:
Oleh MC Kab Aceh Tengah, Selasa, 23 Februari 2021 | 14:26 WIB - Redaktur: Kusnadi - 2K
Catatan : Fathan Muhammad Taufiq *).
Aceh Tengah, InfoPublik - Beberapa waktu yang lalu, saya sempat meliput kegiatan Bupati Aceh Tengah di Daerah Jamat, semuah kemukiman (himpunan beberapa desa) terpencil di Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah. Usai melakukan liputan, saya merasa tertarik dengan hamparan sawah yang cukup luas di salah satu desa di kemukiman tersebut, yaitu di Desa Wihni Dusun Jamat. Bukan luasnya lahan sawah yang menccapai ratusan hektar itu yang menarik perhatian saya, namun bagaimana petani di desa terpencil tersebut mengairi sawah-sawah mereka, karena di daerah tersebut belum ada jaringan irigasi. Itulah yang kemudian menggugah keingin tahuan saya untuk melakukan penelusuran lebih lanjut.
Desa Wihni Dusun Jamat merupakan salah satu desa di kemukiman Jamat, Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah yang termasuk paling terpencil, letaknya lumayan jauh yaitu lebih dari 70 km dari ibukota kabupaten, berada di paling ujung timur wilayah Kecamatan Linge. Berbeda dengan desa lain di Kabupaten Aceh Tengah yang rata-rata berada pada ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut, Desa Wihni Dusun Jamat yang berada persis di pinggiran sebuah sungai besar yang bermuara di Arakundo dan Lhok Nibong, Aceh Timur ini berada pada elevasi di bawah 600 meter di atas permukaan laut. Itulah sebabnya suhu udara di desa ini relatif panas dan beberapa jenis tanaman dataran rendah seperti kelapa, durian dan rambutan dapat tumbuh baik di sini.
Masih belum baiknya infrastruktur jalan dan jembatan menuju desa ini, membuat desa ini terkesan agak terisolir, meski upaya perbaikan infrastruktur juga terus dilakukan oleh pemerintah kabupaten setempat. Berpenduduk sekitar 421 kepala keluarga atau lebih dari 1.500 jiwa, desa seluas lebih 30.000 hektar ini memiliki potensi lahan pertanian dan peternakan yang sangat menjanjikan. Selain memiliki ratusan hektare areal penggembalaan ternak atau yang oleh masyarakat setempat disebut “peruweren” yang bisa menampung ribuan ternak ruminansia besar seperti kerbau dan sapi, desa ini juga memiliki potensi lahan sawah yang cukup luas yaitu sekitar 400 hektare. Lahan seluas itulah yang menjadi tumpuan cadangan pangan bagi warga desa yang sebagian besar memang menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian.
Hamparan lahan sawah di Desa Wihni Dusun Jamat (FMT)
Namun sayangnya lahan sawah yang lumayan luas itu, sampai saat ini belum memiliki jaringan irigasi teknis. Petani padi di desa ini hanya mengandalkan jaringan irigasi sederhana dengan memanfaatkan air dari hulu sungai Arakundo tersebut. Untuk bisa mengairi semua lahan sawah yang ada, para petani harus “menaikkan” air sungai, agar bisa mengalir melalui parit-parit irigasi perdesaan yang selanjutnya mampu mensuplai kebutuhan air untuk petak-petak sawah tersebut.
Sebenarnya petani setempat sangat membutuhkan sebuah bendungan permanen yang bisa mengatur sumplai air ke lahan perswahan mereka sesuai dengan kebutuhan, namun “mimpi” petani desa Wihni Dusun Jamat itu, sampai saat ini belum dapat terealisasikan, karena untuk membangun sebuah bendungan pada sungai yang lebarnya lebih dari 100 meter itu tentu dibutuhkan biaya yang tidak sedikit.
“Tak ada rotan, akarpun jadi”, mungkin pepatah itu tepat untuk menggambarkan upaya para petani desa Jamat agar sawah-sawah mereka bisa tetap terairi dan mereka dapat melakukan usaha tani padi, tak hanya pasrah dengan alam. Mungkin karena sudah puluhan tahun bercengkerama dengan alam disekitarnya, para petani disana seperti sudah bisa “menaklukkan” air sungai agar dapat mereka manfaatkan untuk mendukung usaha tani mereka. Karena rata-rata areal persawahan mereka berada diatas permukaan sungai, maka harus ada upaya supaya air bisa “naik” dan mengairi lahan pertanian mereka.
Sungguh sebuah kreatifitas yang luar biasa, meski dengan segala keterbatasan, mereka dengan cara tradisional yang sangat sederhana, akhirnya mampu menaikkan air sungai untuk mengairi lahan sawah mereka. Yang mereka lakukan adalah bergotong royong membuat bendungan sederhana yang mereka sebut dengan “rabung”. Caranya, mereka membendung sungai dengan menyusun batu-batu besar “memotong” sungai, untuk mengurangi kebocoran di bagian bawah, mereka menyumpal sela-sela susunan batu itu dengan jalinan ilalang.
Meski yang mereka lakukan adalah pekerjaan yang cukup sederhana, tapi tetap saja harus dilakukan secara teliti dan memperhitungkuan kondisi sungai itu sendiri. Berdasarkan “ilmu” yang mereka peroleh secara turun temurun, mereka tidak memotong sungai secara tegak lurus, tapi dibuat berkelok, tujuannya agar arus sungai tidak bertumpu pada satu titik yang bisa menyebabkan bendungan mereka jebol. Setelah permukaan air sungai naik karena tertahan oleh bendungan sederhana setingi 4 – 6 meter itu, mereka kemudian mengalirkan air melalui parit-parit irigasi sederhana untuk mengari sawah mereka.
Tapi karena sifatnya tidak permanen, para petani di sana harus melakukannya secara berulang setiap menjelang musim tanam, karena pada saat debit air sungai meningkat pada musim hujan, bendungan sederhana yang mereka buat akan jebol berantakan. Dan menjelang musim tanam berikutnya, mereka harus kembali melakukan “ritual” yang sama, meski begitu sepertinya tidak ada kata putus asa di benak mereka, mereka menjalaninya dengan ikhlas seolah itu memang sudah menjadi “siklus alam” yang harus mereka terima.
Karena tingkat ketinggian permukaan sawah juga beragam, petani setempat akhirnya harus membuat rabung pada beberapa titik untuk memenehi kebutuhan air pada lahan sawah mereka yang memang cukup luas. Melintasai jembatan gantung yang menghubungkan desa ini dengan desa lainnya, beberapa bendungan rabung ini terlihat ‘memotong’ sungai pada beberapa titik. Bagi yang tidak paham, tentu menganggap ini sebagai pekerjaan iseng yang tidak ada manfaatnya, namun bagi yang memahami kearifan lokal di desa ini, tentu akan tau betapa bermanfaatnya bendungan sederhana ini.
Ternyata dengan teknik sederhana tersebut, sampai dengan saat ini, para petani terus dapat menanam padi di sawah mereka, air sungai besar yang nyaris tidak pernah kering sepanjang tahun membuat mereka bisa bersawah setiap musim. Bahkan dengan bimbingan dan penyuluhan yang dilakukan oleh para penyuluh pertanian dari BPP Ketapang Linge, sekarang mereka sudah terbiasa menerapkan pola tanam terpadu dengan menggunakan benih unggul dan pola tanam jajar legowo. Varietas Ciherang, kemudian menjadi pilihan para petani disana, karena syarat tumbuh padi varietas itu yang menghendaki ketinggian dibawah 800 meter dpl, memang sesuai dengan topografi dan elevasi daerah itu.
Sosialisasi penggunaan benih padi varietas unggul dan penerapan pola tanam jajar legowo yang terus menerus dilakukan oleh para penyuluh pertanian itu, kini sudah menampakkan hasil yang memuaskan. Dengan varietas Ciherang yang umurnya hanya sekitar 3,5 - 4 bulan, kini petani Jamat sudah bisa menanam dua kali dalam setahun, apalagi ketersediaan air di daerah itu memang sangat mencukupi untuk mendukung upaya percepatan swasembada beras.
Kini, untuk skala desa, mereka benar-benar sudah mampu mencapai swasembada pangan. Dengan produktivitas rata-rata 6,1 ton per hektar, 400 hektar lahan sawah yang ada disana sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan warga desa setempat dan beberapa desa disekitarnya, apalagi belakangan indeks pertanaman mereka juga meningkat menjadi 2 kali. Ini juga tidak terlepas dari kegigihan para penyuluh yang secara rutin melakukan pembinaan dan penyuluhan disana, meski untuk mencapai desa itu, harus menaklukkan tantangan alam yang tidak ringan seperti kondisi jalan dan jembatan yang rusak serta jauhnya akses hampir disemua aspek.
Meski berada didaerah terpencil dan nyaris terisolir, namun desa Jamat kini sudah menjadi sebuah desa swasembada yang sudah mampu memenuhi kebutuhan pangan dari lahan pertanian mereka sendiri, bahkan kini desa Jamat sudah menjadi salah satu lumbung pangan di kecamatan Linge bahkan kabupaten Aceh Tengah. Jadi, selain cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan warga desa setempat, para petani padi disana kini sudah mampu mensuplai pangan ke desa-desa bahkan kecamatan lainnya.
Tak hanya padi, desa Jamat juga sudah sejak lama dikenal sebagai sentra produksi ternak kerbau. Ribuan ekor kerbau, tumbuh dan berkembang dengan sangat baik di sekitar desa yang memang memiliki lahan “peruweren” yang cukup luas ini, tak heran kalau desa ini juga menjadi pemasok ternak di kabupaten Aceh Tengah. Selain ternak kerbau, Durian Jamat juga sudah sangat terkenal sejak dulu, tanaman penghasil buah berduri dengan aroma khas itu memang sudah dibudidayakan di desa itu secara turun temurun.
Gaung upaya khusus percepatan swasembada padi, jagung dan kedele (Upsus Pajale) yang mulai digalakkan oleh Kementerian pertanian sejak tahun 2015 yang lalu juga sudah disahuti oleh para petani di daerah terpencil ini. Tak hanya padi yang memang merupakan potensi pertanian utama di desa ini, masyarakat setempat yang kini terlihat akrab dengan para penyuluh dan Babinsa ini juga mulai tergerak untuk mengembangkan komoditi kedelai. Dari data yang ada pada BPP Ketapang, beberapa tahun yang lalu juga pernah dikembangkan tidak kurang dari 30 hektar tanaman kedelai di desa ini. Lahan-lahan marginal yang selama ini nyaris hanya jadi tempat “bermain” ternak, sebagian telah berubah menjadi hamparan tanaman kedelai. Hasilnyapun cukup menggembirakan, pada saat panen, tanaman kedelai masyarakat desa Jamat mampu mengasilkan produktivitas sekitar 1,2 – 1,5 ton per hektar. Namun karena lahan pertanaman kedelai juga merupakan areal penggembalaan ternak, akhirnya aktifitas usaha tani kedelai ini semakin menciut lahannya, karena petani harus membuat pagar agar tanaman kedelai tidak diganggu oleh ternak.
Ternyata dibalik kesederhanaan warga Desa Wihni Dusun Jamat, tersimpan potensi sumber daya manusia yang luar biasa, dalam keterbatasan, mereka tetap mampu berbuat tanpa harus bergantung dan terus berharap kepada pemerintah yang entah kapan mampu merealisasikan “mimpi” mereka. Interaksi yang sangat baik dengan para penyuluh pertanian di kecamatan Linge, telah membuat mereka mampu meningkatkan kesejahteraan mereka secara signifikan. Keterisoliran, tidak membuat mereka “patah semangat”, bahkan menjadi pemicu bagi mereka untuk “bangkit”.
Semoga catatan kecil ini bisa 'membuka mata' pihak-pihak terkait untuk 'melirik' dan memberikan perhatian kepada para petani di daerah terpencil ini, karena sejatinya mereka adalah pahlawan ketahanan pangan yang terus berkarya untuk menjaga ketersediaan pangan di daerah mereka. Sudah sewajarnya pemerintah memprioritaskan pembangunan infra struktur pertanian di daerah ini, karena selama ini petani di desa ini telah menunjukkan kontribusi mereka sebagai salah satu lumbung pangan daerah. Begitu juga dengan infrastruktur jalan yang akan memperlancar roda perekonomian mereka, karena desa ini juga kaya potensi yang bernilai ekonomi.
*) Kasie Layanan Informasi dan Media Komunikasi Publik pada Dinas Kominfo Kabupaten Aceh Tengah.