:
Oleh MC Kab Aceh Tengah, Sabtu, 6 Februari 2021 | 11:43 WIB - Redaktur: Kusnadi - 63K
Oleh : Fathan Muhammad Taufiq *)
Aceh Tengah, InfoPublik - Anomali iklim dan cuaca yang semakin sering terjadi selama dasawarsa terakhir ini, merupakan fenomena nyata telah terjadinya perubahan iklim yang sangat signifikan di semua belahan dunia (Global Climate Change). Kalau pada pada dasawarsa sebelumnya, pergantian musim dapat ditebak dengan menghitung bulan setiap tahunnya, namun kondisi itu kini sudah nyaris berubah total. Bulan Meret sampai September yang selama ini selalu diindentikkan dengan musim kemarau, namun pada bulan-bulan tersebut sering terjadi curah hujan dengan intensitas tinggi, sehingga dampaknya sulit di antisipasi, karena memang diluar prediksi. Begitu juga dengan musim penghujan yang biasanya terjadi pada bulan Oktober sampai dengan Pebruari, sekarang juga sudah sangat sulit di prediksi, pada bulan-bulan dimana biasanya terjadi hujan dengan intensitas tinggi, namun di beberapa daerah malah terjadi kekeringan.
Terjadinya perubahan iklim dan cuaca yang semakin meluas itu, banyak ditengarai akibat kerusakan lingkungan yang semakin parah. Penebangan hutan secara liar dan tidak terkendali, penggunaan gas freon dan pestisida kimia secara berlebihan, pencemaran udara oleh pabrik maupun kendaraan bermotor, penggunaan plastik dan benda lain yang sulit terurai dalam tanah dan berbagai tindakan atau prilaku tidak peduli kepada lingkungan yang dilakukan baik secara sadar maupun tidak sadar. Tindakan atau perilaku tersebut kemudian berdampak pada kenaikan suhu permukaan bumi atau pemanasan global (Global Warming), menurunnya kualitas tanah, udara dan air akibat pencemaran yang kemudian terakulumulasi sebagai penyebab terjadinya perubahan iklim secara signifikan.
Naiknya suhu di permukaan laut maupun daratan bisa menyebabkan sulitnya terbentuk awan pembawa hujan, sehingga musim hujan atau kemarau tidak lagi bisa diprediksi secara tepat. Banyaknya material atau partikel kimia yang tidak dapat terurai dalam tanah, juga menyebabkan kualitas dan daya dukung lahan menurun drastis, sementara kerusakan hutan yang semakin parah memicu terjadinya banjir dan longsor pada musim hujan dan kesulitan air atau kekeringan pada musim kemarau. Penggunaan pestisida dan bahan kimia beracun lainnya telah menyebabkan matinya jutaan bahkan milyaran mikro organisme dalam tanah, sehingga proses pelapukan material organik (Dekomposisi) dalam tanah juga terhambat, ini menyebabkan tingkat kesuburan tanah semakin menurun dari waktu ke waktu.
Dampak dari perubahan iklim ini akhirnya dirasakan oleh semua sektor kehidupan, namun dampak terbesar sangat dirasakan di sektor pertanian. Menurunnya kualitas, kesuburan dan daya dukung lahan, menyebabkan produktivitas hasil pertanian juga ikut menurun, begitu juga dengan ketersediaan air yang semakin terbatas dan kualitasnyapun yang semakin menurun, juga menjadi penyebab terus anjloknya produksi pertanian. Ditambah lagi dengan fenomena El Nino dan La Nina yang juga sangat berpengaruh terhadap siklus iklim yang secara otomatis menyebabkan bergesernya jadwal tanam berbagai komoditi pertanian serta semakin besarnya kemungkinan terjadi gagal panen (puso).
Kondisi demikian membuat banyak pihak semakin mengkhawatirkan dampak dari Global Climmate Change ini. Organisasi pangan dan pertanian dunia atau Food and Agricultural Organisation (FAO) termasuk pihak yang paling mengkhawatirkan kondisi ini dalam kaitannya dengan pembangunan pertanian dan ketersediaan pangan. Karena menurunnya produktivitas hasil pertanian juga akan berdampak pada penurunan tingkat ketahanan pangan, sementara ketahanan pangan sendiri merupakan salah satu faktor penting dalam ketahanan sebuah bangsa atau negara. Krisis pangan yang terjadi di suatu negara, akan memicu timbulnya krisis lain seperti krisis sosial dan krisis keamanan, seperti yang telah terjadi di beberapa negara di Afrika. Krisis pangan di Negara-negara tersebut telah memicu meningkatnya tindak kriminal, gangguan keamanan bahkan peperangan.
Ancam stabilitas pertanian dan ketahanan pangan
Kekhawatiran terjadinya krisis pertanian dan pangan ini diungkapkan oleh Perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste, Mark Smulders beberapa waktu yang lalu saat mengadakan pertemuan dengan para pejabat terkait di Kementerian Pertanian dan pihak terkait lainnya di Jakarta beberapa waktu yang lalu (Sumber : Kementerian Pertanian/Tabloid Sinar Tani). Meski krisis yang terjadi di Indonesia tidak seburuk yang terjadi di negara lain seperti Filipina dan Karibia, namun kondisi perubahan iklim global ini tetap harus diwaspadai, karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan cakupan wilayah yang sangat luas dan memilki karakteristik iklim dan cuaca yang sangat beragam.
Beberapa penelitian di FAO menunjukkan Indonesia sebagai negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara yang akan paling menderita akibat perubahan iklim, terutama terjadinya kekeringan dan banjir. Pasalnya, fenomena ini akan menurunkan produksi pangan dan kapasitas produksi pertanian.
“Misalnya, di Pulau Jawa karena perubahan iklim, diprediksi akan terjadi penurunan produksi sebesar 5% pada tahun 2025 dan penurunan 10% pada tahun 2050 mendatang, penurunan produksi itu bahkan bisa lebih dari itu, ini perlu diwaspadai dan diantisipasi secara dini,” ungkap Mark.
Mengenai posisi ketahanan pangan Indonesia, Mark Smulders menuturkan, meski pemerintah telah melakukan antisipasi cukup baik dengan meningkatkan total ketersediaan pangan untuk penduduknya, namun, dia mengingatkan lagi, tantangan ketahanan pangan tidak hanya mengantisipasi perubahan iklim, tapi faktor lainnya seperti urbanisasi, penyempitan lahan pertanian akibat alih fungsi serta belum efektifnya upaya pemberdayaan petani.
Menurut prediksi Mark, di Indonesia pada tahun 2050 yang akan datang, akan terjadi lonjakan jumlah penduduk yang sangat drastis, mengingat laju pertumbuhan penduduk saat ini yang masih relatif tinggi. Ini harus diantisipasi dengan menaikkan produksi pangan paling tidak sebesar 60%. Untuk bisa mencapai target tersebut, mau tidak mau, pemerintah harus mampu meminimalisir dampak perubahan iklim ini secepatnya, misalnya dengan memperketat pengawasan dan pemeliharaan kawasan hutan untuk mencegah illegal logging dan pembakaran hutan, mengurangi penggunaan material anorganik seperti plastik dan sterefoam, meminimalisir penggunaan pestisida dan zat kimia berbahaya lainnya dalam usaha pertanian dengan menggalakkan pemanfaatan bahan nabati dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman, serta mempercepat adopsi teknologi pertanian. Selain itu upaya memperbaiki kualitas lingkungan juga harus terus dilakukan dengan melibatkan semua lemen masyarakat, karena tanpa keterlitan masyarakat, program penyelamatan lingkungan akan sulit berhasil.
Terkait dengan global climate chage, Mark mengharapkan agar masyarakat juga aktif untuk meng-update data iklim dan cuaca di daerah mereka untuk bisa melakukan antisipasi dini, misalnya dalam pengaturan jadwal tanam dan efisiensi penggunaan air dalam aktifitas usha tani mereka. Petani harus cerdas membaca kondisi alam, baik intensitas curah hujan, suhu dan kelembaban udara, intnsitas penyinaran matahari, arah dan kecepatan angin. Prediksi iklim dan cuaca serta peringatan dini (Ealrly Warning) yang selama ini selalu dikeluarkan oleh otoritas BMKG, merupakan salah satu instrumen penting yang bisa dimanfaatkan petani untuk mengantisipasi dampak dari global climate change ini.
Berpengaruh pada penurunan produksi pertanian dan perkebunan.
Tidak hanya komoditi pangan saja terdampak oleh perubahan iklim global, di Dataran Tinggi Gayo yang merupakan produsen utama kopi arabika, perubahan iklim yang belakangan semakin ekstrim juga berdampak pada menurunnya produktivitas kopi arabika di daerah tersebut. Seperti diungkapkan oleh seorang peneliti yang juga Kepala Loka Penilitian Teknologi Perkebunan (LPTP) Kopi Gayo, Ir. Khalid beberapa waktu yang lalu menanggapi menurunnya produksi kopi arabika di kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah pada musim panen tahunini.
Khalid menengarai, menurunnya produksi kopi Gayo adalah dampak dari perubahan dan anomali iklim yang terjadi beberapa tahun terakhir di daerah ini. Bulan April, Mei dan Juni adalah waktu berbunganya kopi dan pada saat itu tanaman kopi membutuhkan banyak air, namun pada saat bersamaan, daerah ini dilanda kemarau yang cukup panjang, sehingga ketersediaan air untuk tanaman kopi tidak mencukupi. Akibatnya proses pembungaan tidak sempurna yang kemudian berdampak pada berkurangnya buah. Menurut taksiran Khalid, produksi kopi arabika di Dataran Tinggi Gayo pada tahun ini mengalami penurunan sekitar 30 persen disbanding tahun sebelumnya.
Bagi masyarakat Gayo, menurunnya produksi kopi juga akan berdampak kepada penurunan pendapatan masyarakat, karena lebih dari 80 persen masyarakat di kedua kabupaten ini menggantungkan hidupnya dari budidaya kopi. Menurunnya pendapatan petani akhirnya berdampak pula kepada penurunan daya beli masyarakat termasuk daya beli produk-produk pangan utama seperti beras, karena selama ini hampir 40 persen kebutuan pangan di daerah ini masih bergantung pasokan dari luar daerah. Secara langsung maupun tidak langsung dampak perubahan iklim global pada tanaman kopi Gayo akhirnya juga mempengaruhi ketahanan pangan masyarakat Gayo.
Kalau sudah demikian, apakah kita juga masih akan beranggapan bahwa informasi iklim dan cuaca itu tidak penting?, semua kembali kepada kearifan kita masing-masing kalau kita masih punya “rasa” dan kepedulian akan keselamatan dan kelangsungan hidup generasi yang akan datang.
*) Kasie Layanan Informasi dan Media Komunikasi Publik pada Dinas Kominfo Kabupaten Aceh Tengah, pemerhati pertanian dan ketahanan pangan.