Agroekologi, Jalan Perjuangan Mewujudkan Kemandirian Pangan

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Selasa, 28 Juli 2020 | 19:07 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 640


Jakarta, InfoPublik - Di surau dua lantai berdinding bambu itu, para santri berkumpul. Usai menunaikan salat subuh, hingga matahari terbit, mereka mengaji.

Begitu suasana terang, mereka bubar dan mulai melakukan aktivitas di ladang yang ada di dalam pesantren. Mereka menyebar dan menyirami tanaman yang ada di ladang-ladang itu. Di kebun lainnya, sejumlah santri terlihat memetik tomat, cabe, dan sayur untuk mereka setor ke dapur guna di masak. Mereka terlihat riang.

Suasana itu menjadi rutinitas di pesantren yang berdiri sejak 2009 itu. Berada di Kelurahan Sukagalih, Kecamatan Tarogong Kidul, Garut, Jawa Barat, pesantren ini didirikan pasangan suami istri Ibang Lukman Nurdin dan Nisya Saadah Wargadipura. Namanya Pesantren Ekologi Ath-Thaariq.

Label ekologi melekat karena pesantren ini memang tak melulu mengajarkan ilmu agama tapi juga menularkan masalah ekologi. Nissa ingin para santri punya wawasan lingkungan.

Santrinya tidak banyak. Hanya 30 orang. Mereka sengaja membatasi jumlah santri. Pembatasan dilakukan sesuai dengan lahan yang tersedia di pesantren itu. Menurut Nissa lahan seluas 8.500 meter persegi itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan dan papan 30 santri.

Di pesantren ini, para santri diajari agroekologi sebagai cara memulihkan alam dan menguatkan ekonomi dengan sangat mempesona. Mereka secara serius berupaya mewujudkan cita-cita memulihkan hubungan manusia dengan alam. Tanaman-tanaman yang ada di lahan pesantren tak ada yang diberi pupuk kimia, semuanya diberi pupuk organik.

Menurut Nissa, agroekologi merupakan jalan keluar bagi krisis sosial dan ekologi di tanah air Indonesia. "Kami terpanggil untuk memulihkan krisis sosial yang sedang berlangsung," kata Nissa (48 tahun) dalam webinar Kedaulatan Pangan dan Lingkungan Hidup, Sabtu (04/07/2020).

Tak hanya mengajarkan ilmu agama, pesantren juga menjalankan misinya sebagai pembawa perdamaian karena menggunakan ajaran agroekologi, sebuah cara memuliakan alam untuk membangun hubungan dengan manusia lain, umat lainnya. Karena itu, pesantren ini sangat terbuka bagi siapapun dan apapun agamanya untuk belajar.

Agroekologi, kata Nissa, merupakan jalan perjuangan tanah air untuk mewujudkan kemandirian pangan. Agroekologi menjadikannya sebagai pintu masuk dari arah/jalan manapun.

Agroekologi, menurut Nissa, telah membawa mereka tidak hanya mengangkat persoalan kedaulatan pangan keluarga, namun juga menjangkau persoalan benih, tanah, dan air. "Konsep agroekologi kami maknai sebagai cara bertani yang mengintegrasikan secara komprehensif aspek pemulihan ekologi hingga sosial-ekonomi masyarakat," ujar alumni University of The Earth, Navdanya, Dehradun, India, 2016.

Pelaksanaan pertanian agroekologi bersumber dari tradisi pertanian keluarga yang menghargai, menjamin, dan melindungi keberlanjutan alam untuk mewujudkan kembali budaya pertanian sebagai kehidupan.

Pembagian Zonasi

Di lahan seluas 8.500 meter persegi itu, Nissa membagi menjadi lima zonasi. Ada zonasi benih, sawah, sayuran, perikanan, dan tanaman liar. Pembagian zonasi dilakukan agar pengelolaan lahan berlaku lebih sistematis.

Zona-zona berlatar Gunung Guntur, Papandayan, dan Cikuray tersebut memagari tiga bangunan pesantren, yakni ruang pertemuan utama, asrama, dan surau.

Sekitar 450 benih tanaman--sumber pangan atau obat--berasal dari Garut maupun daerah lain dikembangkan di pesantren itu. Ada temulawak, secang, kunyit putih, jahe, serai, rosela, ruku-ruku, untuk menyebut beberapa. Selain itu, terdapat tomat, kenikir, bayam paris, genjer, kangkung, seledri, dan jarak pagar. "Kalau mau makan tinggal petik sayuran, bumbunya langsung ambil di kebun," katanya.

Di kebun itu terlihat sejumlah polybag ditata. Namun kondisinya berantakan. Karena kondisinya itu Nissa melebelinya "kebun acakadut".

Pesantren itu memiliki sawah seluas 4.500 meter persegi. Letaknya di belakang pesantren. Lima jenis benih padi lokal di tanam di sawah itu. Benih itu di antaranya sanggaraung, ciherang, raja lele, dan sarinah. Setiap kali panen, sawah itu menghasilkan dua ton beras tiap panen.

Selain beras, pesantren memanfaatkan ubi, singkong, talas, dan ganyong sebagai sumber karbohidrat.

Semua tanaman di lahan Ath Thaariq tak pernah terpapar pupuk kimia dan pestisida. Bahan-bahan kimia itu, menurut Nissa, justru akan mengeringkan tanah dan membunuh mikroba yang baik bagi tanaman. Mereka memilih membuat pupuk organik sendiri dari sampah dapur dan air kolam lele.

Demi menghindari hama tikus, ular-ular sawah dibiarkan tetap hidup. Hasilnya, sawah dan kebun pesantren terhindar dari serangan hama atau gagal panen.

Polikultur dan Minim Bahan Kimia

Untuk kebun, pesantren Ath Thaariq, menerapkan metode polikultur alias tanaman beragam. Metode ini membuat tanaman tak rentan diserang hama.

Bagi penghuni yang sakit, kebun menyediakan obat. Menurut Ibang, sebagian besar tanamannya berfungsi menyembuhkan, termasuk tanaman yang sering dianggap sebagai gulma.

Ia mencontohkan khasiat putri malu. Tanaman ini bisa untuk mengobati batuk, rematik dan insomnia. Daun kelor bisa mengobati jantung, kanker, dan diabetes. Sedangkan babandotan, sejenis rumput, juga mampu mengobati rematik dan asma.

"Bumi itu seperti ibu. Kalau kita jaga akan memberikan tanaman-tanaman yang luar biasa manfaatnya," kata Ibang (46 tahun).

Menu makanan santri dibuat berselang-seling. Ini dilakukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh para santri. Dengan pola makan yang berselang-seling, santri tidak akan rentan terserang penyakit. Kerentanan itu, kata Nissa, terjadi karena pola makan kurang beragam ditambah kondisi pondok yang kurang bersih.

Olahan pangan dari kebun sendiri itu karena Nissa prihatin akan banyaknya keluarga yang kerap mengonsumsi makanan instan. Padahal, di balik makanan instan dan bumbu kemasan terkandung banyak bahan kimia dan tinggi lemak yang berbahaya bagi tubuh.

"Kuncinya adalah berani tidak kita mengubah pola pikir bergaya hidup serba instan itu," ujarnya.

Karena itu, sejak awal merintis pesantren itu, ia bersama suaminya bertekad menjadikan pesantrennya sebagai laboratorium mini yang bisa menjadi contoh bagi petani dan keluarganya untuk hidup sejahtera dan sehat. Sebab bagi Nissa, kunci kebahagian utama ada di keluarga, dan kesehatan berawal dari apa yang disajikan di meja makan. (Foto: tangkapan layar facebook @nissa wargadipura)