Menguji Peran Indonesia di Konflik Myanmar

:


Oleh Taofiq Rauf, Sabtu, 24 April 2021 | 14:45 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 4K


Jakarta, GPR News - Konflik di Myanmar belum menunjukkan akan mereda. Alih-alih selesai, korban sipil terus berjatuhan. Lebih dari 150 orang dilaporkan tewas sejak dimulainya kudeta pada awal Februari lalu.

Para demonstran tak berhenti menyerukan penolakan terhadap kudeta. Mereka turun ke jalanan di berbagai kota di Myanmar.  Aksi para pengunjuk rasa dibalas tindakan represif aparat kepolisian yang mendapat dukungan dari junta militer.

Seperti yang terjadi pada Minggu (14/3/2021), setidaknya 38 demonstran dilaporkan tewas di berbagai daerah, dan menjadikannya sebagai salah satu hari paling berdarah. “Mereka memakai senapan mesin, sniper, dan peluru tajam, terdapat banyak mayat di sekitar,” ujar seorang demonstran yang menggambarkan situasi mencekam di Yangon pada Minggu itu seperti dilansir Aljazirah.

Namun sikap aparat tak membuat nyali warga Myanmar ciut. Mereka tetap kembali turun ke jalan keesokan harinya, dan lagi-lagi korban jiwa berjatuhan.

Melihat situasi tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meminta dunia internasional tidak tinggal diam. Semua harus bergerak memberikan aksi nyata menentang aksi represif oleh rezim militer.  Tindakan militer diyakini sebagai salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan.

“Setop pembunuhan dan penangkapan terhadap demonstran!” seru juru bicara Komisi PBB untuk Hak Asasi Manusia Ravina Shamdasani, Selasa (16/5/2021).

Negara-negara berpengaruh memang belum sepenuhnya satu suara menyikapi konflik di Myanmar.  China dan Rusia meski menyerukan semua pihak di Myanmar menahan diri, tetapi tak mau terlalu jauh mencampuri urusan dalam negeri orang lain. Sebaliknya Barat, memiliki sikap tegas dengan lansung menjatuhkan sanksi terhadap petinggi-petinggi militer di Myanmar.

Lantas bagaimana ASEAN? Di sinilah peran negara-negara di kawasan Asia Tenggara, terlebih Indonesia, diuji. Mampukah memediasi untuk menciptakan perdamaian di kawasan? atau justru tak digubris oleh rezim junta militer.  

Sejauh ini ASEAN telah melakukan beragam upaya untuk meredakan konflik.  Indonesia yang menjadi salah satu motor utama dalam organisasi ini telah menjalin komunikasi dengan berbagai pihak. Pada 5 Februari 2021,  Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin telah membahas konflik Myanmar. Keduanya mendorong agar ada pertemuan ASEAN untuk membantu menyelesaikan krisis politik di negara itu. Pada 2 Maret pertemuan khusus pertama digelar oleh  negara-negara ASEAN.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan pertemuan itu dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Brunei Darussalam sebagai ketua ASEAN. Pertemuan diadakan untuk membahas perkembangan situasi di Myanmar yang  kianmengkhawatirkan.

“Presiden meminta Menlu Indonesia untuk melakukan pendekatan kepada Ketua ASEAN dan berkonsultasi dengan semua negara anggota ASEAN mengenai situasi di Myanmar. Untuk itulah, komunikasi intensif terus dilakukan Indonesia, antara lain melalui shuttle diplomacy, yang dilakukan sejak dua minggu lalu,” ujar TeukuFaizasyah.

Tak hanya itu, selain berkonsultasi dengan negara ASEAN, Indonesia juga menerima komunikasi dari para menlu negara lain. Di antaranya AS, China, India, Jepang,  Australia, UE, Inggris, dan Perancis, Komunikasi juga dilakukan dengan Sekjen PBB. Komunikasi dengan Utusan Sekjen PBB mengenai Myanmar sudah dilakukan Menlu Indonesia secara lebih regular.

Indonesia ingatkan Myanmar

Dalam pertemuan ASEAN yang digelar virtual tersebut, Menteri Retno Marsudi menyatakan, Indonesia sangat prihatin melihat meningkatnya kekerasan di Myanmar yang telah memakan korban. “Situasi ini mengkhawatirkan. Mengkhawatirkan karena meningkatnya korban warga sipil yang harus kehilangan nyawa dan mengalami luka-luka, mengkhawatirkan karena masih terus terjadi penangkapan terhadap warga sipil” ujar Menlu Retno dalam rilis yang dikirim ke GPR News.

Dalam pertemuan tersebut, Menlu Indonesia juga menegaskan, situasi ini dapat mengancam keberlangsungan transisi demokrasi. Jika tidak segera diselesaikan dengan baik maka akan dapat mengancam perdamaian dan keamanan kawasan.

Menurut Menlu Retno Marsudi tugas negara anggota ASEAN adalah menjalankan prinsip dan nilai-nilai yang tertera di dalam Piagam ASEAN dalam sebuah keutuhan, in their entirety. Menghormati prinsip non-interferencea, jelas Retno memang wajib. Namun penting juga bagi negara anggota menghormati dan menjalankan prinsip dan nilai lain dalam Piagam ASEAN seperti demokrasi, penghormatan terhadap hak asasi manusia, good governance, rule of law (penegakan hukum), constitutional government (pemerintah berdasar konstitusi.

Jika gagal untuk menghormati dan menjalankan prinsip-prinsip tersebut, Indonesia khawatir ASEAN tidak akan mampu memberikan pelayanan maksimum terhadap rakyatnya. Artinya, upaya membangun Komunitas ASEAN juga akan terganggu. “Keinginan dan niat baik ASEAN untuk membantu tidak akan dapat dijalankan jika Myanmar tidak membuka pintu bagi ASEAN,” tegas Menlu Indonesia.

Indonesia sebenarnya telah mencoba membuka keran dialog dengan junta. Hal itu terlihat dengan langkah Menlu Retno yang bertemu langsung dengan Menlu Myanmar pilihan junta militer Munna Maun Lwin pada 24 Febuari 2021 di Thailand.  Menlu menegaskan posisi Indonesia yang akan bersama rakyat Myanmar.

Indonesia meminta semua pihak menahan diri, dan tidak menggunakan cara-cara kekerasan yang bisa menimbulkan korban jiwa. Menlu Retno juga mendorong agar dilakukannya transisi demokrasi yang inklusif dengan membangun dialog melibatkan berbagai elemen di Myanmar.

Berbeda dengan Barat, ASEAN memang tidak bisa menjatuhkan sanksi ke Myanmar. Klausul sanksi tidak diatur dalam Piagam ASEAN. Selain itu negara-negara anggota juga terikat dengan Pasal 2 ayat E dalam Piagam itu yang menyebut negara-negara anggota tak bisa mencampuri urusan dalam negeri negara lain. 

Langkah tegas yang bisa diambil oleh ASEAN yakni dengan melakukan isolasi rezim militer Myanmar. Namun itu pun juga harus satu suara. Karena patut menjadi catatan, perdana menteri Thailand juga lahir dari junta militer.

ASEAN ada kemajuan

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia  (LIPI) Dewi Fortuna Anwar mengatakan,  dalam ASEAN  prinsip nonintervensi memang seperti sangat diagungkan. Prinsip yang lahir dari Piagam PBB tentang dasar berhubungan internasional itu dianggap sebagai nilai utama. 

“Karena memang prinsipnya saling menghormati kedaulatan, integritas, dan terirorital masing-masing. Karena kalau negara saling mengintervensi akan mengacaukan hubungan internasioanl. akan selalu terjadi konflik,” ujarnya dalam sebuah diskusi virtual “Perkembangan Krisis Myanmar”, Sabtu (13/3). 

Berbeda dengan Uni Eropa, ASEAN juga tidak pernah didesain sebagai organisasi supranasional. ASEAN didesain untuk menciptakan hubungan harmonis antarsesama negara sehingga diharapkan bisa memperkuat kedaulatan masing-masing di negara itu.

“Baru muncul belakangan Masyarakat ASEAN, itu pun hanya yang diberikan terkait ekonomi, tapi tidak untuk politik,” jelasnya.

Namun Dewi Fortuna melihat, negara-negara ASEAN sudah ada kemajuan.  Indonesia ketika mengkritik Myanmar bisa bicara tentang prinsip yang dikandung oleh piagam ASEAN itu sendiri. Dalam ASEAN Charter yang diratifikasi pada 2008, sudah menyandingkan prinsip lama yakni tentang nonintervensi, menghormati integritas kedaulatan dengan nilai-nilai baru seperti penghormatan terhadap demokrasi, penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM), maupun good governance. “Jadi sudah ada  kemajuan. ASEAN sudah ada tool untuk masuk bicara dengan Myanmar,” jelasnya.

Sebenarnya, kata Dewi,  ketika penyusunan Piagma ASEAN ada satu klausul yang menyatakan jika ada satu negara melanggar prinsip negara ASEAN bisa dikenai sanksi, seperti dibekukan keanggotaannya. Para pembuat draf setuju dengan klausul ini. Namun setelah dibahas birokrat ASEAN pasal ini dihapus.  “Jadi memang ASEAN tak mempunyai kemampuan enforcement seperti halnya DK PBB.”

Menurut Dewi Fortuna Anwar, langkah Menlu Retno dalam menjalin komunikasi dengan negara-negara di luar ASEAN seperti Uni Eropa, China, Jepang, dan Amerika Serikat, sudah tepat. “Terlebih dengan AS dan China, jangan sampai konflik ini jadi pertarungan rivalitas di antara keduanya.”

Foto: Antara

Baca dan download lengkapnya di Edisi 3 GPR News dihttp://www.gprnews.id/books/vpfj