Mengenal Badikia, Budaya Peringatan Maulid Nabi yang Dilaksanakan di Agam

:


Oleh MC KAB AGAM, Senin, 16 November 2020 | 11:11 WIB - Redaktur: Kusnadi - 2K


Agam, InfoPublik - Masjid Jami’ Nurul Falah Jorong Kubu Anau, Nagari Manggopoh, Kecamatan Lubuk Basung, Kabupaten Agam memperingati Maulid Nabi, Sabtu (14/11). Meskipun letak geografisnya wilayah Kabupaten Agam, namun adat dan budayanya masih kental menurut aliran “urang piaman” atau disebut dengan budaya “urang ilie”.

Maulid Nabi dengan Syaraf Al-Annam ini dikenal dengan “Badikie” (berzikir, red.) yang dilakukan oleh kaum tarekat Syattariyah yang dibawakan oleh “urang siyak” (tuangku).

Pada saat menentukan hari “Badikia” maulid ini, maka para pemangku nagari tersebut yang terdiri dari niniak mamak, alim ulama, cadiak pandai, tuo kampuang dan pengurus masjid berkumpul untuk menentukan hari peringatan Maulid Nabi.

“Badikie” merupakan ungkapan atau nyanyian yang menceritakan sejarah mulai kelahiran Nabi Muhammad SAW sampai beliau meninggal.

Menurut keterangan Tuangku Kuniang, “Badikia” merupakan inti dari acara maulid nabi. Pada prosesi “Badikia, syair yang dilantunkan berbahasa Arab. Syair tersebut memiliki aturan sendiri yang terdapat pada kitab Syarafal Anam.

Dari pantauan AMC, para tuangku menyanyikan dengan suara yang lantang dan merdu menggunakan microphone masjid. Sembari memukul dulang mereka bergantian untuk menyanyikan shalawat.

“Tidak semua orang bisa memahami syair yang disampaikan urang siyak tersebut. Meskipun demikian, sejak turun-temurun masyarakat kita sangat percaya dan memahaminya dari arti syair tersebut,” ujar Tuangku Kuniang.

Pelaksanaan maulid ini cukup panjang waktunya, yaitu dimulai dari habis shalat Isya dan selesai besoknya sampai shalat Ashar.

Tuangku menjelaskan, usai urang siyak “Badikie”, semua masyarakat atau jamaah masjid baik kaum laki-laki maupun ibu-ibu. Kaum laki-laki akan mengumpulkan uang dalam bentuk sumbangan. Sumbangan tersebut digunakan untuk pembangunan masjid dan “upah dikie” beberapa urang siyak.

Sementara itu, kaum ibu-ibu membawa lamang dan nasi bajamba dari rumah dengan prosesinya yang jalan bersamaan dengan “badikia”.

“Isi samba yang dibawa oleh masyarakat kita adalah hasil pancingan ikan larangan dari sungai,” jelasnya.

Sesampai di masjid, kemudian dilakukan prosesi “Basantok” (bersantap, red) yaitu acara makan bersama/bajamba (nasi bungkus daun) yang dimulai usai shalat Zuhur.

Pada acara “basantok” terdapat tuturan dari sipangka/panitia masjid untuk mempersilahkan tamu menikmati hidangan yang telah dipersiapkan. Makanan yang berlebih akan dibawa pulang dan dibagikan kepada kaum dhuafa.

Begitu setiap masyarakat yang pulang, akan diberi masing-masing orangnya satu batang lamang.

Pembuatan lamang, menurut Tuangku Kuniang, sebagai simbol telah datangnya hari maulid nabi. Makna lamang dalam prosesi “badikie” sebagai penolong ke surga.

Kendati demikian, jelas Tuangku, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di setiap nagari akan berbeda-beda prosesi acara dan kemeriahannya namun hakikat tujuannya adalah sama.

“Lain lubuak, lain pulo ikannyo. Lain tampek, lain pulo caro adatnyo (lain lubuk lain ikannya, lain tempat lain pula adatnya, red.),” ujar Tuangku menjelaskan.

Mengambil Ikan Larangan untuk Maulid Nabi

Sementara itu, Orang Tuo Kampung Kubu Anau, Abdul Razak, mengatakan, bahwa ikan larangan di Sungai Dusun 1 Jorong Kubu Anau akan diambil hanya saat peringatan Hari Maulid Nabi Muhammad SAW saja.

Dalam pengambilannya, akan dibentuk panitia kecil yang diurus oleh para pemuda dan niniak mamak, cadiak pandai, bundo kanduang dan tokoh masyarakat lainnya sebagai penasehat. Namun, apabila ada oknum yang melanggar aturan tersebut (mengambil ikan) sebelum masa pengambilannya, maka penasehat tersebut akan memberikan sanksi sosial berupa denda 10 sak semen ditambah sejumlah uang tunai berdasarkan kesepakatan bersama.

“Ini dalam rangka menegakkan aturan bernagari,” jelasnya.

Menurut Razak yang juga sebagai Kepala Dusun 1 Jorong Kubu Anau, untuk mengambil ikan tersebut juga dibuat aturan-aturannya. Seperti, waktu memancing, “manjalo” (menjala, red.) atau “malukah” (jenis menangkap ikan secara tradisional).

Bagi warga yang ingin mengambilnya, dianjurkan untuk membayar insert ala kadarnya untuk mengumpulkan dana pembangunan masjid atau kas pemuda. Berdasarkan kata mufakat bersama.

Biasanya, jelas Razak, pengambilan ikan dilakukan selama dua hari atau di hari H prosesi “badikie” selesai.

Setelah masyarakat mengambil ikan, sorenya kaum ibu-ibu atau bundo kanduang mengantarkan nasi bungkus yang dibawa dengan “talam” atau disebut dengan nasi bajamba.

“Hampir seluruh sambalnya (lauk, red.) adalah ikan yang dicari di sungai tadi. Kemudian, juga dicampur dengan sambal lainnya, seperti telur, daging dan sayur-sayuran,” jelasnya.

Hingga usai pelaksanaan maulid nabi selesai, tidak lama kemudian sekitar beberapa hari ke-depan tepatnya di hari Jum’at, sungai tersebut juga akan dilarang untuk diambil.

“Berdasarkan kesepakatan bersama, di dalam masjid tersebut kita umumkan bahwa ikan kita sudah dilarang sampai peringatan Hari Maulid Nabi tahun depan,” tukuk Razak mengakhiri.

Sementara itu, Walinagari Manggopoh Ridwan, yang hadir pada kesempatan itu, menyampaikan apresiasinya atas pelaksanaan Maulid Nabi SAW di Jorong Kubu Anau dengan menjunjung tinggi nilai-nilai sara’ dan tradisi nenek moyang.

Menurut walinagari dua periode itu, sebagai peninggalan budaya dan tradisi Islam sudah sepatutnya untuk terus dijaga, terlebih Syaraf Al-Annam juga dapat dijadikan bagian dari ibadah karena didalamnya ada lantunan dzikir dan sholawat.

Setidaknya, banyak amalan yang diperoleh melalui pelaksanaan Maulid Nabi Saraf Al-Annam tersebut. Diantaranya, amalan jahiriyah dengan hadir pada acara pengajian.

Ke-dua, budaya gotong royong dalam menyelenggarakan prosesi maulid nabi, ke-tiga, meningkatnya Ukhuwah Islamiyah sekaligus mempererat silahturahmi diantara sesama.

“Maka, tradisi seperti ini harus tetap dijaga dan dilestarikan, jangan sampai hilang,” pinta walinagari didampingi Ketua Bamus Manggopoh, E. Dt. Jalo Anso. (MC Agam)