Merdeka dan Berdaya dari Desa

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Selasa, 11 Agustus 2020 | 20:14 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 448


Yogyakarta, InfoPublik - Di gubuk baca bambu itu puluhan anak-anak duduk bersimpuh. Tak ada bangku dan meja di guba itu --sebutan mereka untuk gubuk baca ini. Juga tak ada yang membawa buku tulis.

Anak-anak itu terlihat tekun mendengarkan cerita temannya yang bediri di depan. Setelah mendengar cerita, anak-anak berhamburan keluar. Mereka lari ke kebun yang ada di sekeliling guba. Ada tanaman sayur mayur, jagung, dan sejumlah tanaman lainnya.

Mereka menyiram, mencangkul, mencabuti tanaman liar, dan memasukkan pupuk dalam polybag.

Begitulah suasana harian yang ada di Sekolah Pagesangan yang terletak di Dusun Wintaos, Desa Girimulya, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul. Desa ini berjarak sekitar 50 kilometer dari pusat Kota Yogyakarta.

Sekolah Pagesangan dalam bahasa Indonesia berarti sekolah kehidupan. Di sekolah ini, anak-anak memang tak diajari layaknya sekolah formal. Mereka lebih banyak belajar mengenal lingkungan sekitarnya. Mereka diajari cara bertani dan berkebun.

Pendirian Sekolah Pagesangan ini berawal dari kegelisahan Diah Widuretno (43 tahun) akan banyaknya arus urbanisasi. Para pemuda desa banyak meninggalkan desanya untuk mencari uang di kota. Padahal di kota mereka hanya menjadi buruh pabrik, karyawan rendahan.

Dari kegelisahan itu, pada 2008 alumni IPB ini bersama sejumlah pegiat sosial di Yogyakarta menggagas pembentukan sekolah yang berbasis lingkungan. Artinya, apa yang diajarkan nyambung dengan lingkungan anak-anak didiknya. Namanya Sekolah Sumbu Panguripan.

Untuk memfasilitasi belajar mengajar itu, Diah yang tinggal di Plered, Bantul datang empat kali dalam sepekan di Girimulya.

Sekolah ini ditujukan buat siapa saja warga Desa Girimulya yang mau dan belajar tentang sapa saja. Para guru dan relawan tak ada yang diberi honor. Malah mereka justru merogoh kocek untuk bisa menyelenggarakan kelas. Selama lima tahun kegiatan itu berjalan lancar. Namun pada 2013 banyak relawan dan tenaga pengajar yang mundur. "Praktis tinggal saya sendiri," ujar Diah.

Tinggal sendiri tak membuat Diah patah semangat. Ia tetap ingin menghidupkan tradisi tani warga Girimulya itu.

Desa Girimulya merupakan desa tandus. Lahan-lahannya berbatu. Air susah. Landskap berbatu merupakan tipikal wilayah di Gunungkidul. Karena banyak bebatuan, daerah Gunungkidul ini kerap disebut daerah "adoh ratu, cerak watu” (jauh dari Keraton, dekat dengan batu).

Ladang-ladang di daerah itu mengandalkan hujan yang datang sekali setahun. Karena kondisinya itu, kebanyakan warga yang usia produktif memilih mencari mata pencaharian di kota. Entah menjadi pedagang, buruh, atau apa saja demi menghasilkan uang.

Saat tinggal seorang diri itu, Diah kembali merumuskan gagasannya. Kali ini ia mengusung pendidikan berbasis kontekstual.  Pendidikan yang nyambung dengan kondisi alam sekitarnya. Diah mengubah nama sekolahnya menjadi Sekolah Pagesangan.

Salah satu misi Sekolah Pagesangan adalah menahan laju urbanisasi sebesar mungkin agar ada regenerasi petani di Gunungkidul.

Kepada para relawan dan murid-murid Pagesangan, Diah selalu menekankan tiga nilai utama: keberdayaan, kemerdekaan, dan kedaulatan. 

Ilmu yang diajarkan fokus pada pengetahuan umum dan belajar praktis dalam mengelola lahan pertanian.

"Apa yang diajarkan di sekolah formal selama ini sangat berbeda dengan realitas yang ada di lingkungan rumahnya. Mereka berjarak," kata Diah.

Karena ada jarak, ketika lulus, mereka merasa gagap dan asing dengan lingkungannya. "Orientasi sekolah formal itu akhirnya berorientasi keluar desa," kata alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) ini.

Untuk mengenali apa yang ada di lingkungan desa itu, di awal pembentukan Sekolah Pagesangan, Diah dan beberapa temannya rajin sowan ke warga yang lanjut usia. Mereka ingin menggali potensi dusun tersebut. Dari tuturan para pinisepuh yang ditemui itu, Diah mendapati fakta sistem pangan lokal berlangsung sejak ratusan tahun lalu menjadikan Wintaos subsisten.

"Simbah-simbah itu kenal betul dengan tanaman di sekitar, tahu jenisnya, tahu cara menanam, tahu merawatnya, tahu gunanya," ujar Diah.

Dari situlah kemudian Diah menyusun kurikulum berbasis kontekstual. "Ini model pendidikan yang menjawab persoalan dan berelasi dengan realita sekitar. Realita itu ya persoalan, juga potensi," ujarnya.

Awalnya, Sekolah Pagesangan memfokuskan pada anak-anak yang putus sekolah. Namun rupanya banyak juga anak-anak yang sekolah formal kemudian juga ikut. Belakangan, tak hanya anak-anak, remaja, orang tua juga banyak yang turut.

Karena peminatnya beragam usia, Diah membagi murid ke dalam empat kelompok: anak-anak, remaja, kelompok pengolah, dan kelompok tani.

Kelompok anak-anak dan remaja diajari pengenalan diri diri sendiri beserta lingkungannya, kebanggaan menjadi anak desa, serta belajar mandiri dan bertanggung jawab.

Sementara kelompok pengolah fokus pada peningkatan kualitas dan kesejahteraan diri dan keluarga dengan cara belajar menemukan dan mengembangkan usaha setelah panen pertanian. Sedangkan kelompok tani belajar memaknai dan mengamalkan tugas dasar petani, yaitu menyediakan pangan terbaik bagi keluarga dan masyarakat, menjadi penghubung manusia dan alam, serta menjaga keseimbangannya.

Kelompok tani juga menjadi pemasok bahan baku yang akan diproduksi oleh kelompok pengolah. Dengan model begitu, belajar di Sekolah Pagesangan menjadi siklus, tak hanya pengetahuannya, melainkan produk dan orang-orangnya.

“Sudah ada 10 kelompok pengolah,” kata Diah.

Ada sembilan komoditas hasil bumi dan 16 produk olahan yang dihasilkan dusun itu. Di antaranya tepung mocaf (modified cassava flour atau tepung singkong), tepung gaplek, tiwul instan, keripik singkong, mengleng singkong, kerupuk singkong, lempeng tiwul, sale pisang, tempe koro/benguk/botor, dan minyak kelapa.

Produk itu dijual di pasar-pasar komunitas di sekitar Yogyakarta. Ada juga yang dijual secara daring melalui media sosial seperti WhatsApp, Instagram, dan Facebook.

Hadirnya Sekolah Pagesangan membuat anak-anak muda desa dan warga desa sadar, ternyata desa mereka menyimpan potensi yang bisa menghidupkan perekonomian desa.

Kini desa Girimulya benar-benar berdaya. Keberdayaan itu ditandai dengan warga desa bisa mandiri. "Dari sini kita merdeka, berdaya. Ini martabat tertinggi dari manusia," kata Diah. (Foto: tangkapan layar facebook @sekolahpagesangan)