:
Oleh Gusti Andry, Kamis, 30 Mei 2019 | 16:03 WIB - Redaktur: Noor Yanto - 1K
Palu, InfoPublik - Nardi (35), tampak bersemangat memainkan skopnya mengaduk campuran semen dan pasir untuk membangun sendiri dapur di unit hunian sementara (huntara) mereka. Istri dan anaknya turut menemani dengan obrolan dan tawa sesekali. Nyaris tak nampak kesedihan dari raut wajah ketiganya. Delapan bulan lalu, mereka harus merelakan kepergian orang tercinta secara tragis.
Waktu itu, ujar Nardi memulai kisah mereka, gempa mulai mengguncang wilayah Palu sejak sekitar pukul tiga sore. Sebagian besar warga Palu memang sudah terbiasa dengan gempa. Pun bagi Nardi, ia mulanya tidak terlalu khawatir. “Itu gempa-gempa kecil memang sudah terjadi beberapa kali sejak sore,” katanya.
Tapi, menjelang magrib, terjadilah geteran gempa yang sangat keras. Ibu mertua Nardi yang sudah separuh baya, mendadak lumpuh. “Mungkin karena ia kaget dan pusing karena guncangan gempa,” simpul Nardi.
“Ibu memang ada menderita penyakit gula juga,” istri Nardi menimpali tentang penyakit ibu kandungnya yang saat itu sudah berusia 55 tahun.
Sementara masih bingung menghadapi ibu yang mendadak lumpuh, tiba-tiba bencana datang bukan hanya gempa. Nardi ingat betul, ada banyak warga di luar rumah yang berteriak-teriak air, air, air. “Saya pikir mana mungkin ada air. Tapi, pas saat itu, tempat kita berdiri ini memang bergelombang, tanah retak, berlubang, weeeiiiss mengerikan. Tanah yang keangkat-angkat itu terjadi ada mungkin sekitar lima menit,” ujarnya.
Nardi dan keluarga memutuskan mencari tempat yang lebih aman. Semula mereka berlari kecil menuntun Sang Ibu. Putrinya yang masih berusia lima tahun di gendongan. Suasana makin mencekam. Warga berlarian kian cepat demi menghindari gulungan tanah menyerupai air semakin deras di belakang mereka.
Nardi dan istrinya pun ikut mempercepat lari, hingga ibu yang ada di tuntunan terseret-seret. “Sudahlah... sudah... lepaskan saja,” kata Nardi menirukan tangisan ibu mertua yang merasa kesakitan, betapa tidak, ia sudah sekitar 30 meter terseret-seret di permukaan aspal kasar.
Tentu saja Nardi dan istrinya tak mau meninggalkan begitu saja ibu mereka dalam kemurkaan alam. Tapi takdir berkehendak lain, tak mudah berlari dalam kondisi tanah berguncang dan terbelah-belah, sambil tetap mempertahankan pegangan tangan ibu mereka. Saat pegangan mengendor dan akhirnya terlepas, hanya sekejapan Nardi menoleh ke belakang, tubuh ibu sudah tergulung gelombang tanah lempung.
Nardi tak sempat berbuat apa-apa untuk menolong, sebab perhatiannya teralihkan ke istri dan anak yang juga mulai tenggelam masuk ke lubang yang entah kapan terbukanya. Ibarat makan buah simalakama, bila ia nekad menolong ibu mertua, kemungkinan besar anak istrinya yang tenggelam. Akhirnya, dengan sekuat tenaga, ia rebut kembali kedua orang kesayangan itu dari pagutan bumi. Berhasil, lalu mereka kembali berlari mencari pijakan yang tidak terbelah, meninggalkan ibu mereka.
Menjelang pukul 10 malam, merasa sudah aman, mereka berhenti berlari. Bersama ratusan warga lainnya, mereka memilih lahan sekitar Bandara Mutiara SIS Al Jufri untuk bermalam. Jarak dari Desa Petobo ke bandara sekitar lima kilometer.
“Untung ini anak saya sore itu sudah makan. Kalau tidak pasti rewel sekali dia. Bekal kami malam itu hanya sekeping Oreo dan sebungkus mie goreng. Ada orang memberikan sarung, langsung saya bagi dua untuk selimut anak saya dan sepupunya,” cerita Nardi sambil mengusap rambut anak semata wayangnya.
Tiga hari setelah peristiwa yang menenggelamkan Desa Petobo 28 September 2018 itu, Nardi berupaya meminta batuan petugas operator eskvator untuk menggali lokasi dimana ibu mertuanya tertinggal. Tak kurang radius 15 meter menjadi lokasi pencarian. Tapi, jasad sang ibu menjadi satu dari 701 orang yang hilang dalam bencana besar tersebut.
Kini, istri Nardi memang sudah benar-benar merelakan kepergian ibu kandungnya. Ia hanya berharap suaminya segera bisa mendapatkan kembali pekerjaan tetap. Ia juga berharap, keluarganya dapat segera mendapatkan jatah hunian tetap (huntap) seperti yang dijanjikan pemerintah.