:
Oleh Gusti Andry, Selasa, 28 Mei 2019 | 12:29 WIB - Redaktur: Noor Yanto - 1K
Palu, InfoPublik - Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Pepatah ini benar-benar menggambarkan apa yang dialami Dewi delapan bulan lalu. Saat ia dan keluarga tengah bersuka cita memasuki rumah baru, hanya semalam, bangunan dua tingkat itu lenyap ditelan bumi.
Kisahnya bermula sekitar pertengahan 2018, Dewi bersama kakaknya, Debri, masing-masing membeli sebuah rumah. Debri langsung menempati miliknya. Maklum, ia seorang ibu tanpa anak yang sudah lama ditinggal pergi suami.
Beda halnya dengan Dewi, sang adik ini memiliki keluarga kecil, suami dan anak-anak, yang membutuhkan tempat bernaung lebih lapang. Sebelum ditempati, ia memutuskan merenovasi terlebih dahulu rumah barunya dengan membangun bertingkat. Genap tiga bulan, saat bau cat masih menyengat hidung, pada tanggal 27 September 2018, Dewi mulai menempati rumah impian.
Baru semalam, peristiwa itu kemudian menenggelamkan mimpi kakak beradik ini untuk hidup berjiran. “Saya kebetulan lagi dinas di luar kota saat gempa dan likuifaksi terjadi di Petobo pada 28 September 2018. Tapi adik saya, Dewi, ada di rumah, masih menata perabotan,” cerita Debri kepada InfoPublik, Senin (27/5), di Palu.
Dari bencana yang menelan korban jiwa lebih 4.000 orang tersebut, beruntung keluarga kecil Dewi selamat. Tapi itu setelah melalui pengalaman yang pasti tak akan terlupakan seumur hidup. Betapa tidak, saat magrib menjelang, perempuan 43 tahun itu merasakan bumi bergetar. Sesaat kemudian, dirasakan rumah seperti terayun terangkat.
Dari luar terdengar suara-suara panik. Banyak orang yang berteriak, “air...air...air...” Spontan Dewi beserta suami dan anaknya, naik ke lantai dua. Apa yang dilihat ternyata bukan air, melainkan tanah yang memang bak bergelombang menyeret rumah mereka selama beberapa menit hingga sejauh 200 meter. Saat berhenti terseret, mendadak dirasakan rumah melesak ke dalam bumi.
Dewi lantas melompat ke arah sebidang tanah yang dilihatnya sudah berhenti bergerak. Khawatir rumah makin melesak, sang suami lalu melemparkan anaknya dan langsung disambut oleh Dewi. Baru berikutnya ia ikut lompat. Sedikitnya satu jam mereka bergeming tak berani beranjak kemana-mana menunggu gelombang tanah benar-benar berhenti.
Namun, kepanikan warga terus berlanjut. Rintihan dan teriakan minta tolong terdengar dimana-mana. Bermodalkan lampu dari ponsel, Dewi bersama puluhan warga lainnya mulai mencari areal yang dirasa lebih aman. Lewat jam sepuluh malam, mereka memutuskan untuk beristirahat di tengah aspal jalan raya. Hingga hari ini, Dewi, Debri, dan puluhan ribu korban lainnya, masih menunggu jatah hunian tetap (huntap) dari pemerintah.
Pemerintah Kota Palu, Sulawesi Tengah, mencatat masih ada 6.655 jiwa pengungsi yang tinggal di tenda-tenda dan shelter pengungsian. Dari ratusan ribu korban, baru 4.468 kepala keluarga (KK) tertampung di hunian sementara (huntara) yang dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) maupun Non Government Organization (NGO). Sedangkan Dewi sekeluarga terpaksa kembali menempati rumah lama mereka. “Kalau saya, karena sendiri, yaaa jadi anak kos saja,” ujar Debri, perempuan 55 tahun ini menutup kisah.