Cara Boti Bertahan di Kala Pandemi Covid-19

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Kamis, 30 Juli 2020 | 05:21 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 4K


Jakarta, InfoPublik - Pandemi Covid-19 yang melanda dunia memaksa masyarakat untuk mengubah kebiasaannya. Tak hanya mereka yang ada di perkotaan, tapi juga di perdesaan. Termasuk masyarakat suku Boti. Boti adalah sebuah suku yang hidup di Desa Boti di Nusa Tenggara Timur. Suku ini mendiami kawasan pegunungan di Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Letaknya 62 kilometer dari Kota Soe.

Banyak kehidupan menarik yang dilakukan Suku Adat Boti ini. Dalam acara talkshow Festival Kebudayaan Desa yang mengangkat tema "Ketahanan Masyarakat Adat Boti di Tengah Pandemik Covid-19" yang berlangsung Senin, 13 Juli 2020 disebut suku adat Boti memiliki ketangguhan.

Karena masih memegang teguh adat istiadat leluhur, menurut Devi Anggraini dari Perempuan AMAN, suku Boti sangat mandiri. Saat pandemi Covid-19 ini, suku Boti tidak begitu memperhitungkan bantuan dari pemerintah. Sebab, mereka bisa mandiri dengan memproduksi obat-obatan sendiri. Begitu juga dengan pangan. Mereka bisa mengambil bahan makanan dari lingkungan kampungnya.

“Covid-19 menunjukkan kepada masyarakat luar jika pengetahuan yang dipraktikkan masyarakat adat selama ratusan tahun membantu mereka untuk bertahan," kata Devi.

Suku Boti merupakan keturunan dari Atoni Metu, suku asli Pulau Timor. Karena wilayah yang didiami ada di pegunungan, desa ini memang agak sulit dijangkau. Suku ini punya kerajaan. Mereka dipimpin seorang raja. Saat ini mereka dipimpin oleh Usif Namah Benu. Usif adalah sebutan atau gelar yang diberikan Suku Boti terhadap raja mereka yang juga merupakan pemimpin adat dan spiritual warga Boti.

Sebagaimana suku adat lain di Indonesia, suku Boti sangat dekat dengan alam. Raja Boti Namah, mengatakan kesejahteraan dan kemaslahatan hidup hanya bisa didapat dengan menjaga dan merawat alam.

Suku Boti memang sangat menghargai dan menghormati alam. Mereka menyadari kehidupannya sangat bergantung pada alam. “Kita manusia ini menjaga alam, maka alam akan menjaga kembali kita. Ini dipertahankan dari keturunan sampai sekarang,” ujar Namah.

Menurut Namah, ba’i (para pendahulu mereka) mengajarkan nilai-nilai kehidupan dan tradisi untuk menyatu dengan alam. Agar alam terjaga mereka selalu melakukan ritual. Ritual persembahan untuk alam ini dilaksanakan tiga kali tiap tahun, yakni membersihkan kebun, menanam, serta seusai memanen.

Ritual upacaranya mulai dari menyiapkan binatang berupa kerbau, sapi, kambing, babi, atau binatang lainnya, serta hasil bumi, yakni ubi, pisang, jagung. “Satu tahun itu kami minta makanan dari alam. Kami dapat banyak, jadi kami pergi, kasih tahu, ini kami dapat hasilnya sekian,” ujar Namah.

Hasil bumi itu lantas dibawa ke tempat upacara yang disebut Fainmate. Tempat tersebut berada di sekitar hutan larangan. Luas hutan larangan sekitar 1.000 hektare. Letaknya bisa ditempuh satu hari jalan kaki dari Kampung Adat Boti. Di hutan ini juga ada sejumlah aturan yang tak boleh dilanggar. Siapapun tidak boleh mengambil apapun. Jika ada yang melanggar, misalnya mengambil sebatang kayu yang sudah roboh, orang tersebut harus menyiapkan persembahan berupa memotong hewan di hutan larangan.

Ladang tempat mereka bercocok tanam berada di sekitar hutan larangan. Jika ada warga yang akan membuka lahan baru, warga juga harus melakukan upacara. Hasil bercocok tanam itu biasanya untuk dimakan sendiri oleh warga. Jadi tidak ada yang dijual.

Selain Fainmate, tempat ritual lainnya ada di dalam kampung. Bentuknya bundar seperti rumah khas sana. Namun hanya Usif yang boleh masuk ke dalamnya. Namah mengatakan di dalam rumah ibadah tersebut tersimpan pusaka peninggalan leluhur.

Aturan lainnya, warga suku Boti tidak menggunakan listrik atau teknologi lainnya. Hanya beberapa orang saja yang diperbolehkan mempunyai telepon seluler dan motor. Genset listrik hanya tersedia di rumah tamu. Tak ada satu pun televisi di kampung itu. “Kalau ada televisi, nanti tradisi kami bisa luntur,” ujar Namah.

Suku Boti punya kepercayaan Halaika. Kepercayaan ini meyakini ada dua penguasa alam yaitu Uis Pah dan Uis Neno. Uis Pah sebagai mama atau ibu yang mengatur, mengawasi, dan menjaga kehidupan alam semesta beserta isinya termasuk manusia.

Sedangkan, Uis Neno sebagai papa atau bapak yang merupakan penguasa alam baka yang akan menentukan seseorang bisa masuk surga atau neraka berdasarkan perbuatannya di dunia.

Menurut falsafah hidup orang Boti, manusia akan selamat dan sejahtera bila merawat dan melestarikan lingkungan hidup. Dalam kehidupan mereka, segala sesuatu bisa didapatkan dari alam.

Dalam kehidupan sehari-hari mereka saling berbagi tugas. Kaum lelaki bertugas mengurusi permasalahan di luar rumah, seperti berkebun, dan berburu. Sementara urusan rumah tangga, diserahkan kepada kaum perempuan.

Suku Boti punya sejumlah aturan turun yang masih berlaku hingga kini. Salah satunya soal pernikahan. Seorang lelaki Boti yang sudah menikah dilarang memotong rambutnya.

Menurut Molo Benu, salah satu tua adat Suku Boti, yang juga merupakan adik dari Usif Namah Benu, untuk dapat terus menjaga dan menjalankan adat dan kepercayaan mereka, anak-anak dalam satu keluarga dibagi dua, separuh dari anak-anak mereka diperbolehkan bersekolah sementara yang lainnya tidak diperkenankan. Tujuannya agar mereka dapat teguh memegang adat tradisi mereka.

Aturan pendidikan bagi anak-anak Boti bertujuan agar tercipta keseimbangan antara kehidupan masa sekarang dengan kehidupan berdasarkan adat dan tradisi yang sudah diwariskan oleh leluhur mereka.

Banyak kaum tua Boti yang tidak lancar bahkan tidak bisa berbahasa Indonesia termasuk sang raja. Sehari-hari mereka menggunakan bahasa daerah Dawan. Namun demikian, bahasa bukan halangan bagi warga Boti untuk menyambut tamu-tamu mereka yang datang ke desa mereka.

Seperti halnya suku Baduy, wilayah Boti juga mengenal dua kampung. Kampung Boti Dalam dan Boti Luar. Jumlah penduduk Boti Dalam sekitar 77 Kepala Keluarga atau 319 jiwa, sedangkan Boti Luar sekitar 2.500 jiwa. Hanya Kampung Adat Boti Dalam yang mewarisi dan mempraktikkan tradisi lokal dan agama asli yang disebut Uis Neno Ma Uis Pah, dewa langit dan bumi. Warga Boti Dalam tinggal di areal seluas 3.000 meter persegi yang dikelilingi pagar kayu. Sedangkan Boti Luar sudah beragama. Mereka menganut Kristen Protestan dan Katolik. (Foto: tangkapan layar instagram @journey_metrotv)