:
Oleh Taofiq Rauf, Senin, 8 Februari 2021 | 07:59 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 1K
Jakarta, GPR News - Situasi pandemi virus corona yang telah berlangsung hampir setahun terakhir sejak pertama kali diumumkannya penderita pertama oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020 tak hanya berdampak terhadap aktivitas di masyarakat. Kondisi ini juga dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok teroris yang masih berkeliaran di Indonesia untuk meningkatkan aktivitasnya.
Melansir laporan terkait aktivitas kelompok teroris dari lembaga kajian konflik, Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), akhir 2020, pandemi Covid-19 telah melemahkan perekonomian di negara-negara yang selama ini aktif berperang melawan terorisme secara global. Amerika Serikat, Inggris, Australia, Turki, Arab Saudi, dan Indonesia yang selama ini aktif dalam penanganan terorisme telah mengeluarkan kebijakan penghematan ekonomi luar biasa untuk sektor-sektor di luar penanganan Covid-19.
Kebijakan ini pun berdampak kepada berkurangnya anggaran kontraterorisme ini. Kondisi ini sebaliknya dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok teroris untuk meningkatkan aksi terornya. Ketika di banyak tempat berbagai elemen masyarakat berlomba-lomba menggalang dana untuk membantu penanganan virus Covid-19, hal berbeda dilakukan oleh kelompok-kelompok teroris yang masih berkeliaran di tanah air.
Para teroris justru memanfaatkan momentum pandemi untuk meningkatkan aktivitas seperti perekrutan anggota-anggota baru. Mereka juga melakukan kegiatan berkedok kemanusiaan, namun disalahgunakan untuk kegiatan terorisme. Salah satunya melalui penggalangan dana untuk membiayai kegiatan-kegiatan terorisme,
Seperti yang terungkap dari hasil penangkapan anggota kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) di Lampung, pertengahan Desember 2020. Kelompok JI secara resmi telah dilarang oleh negara. Organisasi ini terlibat dalam sejumlah tindak pidana terorisme di Indonesia, seperti peristiwa Bom Bali I dan II, Bom Hotel JW Marriot Jakarta, Bom Malam Natal Tahun 2000. Di samping itu JI terlibat dalam rangkaian beberapa tindakan terorisme lain di Indonesia dan mengakibatkan sekitar 2.000-an orang telah menjadi korban.
Aparat kepolisian tak hanya menciduk lebih dari 20 teroris JI, tetapi mengungkap adanya temuan lebih dari 20 ribu kotak amal dari Yayasan Abdurrahman bin Auf. Puluhan ribu kotak amal yang disebar di 12 wilayah pada 7 provinsi ini ternyata hanya kedok sebagai sumber pendanaan bagi kegiatan teroris yang dilakukan kelompok JI.
Saat rilis tentang kinerja kepolisian pada 2020 di Mabes Polri, Selasa (22/12/2020), Kapolri Jenderal Idham Aziz bahkan memberi catatan khusus tentang gerakan Jamaah Islamiyah ini. Ia mengaku sudah mengejar kelompok itu di Poso.
"Yang terbaru penangkapan teroris grup JI (Jamaah Islamiyah) atas nama Upik Lawanga dan Zulkarnain yang telah menjadi DPO (daftar pencarian orang) bertahun-tahun ketika saya masih pangkat AKBP, saya sudah kejar mereka di Poso," tutur mantan Kabareskrim Polri ini.
Bijak Bersosial Media
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Polisi Boy Rafli Amar mengatakan, jaringan teroris masih terus bergerak meski di masa pandemi seperti sekarang ini. Berdasarkan catatan BNPT, selama Februari hingga Desember 2020, kepolisian telah menangkap 232 tersangka teroris. Mereka didominasi oleh kelompok JI dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yaitu mencapai 30 persen. Kelompok lainnya adalah Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
BNPT menemukan pola penyebaran baru ajaran radikalisme kepada masyarakat di Indonesia. Ajaran tersebut disebar masif melalui sosial media (sosmed) yang saat ini dimanfaatkan oleh 120 juta orang di Indonesia. Ini dianggap sebagai wadah yang cukup efektif untuk mensosialisasikan ajaran-ajaran tersebut. "Penyebarannya sangat masif, kontennya bisa dari media sosial luar negeri atau dalam negeri sendiri," kata Boy Rafli dalam sebuah diskusi pencegahan radikalisme dan terorisme di Surabaya, 21 Oktober 2020.
Karena itu, dia berharap masyarakat memiliki daya tangkal yang kuat sehingga bisa bijak menyaring informasi dan literatur. Bisa memilih mana yang bermanfaat dan tidak. Terlebih selama pandemi ini, masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu beraktivitas di ranah digital karena munculnya kebijakan bekerja dari rumah (work from home) serta belajar dari rumah.
Kondisi ini membuka peluang bagi kelompok-kelompok teroris untuk memperbesar propagandanya di dunia maya. "Radikalisme intoleran ini tidak menerima orang yang berbeda keyakinan, bahkan bisa juga melakukan tindakan melawan hukum. Karena itu kami mengimbau masyarakat khususnya para pemuda untuk bijak menyaring mana informasi yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan Pancasila serta mana yang tidak," ujar mantan Kepala Divisi Humas Mabes Polri ini.
BNPT, kata mantan Kapolda Papua tersebut, telah membentuk satuan tugas khusus bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika beserta lembaga lain untuk mendeteksi akun-akun medsos penyebar ajaran radikalisme intoleran secara masif.
Kerja Sama Global
Dalam pertemuan The 3rd Sub-Regional Meeting on Counter Terrorism and Transnational Security (SRM on CTTS ke-3) yang berlangsung secara daring, di Jakarta, 1 Desember 2020, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD sepeti dilansir Antara menyebutkan situasi pandemi Covid-19 tidak mengurangi ancaman radikalisme dan terorisme. Di beberapa negara, ancaman tersebut justru tampak makin kentara.
Indonesia dan sejumlah negara peserta pun sepakat untuk memperkuat kerja sama penanggulangan teroris asing (Foreign Terrorist Fighters/FTFs) serta upaya penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan. Mahfud pun mengusulkan untuk memperkuat Jakarta Working Group yang sudah ada, untuk membentuk sebuah Senior Officials Counter-Terrorism Policy Forum.
Forum ini nantinya akan diketuai oleh seorang pejabat setingkat eselon 1. "Adanya kesamaan pandangan tentang isu FTF dan perlunya persiapan dalam menghadapi kembalinya para FTF dan keluarganya. Kemudian perlu adanya pertukaran informasi di antara negara-negara SRM, baik dalam jumlah FTF, pergerakan FTF dan juga kebijakan penanganan FTF, mendasari kesamaan pembahasan kepentingan pada forum ini," kata Mahfud.
Acara ini dihadiri perwakilan dari Kemenko Polhukam, BNPT, Kementerian Hukum dan HAM, Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Siber Sandi Negara (BSSN), Kementerian Luar Negeri, Detasemen Khusus 88 Mabes Polri. Ikut hadir Menteri Dalam Negeri Australia Peter Dutton, Menteri Pertahanan Brunei Darussalam, Menteri Kehakiman Selandia Baru, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman Singapura serta perwakilan dari Filipina, Malaysia, Myanmar, dan Thailand.
Pertemuan ini menghasilkan pernyataan bersama (joint statement) yang memuat antara lain pembentukan Sub-Regional Senior Official Counter Terrorism Policy Forum untuk dapat bekerja sama dan saling bertukar best practices dalam penanggulangan terorisme. "Disetujuinya pembentukan Senior Officials Counter-Terrorism Policy Forum dalam SRM untuk memudahkan pencapaian yang dibahas dalam agenda ini," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini.
Foto: Antara
Pasukan Brimob Mabes Polri melakukan simulasi penyergapan penanganan ancaman bom dan serangan terorisme di Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) Lebak Bulus, Jakarta, Rabu (16/12/2020). Muhammad Adimaja/pras.
Baca rubriknya lain di :
https://komin.fo/vaksinasicovid-19