Asesmen, Bukan Sekadar Pengganti UN

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Rabu, 14 Oktober 2020 | 07:58 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 751


Jakarta, InfoPublik - Dua bulan menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim membuat gebrakan. Salah satunya soal penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) buat peserta didik. Selama ini, UN diselenggaran untuk mengukur keberhasilan siswa. Hasil UN dijadikan ukuran untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya.

"UN kerap membuat guru, siswa, dan orang tua stres," kata Nadiem pertengahan Desember tahun lalu.

Sebagai gantinya, pemerintah akan menyelenggarakan asesmen nasional mulai 2021. Asesmen dilakukan dengan tujuan untuk mendorong perbaikan mutu pembelajaran dan hasil belajar peserta didik.

"Asesmen Nasional tidak sekadar pengganti UN, tapi juga sebagai penanda perubahan paradigma tentang evaluasi pendidikan," kata Nadiem dalam Webinar Koordinasi Asesmen Nasional di Jakarta, Selasa (6/10/2020).

Ada perubahan yang sangat mendasar dalam asesmen itu. Asesmen tidak lagi mengevaluasi capaian peserta didik secara individu, namun mengevaluasi dan memetakan sistem pendidikan berupa input, proses, dan hasil.

Hasil asesmen itu nantinya akan digunakan untuk perbaikan mutu pendidikan Indonesia.

Apa yang akan dilakukan dalam asesmen itu? Ada tiga bagian yang akan dilakukan yakni Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar.

AKM dirancang untuk mengukur capaian peserta didik dari hasil belajar kognitif yaitu literasi dan numerasi. Kedua aspek kompetensi minimum ini, menjadi syarat bagi peserta didik untuk berkontribusi di masyarakat, terlepas dari bidang kerja dan karier yang ingin mereka tekuni di masa depan.

Literasi bukan hanya kemampuan membaca, tetapi kemampuan menganalisis suatu bacaan, dan memahami konsep di balik tulisan tersebut. Sedangkan kompetensi numerasi bukan kemampuan menghitung, tapi kemampuan mengaplikasikan konsep hitungan dalam suatu konteks yang abstrak atau yang nyata.

Penilaian dalam asesmen akan mengacu pada tolok ukur yang termuat dalam Programme for International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS).

Soal-soal dalam asesmen nantinya akan melahirkan daya analisa berdasarkan suatu informasi, bukan membuat siswa menghapal.

"Kita bekerja sama dengan organisasi yang membuat PISA, yaitu OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) yang semuanya mengasesmen murni kompetensi bernalar," ujarnya.

Sementara survei karakter dirancang untuk mengukur capaian peserta didik dari hasil belajar sosial-emosional. Survei karakter ini juga dimaksudkan untuk mengetahui data secara nasional mengenai penerapan asas-asas Pancasila oleh siswa Indonesia.

Selama ini, kata Nadiem, secara nasional data pendidikan yang dimiliki hanya berupa data kognitif. Sementara pihaknya belum memiliki data apakah asas-asas Pancasila benar-benar dirasakan oleh siswa di Indonesia atau tidak.

"Kita akan mengadakan survei, misalnya bagaimana implementasi gotong royong, apakah kebahagiaan anak di sekolah sudah mapan. Apakah masih ada bullying?" ujarnya

Sementara aspek ketiga, survei lingkungan belajar dilakukan untuk mengevaluasi dan memetakan aspek pendukung kualitas pembelajaran di lingkungan sekolah.

Karena tidak mengukur nilai per mata pelajaran, asesmen ini tidak memerlukan persiapan khusus seperti bimbingan belajar.

“Hasil asesmen nasional tidak ada konsekuensinya buat sekolah, hanya pemetaan agar tahu kondisi sebenarnya,” kata Nadiem.

Anggota Badan Standar Nasional Pendididikan (BSNP), Doni Koesoema menyebut asesmen nasional ini menjadi salah satu alternatif transformasi pendidikan. Dengan adanya asesmen ini diharapkan kualitas pembelajaran, pengajaran, dan lingkungan belajar di satuan pendidikan meningkat. (Mendikbud Nadiem Makarim mengikuti rapat kerja dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (3/9/2020). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/NZ)