Bersiasat Dalam Keterbatasan

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Kamis, 30 Juli 2020 | 05:14 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 421


Jakarta, InfoPublik - Sudah hampir tiga bulan Sili (42 tahun) bingung. Hampir setiap pagi kedua anaknya selalu berantem. Kedua anak itu kerap saling berebut telepon seluler. Padahal Sili hanya punya satu telepon seluler alias HP, yang biasanya dipakai secara bergantian.

Sejak pemerintah melarang sekolah melakukan kegiatan belajar mengajar tatap muka, telepon selulernya kerap dipakai kedua anaknya, Putri Ananda (12 tahun) dan Febri Napisah (7 tahun) untuk pembelajaran jarak jauh. Putri merupakan siswa kelas VII di SMP 118 Jakarta, sedangkan Febi adalah siswa kelas 2 SDN 05 Rawamangun.

Sebelum ada pembelajaran jarak jauh, Sili bisa menghemat pemakaian kuota. Namun setelah ada kebijakan pembelajaran jarak jauh, ia mengaku belanja kuota ponselnya bertambah. "Seminggu Rp 50.000 ngutang-ngutang. Habis kan buat belajar tiap hari," katanya. "Sebulan bisa habis sampai Rp 400.000."

Pengeluaran sebesar itu tentu berat buat Sili yang hanya bekerja sebagai tukang sampah non-PPSU (petugas prasarana dan sarana umum) di RT 14 RW 02, Kelurahan Rawamangun, Kecamatan Pulo Gadung Jakarta Timur. Penghasilannya dari bekerja sebagai tukang sampah sekitar Rp 900.000 per bulan. Untuk menambah penghasilan kadang ia mengumpulkan botol-botol mineral bekas untuk dijual. Penjualan dari botol mineral bekas tak menentu. Kalau beruntung kadang bisa dapat Rp 100.000. Kadang beberapa orang juga memberi uang kepadanya.

Dari penghasilan itu, ia masih harus membayar kontrakan sebesar Rp 1,2 juta perbulan, uang makan, bayar utang, dan beli kuota untuk belajar dua anaknya. "Kalau enggak ngutang darimana?" ujar Sili yang sudah 20 tahun melakoni pekerjaannya itu.

Berutang terpaksa harus dilakukan demi memenuhi tuntutan anaknya agar bisa bersekolah secara daring. Sili bahkan kadang harus meminjam telepon seluler milik tetangganya agar anaknya bisa mengirim tugas-tugas yang diberikan sekolahnya.

Karena kondisinya itu, Sili dan anaknya sudah berkomunikasi dengan guru anak-anaknya. Ia meminta gurunya memaklumi jika anak-anaknya telat mengirimkan tugas yang diberikan karena kondisi ekonominya.

Sili dan anaknya tak sendiri. Ada Novita Temi, siswi kelas 7 SMPN Alok, Kabupaten Sikka. Sejak pemerintah melarang kegiatan pembelajaran dilakukan secara tatap muka, Novita kelimpungan. Novita yang tinggal bersama saudara terpaksa setiap hari harus menumpang kepada temannya agar bisa mengikuti proses pembelajaran jarak jauh.

"Mama sudah meninggal dunia. Bapak sudah lama merantau dan tidak pulang. Mau beli handphone, uang dari mana?" katanya.

Selain menumpang ponsel temannya, Novita dan temannya yang punya handphone kadang juga harus juga mencari internet gratis di rumah warga yang memiliki wifi.

"Semoga ada yang peduli degan Novita. Sedih juga setiap hari nebeng di handphone kami," ujar Oliv, teman Novita.

Masih banyak Sili dan Novita lain di negeri ini. Sejak pemerintah memberlakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ), sejumlah orangtua dan anak memang mengalami kesulitan. Mulai dari keterbatasan akses, ketidaktersediaan alat, hingga keterbatasan membeli kuota internet.

Melihat beragam persoalan itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan aturan tentang penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Aturan itu tertuang dalam Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020 tentang Perubahan Petunjuk Teknis BOS dan Permendikbud Nomor 20 Tahun 2020 tentang Perubahan Petunjuk Teknis BOP PAUD dan Kesetaraan di masa kedaruratan COVID-19.

Ketentuan penggunaan dana BOS itu tertuang dalam pasal Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020 pasal 9A ayat 1 butir (a). Ketentuan yang diteken Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim tanggal 9 April itu menyebut, sekolah dapat menggunakan dana BOS Reguler untuk pembiayaan langganan daya, pembelian pulsa, paket data, untuk pendidikan maupun untuk peserta didik selama pelaksanaan pembelajaran dari rumah.

Ketentuan penggunaan dana BOS Reguler ini, demikian pasal 9A ayat 4 menyebut, berlaku sejak April hingga dicabutnya status kedaruratan Covid-19. (ANTARA FOTO/Feny Selly/wsj)