Menjauhkan Dakwah Provokatif

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Senin, 14 September 2020 | 03:44 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 761


Jakarta, InfoPublik - Menteri Agama Fachrul Razi berencana menjalankan program penceramah bersertifikat. Program ini tak hanya ditujukan untuk penceramah di kalangan Islam tapi untuk seluruh penceramah agama lainnya.

Program penceramah bersertifikat sebenarnya telah digulirkan sejak era Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin. Ketika Fachrul diangkat menjadi Menteri Agama, ia berkeinginan lagi untuk melanjutkan program yang pernah ada itu.

Program ini bertujuan untuk mencegah tersebarnya ajaran-ajaran provokatif kepada masyarakat lewat masjid-masjid atau tempat ibadah lainnya.

Program tersebut, kata Fachrul, bertujuan untuk mencetak dai yang berdakwah di tengah masyarakat tentang Islam rahmatan lil alamin. Ia pun berharap ke depannya masjid-masjid bisa diisi oleh para dai-dai bersertifikasi.

Menurut Fachrul, masjid nantinya tidak hanya sekadar menjadi sarana sebarkan iman dan takwa. Lebih dari itu, masjid bisa dijadikan sarana menguatkan kerukunan bangsa.

"Masjid bisa diisi para dai itu untuk mendakwahkan Islam yang damai dan penuh toleran," kata dia.

Berdasar survei yang pernah dilakukan Pengawas Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) terungkap dari 100 masjid yang ada di lingkungan pemerintah di DKI Jakarta, ada 41 masjid terindikasi menyebarkan paham radikal.

Menurut Ketua Dewan P3M NU, Agus Muhammad, 100 masjid itu terdiri dari 35 masjid kementerian, 28 masjid lembaga, dan 37 masjid BUMN.

Dari hasil survei itu memperlihatkan bahwa gejala radikalisasi di masjid-masjid kementerian, lembaga dan BUMN cukup kuat.

"Poin terpentingnya adalah ada indikasi radikalisme di masjid yang berada di bawah naungan negara," kata Agus.

Data yang dikumpulkan dari survei itu, menurut Agus, berupa bahan khutbah Jumat, plus bahan bacaan seperti buletin, brosur, kalender, dan majalah dinding yang beredar di masjid tersebut.

Dari bahan-bahan itu pihaknya mengalisis tentang ada tidaknya radikalisme itu. Radikalisme yang dimaksud adalah pandangan, sikap dan perilaku yang cenderung menganggap kelompoknya paling benar dan kelompok lain salah. Selain itu, mereka mudah mengkafirkan kelompok lain dan tidak bisa menerima perbedaan, baik perbedaan berdasarkan etnis, agama maupun budaya.

Mereka, kata Agus, juga cenderung memaksakan keyakinannya pada orang lain. Kemudian, menganggap demokrasi termasuk demokrasi Pancasila sebagai produk kafir, dan membolehkan segala cara atas nama agama.

Adanya bibit-bibit radikal ini bisa jadi yang membuat pemerintah khawatir. Apalagi bibit-bibit itu terjadi di masjid milik lembaga negara.

"Kami ajak ngomong tentang masalah toleransi, radikalisme, Pancasila. Nanti diberi sertifikat," ujar Fachrul beberapa saat setelah ia menjabat Menteri Agama.

Fachrul mengatakan, langkah tersebut diambil untuk menunjukkan keseriusannya mencegah paham-paham radikal berkembang di tengah masyarakat.

"Walaupun jumlah ustad/penceramah provokatif itu sedikit secara kuantitas, tapi secara kualitas tetap berbahaya," kata Fachrul.

Rencana Fachrul ditentang Majelis Ulama Indonesia (MUI). Mereka menilai, program ini bisa menjadi alat negara mengawasi kehidupan beragama. "Karena itu MUI menolak rencana program tersebut," demikian salah satu bunyi pernyataan sikap MUI bernomor Kep-1626/DP MUI/IX/2020 yang diteken Waketum MUI Muhyiddin Junaidi dan Sekjen MUI Anwar Abbas.

Namun di tubuh MUI sendiri tampaknya tak satu suara. Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH M Cholil Nafis, mengatakan program dai bersertifikat ini sudah dijalankan MUI sejak September 2019 atas permintaan Kementerian Agama. Program ini bermula dari kisruh registrasi 200 penceramah oleh Kemenag pada 2018. Karena ada kekisruhan itu, Kementerian Agama minta MUI untuk menyelesaikannya.

"Jadi, standardisasai dai itu kesepakatannya diserahkan kepada MUI. (Kesepakatan) itu belum dicabut dan kami (sudah dan akan terus) melaksanakan itu," kata KH M. Cholil Nafis.

Bahkan pelantikan angkatan pertama program tersebut, dilakukan oleh Ketua Umum MUI KH Maruf Amin yang juga wakil presiden terpilih sebelum dilantik pada Oktober 2019.

Program sertifikasi ini bukan seperti sertifikasi yang dilakukan pada guru atau dosen. Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan kapasitas penceramah.

"Penceramah bersertifikat ini sebenarnya kegiatan biasa saja untuk meningkatkan kapasitas penceramah. Setelah mengikuti kegiatan, diberi sertifikat," kata Dirjen Bimas Islam Kemenag Kamaruddin Amin pekan lalu.

Kamaruddin mengatakan penceramah bersertifikat sama halnya dengan program peningkatan kapasitas penyuluh agama dan penghulu yang dilakukan Dirjen Bimas Islam.

"Bukan berarti yang tidak bersertifikat tidak boleh berceramah atau yang boleh berceramah hanya yang bersertifikat," ujar Kamaruddin.

Menurut Kamaruddin, program penceramah bersertifikat didesain melibatkan banyak pihak, di antaranya Lemhanas, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Majelis Ulama Indonesia, dan organisasi masyarakat lainnya.

Lemhanas dilibatkan untuk memberikan penguatan pada aspek ketahanan ideologi. Sedangkan BNPT dilibatkan untuk berbagi informasi tentang fenomena yang terjadi di Indonesia dan seluruh dunia. Kehadiran BPIP, kata Kamaruddin, untuk memberi pemahaman tentang Pancasila, hubungan agama dan negara.

"Sementara MUI dan ormas keagamaan adalah lembaga otoritatif dalam penguatan di bidang agama," kata Kamaruddin.

Tahun ini, target peserta program adalah 8.200 penceramah yang terdiri atas 8.000 penceramah di daerah dan 200 di pusat.

Kata Fachrul, program dai bersertifikat ini tidak mengikat. Program ini, bisa diikuti bagi penceramah yang berkenan mengikutinya alias sukarela.

"Untuk dai yang tidak ingin ikut, juga tidak ada paksaan," kata Fachrul.
(Menteri Agama Fachrul Razi menyimak pertanyaan anggota Komisi VIII DPR saat rapat kerja di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (8/9/2020). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/foc).