:
Oleh MC Kab Aceh Tengah, Sabtu, 17 April 2021 | 13:20 WIB - Redaktur: Kusnadi - 746
Oleh : Fathan Muhammad Taufiq *)
Selain sebagai wahana menguji keimanan dan ketaqwaan bagi ummat Islam, ibadah puasa juga merupakan ujian fisik untuk menguji daya tahan tubuh. Meskipun terkadang tidak dirasakan, karena tertutup oleh keikhlasan dalam penjalankan perintah sang Khaliq, tetap saja secara fisik dampak menahan makan dan minum selama kurang lebih 14 jam tetap terlihat. Berkurangnya tenaga, badan lemas, muka agak pucat dan mata seperti mengantuk, merupakan tanda fisik yang tidak bisa disembunyikan dari orang yang sedang menjalankan ibadah puasa. Meski sekilas, ibadah puasa seperti “menyiksa” diri, tapi berbagai penelitian telah membuktikan bahwa puasa sangat baik bagi kesehatan, karena organ-organ pencernaan yang selama 11 bulan bekerja nonstop, pada bulan Ramadhan, diberikan masa istirahat. Tentu saja masa istirahat tersebut sangat bermanfaat bagi organ tubuh itu sendiri, karena pada fase istirahat itu, sel-sel tubuh akan mengalami peremajaan. Dalam proses peremajaan sel-sel tubuh itulah, kemudian dibutuhkan asupan gizi dan nutrisi yang seimbang.
Menahan makan dan minum sejak imsak sampai dengan masuk waktu Maghrib, tentu butuh kesiapan fisik yang prima, sebab kemungkinan terjadinya dehidrasi pada siang hari sangat besar, terutama pada mereka yang punya aktifitas berat di luar lumah. Mengkonsumsi air minum dalam jumlah yang cukup pada saat sahur dan berbuka, tentu akan mengurangi resiko terjadinya dehidrasi ini. Begitu juga kondisi fisik orang yang sedang berpuasa akan terlihat lemah dan tidak bertenaga, sedikit aktifitas di luar rumah saja bisa mengakibatkan rasa capek yang luar biasa, hala yang wajar sebenarnya, karena pada saat itu kondisi perut sedang kosong, sementara cadangan nutrisi dalam tubuh juga berkurang.
Allah SWT sebagai pemegang hak prerogatif dalam perintah puasa bagi Ummat Islam, adalah Tuhan yang maha adil, Dia tidak akan membebani hambaNya melebihi kemampuan hambaNya itu sendiri. Sifat adil dari Allah tersebut, mestinya juga membekas bagi orang-orang yang telah menjalankan perintahNya, karena sebagaimana tercantum dalam Alqur’an, Allah telah memerintahkan kepada semua manusia untuk bersikap adil. Sikap adil sendiri memiliki pengertian yang sangat luas, misalnya adil kepada Tuhan, artinya menyeimbangkan antara hak dan kewajiban terhadap Tuhan, adil kepada sesama berarti menempatkan posisi orang lain terhadap diri kita secara proporsional dengan menyeimbangkan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum, antara hak pribadi dengan kewajiban terhadap masyarakat. Adil kepada lingkungan mengandung makna bahwa setiap kita harus memperlakukan lingkungan dan alam di sekitar kita secara bijaksana, tidak sekedar hanya bisa memanfaatkan hasil alam, tapi harus mampu juga menjaga kelestariannya. Pada prinsipnya sikap adil itu adalah menyeimbangkan antara hak dan kewajiban secara proporsional baik kepada Tuhan, sesama manusia, keluarga maupun lingkungan alam.
Ada satu lagi sikap adil yang sering kita abaikan atau kita lupakan, yaitu adil kepada diri sendiri. Setiap bagian dari tubuh kita punya hak dan kewajiban sendiri-sendiri, dan keseimbangan tubuh akan terjaga jika kita mampu bersikap adil kepada organ-organ atau bagian-bagian tubuh kita. Mata misalnya, dia berperan menjalankan fungsi indra penglihatan, namun ada waktunya pula kita mengistirahatkan indra penglihatan tersebut dengan tidur secukupnya, karena kalau mata “dipaksa” untuk menjalankan fungsinya terus menerus selama 24 jam, justru akan membahayakan bagi mata itu sendiri, jadi kita harus tetap bersikap adil kepada mata kita. Begitu juga dengan perut, yang menkalankan fungsi pencernaan untuk mencerna materi pangan yang masuk ke dalam tubuh supaya dapat diedarkan ke seluruh tubuh. Perut kalau dipaksa menjalankan fungsinya secara terus menerus, juga akan bermasalah, dan salah satu sikap adil kita terhadap perut, adalah mengistirahatkannya pada siang hari di buan puasa seperti saat ini.
Untuk bisa terus bertahan, tumbuh dan tetap dalam kondisi fit, seluruh bagian tubuh juga butu pasokan gizi dan nutrisi yang seimbang. Secara ilmu kesehatan, tubuh kita butuh minimal 4 jenis nutrisi utama yaitu karbohdrat, lemak, protein dan vitamin. Sangat tidak adil, jika kita hanya “mencekoki” tubuh kita dengan asupan karbohidrat dan lemak saja, sementara protein dan vitamin diabaikan. Begitu juga mengkonsumsi jenis makanan yang monoton nyaris tanpa variasi, juga merubakan salah satu bentuk ketidak adilan kita terhadap tubuh kita sendiri.
Seperti telah disinggung di atas, bahwa puasa butuh kesiapan fisik yang memadai, supaya daya tahan tubuh kita tetap terjaga selama menjalankan ibadah puasa. Salah satu upaya agar kondisi tubuh kita selalu dalam keadaan fit, meski sedang menjalankan ibadah puasa, adalah dengan cara bersikap adil terhadap tubuh kita. Berbeda dengan hari-hari biasa, dimana kita bisa makan dan minum kapan saja, pada bulan puasa ini, kita pola makan dan minum kita dibatasi oleh waktu yang memang sudah menjadi ketentuan dari syariat agama yang kita anut. Maka memberikan gizi dan nutrisi yang cukup, beragam dan berimbang pada saat sahur dan berbuka, adalah sikap yang adil bagi diri kita. Pola konsumsi yang meperhatikan kecukupan gizi, keragaman bahan pangan dan keseimbangan kalori, dalam istilah ketahanan pangan sering disebut diversifikasi pangan. Artinya melalui diversifikasi pangan, khususnya selama menjalankan ibadah puasa, setidaknya kita sudah bersikap adil kepada tubuh kita, karena selain butuh gizi dan nutrisi yang cukup dan seimbang, kita jga butuh variasi dalam penyajian menu, untuk membangkitkan selera makan. Bayangkan, jika menu sahur dan berbuka kita tidak pernah ada variasi, maka akan timbul kejenuhan dan kebosanan, akibatnya kita jadi malas akan sahur atau buka puasa, dan tentu saja tubuh kita yang akan menerima dampaknya.
Diversifikasi pangan tidak identik dengan pemborosan atau kemahalan, karena diversifikasi pangan dapat kita lakukan dengan mengoptimalkan potensi pangan lokal yang ada di sekitar kita. Dengan sedikit sentuhan kreatifitas, bahan pangan “ndeso” seperti ubi, singkong, talas, labu tanah dan sebagainya dapat kita “sulap” menjadi hidangan menggugah selera dan tentu saja memiliki kandungan gizi yang memadai. Begitu juga dengan potensi perikanan dan peternakan yang bisa kita kelola disekitar tempat tiggal kita, hanya butuh sedikit kreativitas saja untuk merubah menu biasa menjadi menu menarik dan mengundang selera.
Berbagai jenis sayuran dan buah-buahan yang biasa tumbuh di sekitar tempat tinggal kita, juga merupakan potensi untuk melakukan diversifikasi pangan. Hidangan buka puasa berupa nasi, tumisan kangkung, tahu/tempe bacem, sayur lodeh labu siam, ikan mujahir goreng ditambah buah pisang, adalah contoh menu sederhana yang sudah cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh kita, dtambah dengan penganan berupa ubi goreng dan kolak labu tanah, tentu akan membuat suasana berbuka kita serasa beragam, meski hanya berbahan pangan lokal yang mudah kita dapatkan di pekarangan rumah atau dari penjual sayur keliling. Dan hari berikutnya menu sahur atau berbuka yang memanfaatkan potensi sumberdaya pangan lokal dengan variasi berbeda, akan membuat suasana sahur dan berbuka selalu bersemangat., berbeda misalnya jika menu yang disajikan monoton dan itu-itu saja.
Makanan dengan kandungan lemak jenuh tinggi, bukan jenis pangan yang disarankan, begitu juga dengan makanan dengan rasa yang ekstrim seperti terlalu pedas, terlalu manis, terlalu asam juga bukan asaupan pangan yang baik selama puasa, karena akan mengganggu sistem pencernaan dan metabolisme dalam tubuh.
Memulai membiasakan diversifikasi pola konsumsi pangan dalam bulan puasa seperti sekarang ini, merupakan langkah bijak untuk memulai pola hidup sehat. Karena dengan diversifikasi pangan, kondisi tubuh kita akan tetap terjaga meski sedang menjalankan puasa. Tentu tidak bijak juga, jika penerapan diversifikasi pangan ini hanya pada bulan Ramadan saja, akan sangat baik jika diversifikasi pangan ini juga diterapkan pada bulan-bulan lainnya diluar bulan puasa, tentu saja dengan penyesuaian-penyesuaian, karena diluar bulan puasa, pola dan waktu makan kita juga berubah.
Bulan Ramadan bagi umat Islam adalah momentum yang sangat tepat untuk melakukan kebaikan dan memperbaiki kesalahan, termasuk dalam memperbaiki pola konsumsi pangan dan meperbaiki kesalah kaprahan dalam pemenuhan gizi dan nutrisi bagi tubuh kita. Ramadan memang penuh berkah, tak ada salahnya jika kita menjadikan bulan ini sebagai momentum untuk melakukan diversifikasi pangan, salah satu unsur penting dalam pembentukan ketahanan pangan.
*) Kasie Layanan Informasi dan Media Komunikasi Publik pada Dinas Kominfo Kabupaten Aceh Tengah, Peminat bidang Pertanian dan Ketahanan Pangan.