasa memanggil sang ayah, menjadi moti-vator utama dirinya terjun sebagai aktivis organisasi.

“Abah punya pengaruh besar bagi saya untuk aktif berorganisasi. Kare-na Abah merupakan aktivis politik, sosial masyarakat, dan sejumlah organisasi lain yang pernah digelutinya,” kata Ida Fauzi-yah kepada GPR News dalam suatu kesempatan wawancara secara virtual.

Motivasi Abah itu pula yang di kemudian hari ikut mengantarkannya masuk ke dunia politik. Hampir dua dekade ia mera-sakan sebagai wakil rakyat di gedung par-lemen Senayan sejak masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid hingga Joko Widodo atau dari 1999 sampai 2018.

Meski baru berusia 29 tahun saat menduduki jabatan wakil rakyat di Senayan, Ida yang mewakili Partai Kebangkitan Bangsa ini sangat percaya diri termasuk dipercaya sebagai pimpinan sidang paripurna DPR RI. Berbagai jabatan di Senayan pernah dirasakannya, mulai dari Wakil Ketua Komisi II, Ketua Komisi VIII hingga Ketua Fraksi PKB.

Pendiri Kaukus Perempuan Parlemen ini juga menjabat Ketua Umum Pengurus Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama (NU). Ida sempat pula merasakan lingkungan pondok pesantren yang menjadi tradisi erat di NU.

“Saya lahir di dalam keluarga berlatar belakang NU dan besar di lingkungan NU. Aktif di kegiatan kemahasiswaan pun pas-ti tidak jauh-jauh dari NU,” katanya menceritakan nafas NU yang melekat kuat di dalam dirinya.

Di NU, Ida merupakan tokoh perempu-an senior dengan beragam jabatan yang pernah diemban. Persentuhan langsung dengan NU salah satunya terjadi ketika ia menjadi bagian dari Pergerakan Mahasis-wa Islam Indonesia (PMII) Jawa Timur. Ida bahkan ketika memulai jejak di Senayan masih menjadi Ketua Ikatan Pelajar NU (IPNU) Jatim. Pada 2010, ia didaulat seba-gai Ketua Umum Fatayat NU hingga 2015.

Di dalam struktur kepengurusan NU pusat yaitu Pengurus Besar NU, Ida juga ditunjuk sebagai Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU. “Bagi saya terjun ke dunia politik itu ibadah karena ada peran amar ma’ruf nahi munkar yang kita bisa laksanakan,” tuturnya.

Ia selalu membangun pikiran positif di dalam diri bahwa politik itu tidak kotor. Ida ingin berbuat lebih bagi negara ini melalui politik meski itu juga bisa dilaksana-kan di bidang lain. “Saya hanya ingin fas-tabiqul khairat, berlomba-lomba di dalam berbuat kebaikan,” katanya.

Ida tampak anggun dan modis ketika GPR News mewawancarainya secara virtual. Ia mengenakan setelan motif batik pada bagian tengah yang dipadukan corak warna-warni menyegarkan. Gaya berjilbabnya tak banyak berubah, simpel dan kali ini berwarna cerah.

Politikus andalan PKB itu duduk sen-diri di meja kantornya berlatar burung garuda yang diapit bingkai foto Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Maruf Amin. Ia tampak serius jika bicara terka-it jabatannya, namun sesekali tersenyum dan tertawa jika bicara tentang kehidupan kesehariannya.

Hubungan industrial

Sebagai kader dan salah satu yang ikut mendirikan PKB, Ida mengawali pekerjaannya sebagai guru pada Madrasah Aliyah Program Khusus (MA PK) di Jombang, 1994 silam. Dua puluh lima tahun kemu-dian, ia diminta oleh Ketua Umum PKB Abdul Muhaimin Iskandar untuk diajukan sebagai salah satu menteri untuk membantu pasangan pemimpin terpilih hasil Pemilihan Presiden 2019, Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin.

Itu merupakan sebuah kehormatan besar dalam karier politiknya dan mengaku tidak tahu akan diberi amanat sebagai menteri ketenakerjaan hingga dipanggil ke Istana Negara beberapa hari sebelum dilantik. “Saya tahunya ketika dipanggil ke Istana dan bertemu Presiden. Jadi tidak terbayangkan buat saya diberi amanat sebagai menteri ketenagakerjaan. Ini sebuah tantangan tersendiri karena semua orang tahu bahwa ketenakerjaan merupakan isu yang dinamis,” katanya.

Ida menjadi menteri perempuan kedua yang mengurusi sektor ketenagakerjaan dalam sistem pemerintahan sejak Indo-nesia merdeka. Menteri tenaga kerja perempuan pertama adalah Surastri Karma Trimurti, mantan jurnalis dan pejuang pekerja perempuan Indonesia yang menjadi menteri pada Kabinet Perdana Menteri Amir Sjarifuddin Harahap antara tahun 1947-1948. Pada 2014, Armida Alisjahbana yang menduduki posisi Kepala Bappenas sempat menjabat sebagai Menaker, namun statusnya hanya pelaksana tugas.

Sebagai menteri ketenagakerjaan, Ida berusaha menempatkan diri menjadi jembatan bagi dua kepentingan yaitu kepen-tingan para pekerja dan pengusaha. Ada banyak isu kepentingan dari kedua pihak dan seringkali diametral.

“Saya kira peng-usaha memerlukan pekerja dan sebalik-nya pekerja juga memerlukan pekerjaan. Kalau keduanya merasa sama-sama saling membutuhkan maka akan mudah terben-tuknya hubungan industrial,” ujarnya.

Hubungan industrial itu pun memasuki fase baru dengan lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dikenal juga sebagai omnibus law atau produk hukum lintas sektor. Kehadir-an produk Omnibus Law ini menjadi upaya pemerintah membangun sistem kete-nagakerjaan agar lebih baik lagi. Terlebih lagi saat ini Indonesia sedang menghadapi revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan makin berkembangnya teknologi informa-si berbasis internet dan digital.

Ia menyebut ada satu isu penting di sektor ketenagakerjaan terkait tingkat pendidikan pekerja di Indonesia yakni 57 persen angkatan kerja merupakan lulus-an sekolah menengah pertama (SMP) dan mereka harus menghadapi perkembangan industri 4.0. Ini kemudian menjadi tugas Ida bersama jajarannya di Kementeri-an Ketenagakerjaan untuk menjembatani semua dinamika itu.

Dengan UU Cipta Kerja tadi, tantangan-tantangan di sektor ketenagakerjaan terutama terkait era industri 4.0 perlahan bisa diatasi. Kemenaker pun membuat terobosan untuk mendorong serapan tenaga kerja dengan sembilan langkah ino-vasi yang meliputi ketenagakerjaan, transformasi program perluasan tenaga kerja, pengembangan talenta muda, perluasan pasar tenaga kerja ke luar negeri, visi baru hubungan baru, dan reformasi pengawas-an.

Kemenaker, kata Ida, juga meningkatkan kemampuan Balai Latihan Kerja (BLK) di bawah Kementerian itu agar dapat menyiapkan tenaga-tenaga terampil yang dapat mengikuti perkembangan industri 4.0 tadi. Selain masih tingginya angkatan kerja lulusan SMP, masih terjadi persoalan meningkatnya angka pengangguran teru-tama dari lulusan pendidikan vokasi se-perti sekolah menengah kejuruan (SMK).

Pada November 2020, Badan Pusat Sta-tistik merilis data keadaan ketenagakerjaan di Indonesia di mana lulusan SMK mendominasi tingkat pengangguran terbuka (TPT) yaitu sebesar 13,55 persen. Tidak jalannya link and match antara kebutuhan industri dan keahlian yang dimiliki calon pekerja menjadi sorotannya.

“Saya sam-paikan saja apa adanya, bahwa peserta BLK kami banyak diisi oleh lulusan SMA dan SMK serta diploma perguruan ting-gi. Ini dikarenakan tidak adanya link and match. Kami ingin mengembangkan bakat talenta-talenta muda tadi dan mendorong mereka untuk masuk mengisi peluang kerja ke luar negeri pada sektor formal,” kata Ida.

Dampak pandemi

Pandemi virus corona yang telah ber-langsung selama lebih dari setahun di Indonesia ikut menghantam sektor ketenagakerjaan. Ada peningkatan cukup besar dari angka pengangguran di mana pada Januari 2020 jumlahnya 6,9 juta orang dan pada Agustus 2020 naik sebesar 2,8 juta orang menjadi 9,7 juta pekerja.

Kemenaker, katanya, melakukan perubahan kebijakan terutama dalam perlindungan kesehatan pekerja di masa pandemi serta program pemulihan nasional seperti pelaksanaan Program Kartu Prakerja.

“Kita juga memberikan subsidi kepada teman-teman pekerja yang terpaksa kehilangan jam kerjanya atau harus be-kerja bergantian sehingga mendapatkan upah yang tidak sebagaimana seharusnya disebabkan oleh situasi pandemi. Itu kita berikan kepada sekitar 12,4 juta pekerja,” jelasnya.

Ketika awal pandemi terjadi, pihak Kemenaker, juga memberdayakan BLK sebagai tempat produksi berbagai kebutuhan pencegahan virus corona seperti memproduksi masker, hand sanitizer, alat pelindung diri (APD), tempat mencuci tangan otomatis dan semua disumbangkan ke rumah sakit-rumah sakit serta fasilitas--fasilitas umum yang memerlukan. Para peserta pelatihan di BLK saat itu didomi-nasi oleh para pekerja yang terkena dam-pak langsung COVID-19 yaitu pemutusan hubungan kerja.

Mengenai kehadiran pekerja asing pada prinsipnya mereka masuk ke Indonesia sebagai tenaga terampil untuk mengisi kekosongan dan harus melakukan trans-fer pengetahuan (transfer of knowledge) kepada pekerja lokal. Tidak semua jenis pekerjaan bisa diisi oleh pekerja asing karena telah diatur di dalam Pasal 42 UU Cipta Kerja. Mereka dipekerjakan di Indonesia hanya untuk waktu tertentu, dengan jabatan tertentu dan memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang disandang-nya.

“Sejauh ini kehadiran mereka masih dalam tahapan wajar dan bisa dikendalikan oleh pemerintah. Namun, pemakaian pekerja asing ini harus tetap memperha-tikan kondisi pasar tenaga kerja di dalam negeri karena prioritas pemerintah adalah tenaga kerja Indonesia,” katanya.

Hobi ke pasar tradisional

Istri dari Taufiq Abdullah ini tetap me-nyadari kodratnya sebagai perempuan dan ibu bagi anak-anaknya. Ia mengaku suami dan anak mendukung setiap pe-rannya di masyarakat. Meski disibukkan dengan urusan pekerjaan, Ida selalu me-nyempatkan waktu untuk selalu berkumpul dengan keluarga.

Ia pun menyadari bahwa jabatan sifatnya hanya sementara dan karenanya ia sejak lama memupuk diri untuk tidak jumawa dengan jabatan apa pun yang di-sandangnya. “Saya tidak ingin dibedakan antara sebagai pejabat atau masyarakat umum. Saya ini perempuan yang senang sekali berkunjung ke pasar tradisional, berbelanja, dan berinteraksi dengan pe-dagang,” katanya

Sementara ini, ia merasa kehilangan hobi tersebut. Ia berharap jabatan ini ti-dak membuatnya shock dengan beragam bentuk fasilitas dari negara. “Saya tidak mau post power syndrome ketika sudah ti-dak lagi menjadi pejabat.”

(Foto: Antara)


Baca dan download edisi lengkapnya di http://www.gprnews.id/books/llps/