Cerita Kemandirian Pangan Pasar Papringan

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Rabu, 22 Juli 2020 | 13:30 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 892


Jakarta, InfoPublik - Kesibukan sudah terlihat sejak subuh. Minggu wage (dalam kalender Jawa) itu, sejumlah warga, laki-laki dan perempuan, telihat membawa sejumlah barang ke tengah hutan bambu. Di hutan itu, meja-meja dan bangku sudah tertata rapi. Bukan mau menggelar selamatan atau mengadakan ritual tertentu, namun mereka sedang bersiap untuk berdagang.

Terletak di Dusun Ngadiprono, Desa Ngadimulyo, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, suasana hutan bambu itu sangat adem dan tenang. Tempat berdagang warga itu diberi nama Pasar Papringan.. Nama Papringan mengacu pada rumpun bambu (pring dalam bahasa Jawa) yang tumbuh di lokasi pasar itu.

Sekitar pukul 06.00 warga dari daerah Temanggung dan luar kota yang sudah mengantri mulai menyerbu. Mereka memilih barang-barang yang diperdagangkan. Ada jajanan, makanan, sayur-mayur, kerajinan, dan lainnya. Pasar ini menjadi tempat untuk memamerkan dan menjual produk-produk desa setempat.

Beroperasi sejak 2017, hingga kini pasar Papringan tak pernah sepi dari pengunjung. Ia menjadi magnet tak hanya bagi warga Temanggung tapi juga dari luar kota.

Tapi tunggu dulu. Pasar ini tidak buka setiap hari melainkan hanya hari Minggu. Itu pun hanya Minggu Wage dan Pon (kalender Jawa) atau dalam 35 hari.

Ada yang unik di pasar ini. Tansaksi tidak menggunakan mata uang rupiah. Setiap pengunjung yang ingin berbelanja wajib menukarkan uang di kasir. Kasir nanti akan mengganti uang itu dengan mata uang yang terbuat dari bambu. Satu keping uang bambu nilainya Rp 2.000. Jadi jika Anda menukar uang Rp 20.000 berarti Anda akan dapat 10 keping uang bambu.

Di pasar ini juga tidak ada bahan-bahan yang terbuat dari plastik. Semua bahan yang digunakan merupakan bahan ramah lingkungan. Daun pisang, batok kelapa, dan anyaman bambu.

Keberadaan Pasar Papringan ini berawal dari kegelisahan Singgih S. Kartono, seorang desainer alumni ITB asli Temanggung. Ia gelisah melihat warga desa tak bangga lagi dengan desanya. Untuk mendapatkan pekerjaan rata-rata mereka lari ke kota. Kota, seakan bisa menjanjikan segalanya untuk mereka.

Mereka lupa bahwa apa yang ada di kota itu juga berasal dari desa. Kata Singgih, mereka melihat lingkungan sekitarnya itu dengan kacamata buram. Padahal jika dilihat dengan jeli, semua yang ada bisa dikelola dengan baik. "Ini fenomena rabut dekat," kata Singgih dalam webinar Kongres Kebudayaan Desa yang mengangkat tema, "Kedaulatan Pangan dan Lingkungan Hidup: Merdeka Sandang, Pangan, dan Papan dari Desa untuk Tatanan Indonesia Baru," Sabtu, 4 Juli 2020.

Menurut Singgih, ada dua masalah yang biasanya dihadapi masyarakat desa yakni bosan dan inferior. Bosan karena memang mereka sudah terlalu lama tinggal di desa. Begitu melihat sesuatu yang baru di kota mereka silau dan terpesona. Inferior, karena masyarakat desa selalu dianak tirikan. Listrik dan jalan, misalnya. Prioritasnya pasti ada di kota.

Dari kegelisahan itu, Singgih bersama teman-temannya tergerak membuat sesuatu yang bisa membuat masyarakat desa bangga. Tekadnya satu: membuat orang kota silau melihat desa.

Ia pun melirik potensi desa yang bisa dimanfaatkan yakni pohon bambu yang banyak tumbuh di dusun itu. Kebun bambu seluas kurang lebih 2.500 meter persegi milik warga lalu disulap menjadi tempat yang bersih, asri dan diberi sentuhan kemoderenan. "Revitalisasi desa itu butuh trigger (pelatuk) yang menarik dan keren," ujarnya.

Kebun bambu yang semula dijadikan tempat pembuangan sampah itu kemudian dijadikan pasar. Kenapa pasar? Dengan pasar itu, masyarakat bisa memajang semua potensi-potensi yang ada di desanya. Mulai dari jajanan, hasil pertanian dan perkebunan, serta hasil kerajinan.

Pasar ini ingin menceritakan tentang kemandirian pangan dan papan. Sesungguhnya, kata Singgih, desa punya potensi semuanya. Tak hanya pangan tapi juga pakan. Papan, tidak melulu rumah tapi juga tempat publik seperti pasar ini bisa dimaknai sebagai papan. "Pakan di desa itu sehat-sehat," katanya.

Melalui pasar Papringan ini, Singgih juga ingin mengajak orang desa untuk melihat Papringan itu harta karun desa. "Kalau desa tidak punya Papringan ya bukan desa. Kira-kira seperti itu," kata perintis Spedagi, sepeda rakitan yang bahan-bahannya dari bambu.

Niat luhur Singgih terwujud. Keberadaan pasar itu mampu menggerakkan perekonomian desa. Simak penuturan seorang pedagang lontong mangut dan srundeng uceng, Evi. Evi yang terlibat berdagang sejak awal mengaku setiap kali berjualan, rata-rata mendapat 400 hingga 500 keping pring atau senilai Rp 800.000 hingga Rp 1.000.000.

Dari hasil penjualan itu dipotong untuk kas dan pengelolaan pasar sebesar 15 persen. "Alhamdulillah hasilnya lumayan bisa untuk menambah penghasilan keluarga," katanya.

Berbeda dengan Evi, pedagang sego abang, Nahidah, mengaku setiap kali berjualan pada hari pasaran, pukul 06.00-12.00 WIB, dirinya bisa mendapat sekitar 500 keping pring, namun juga pernah mendapatkan sampai 800 keping pring saat pengunjung ramai. Ia mengaku bersyukur dengan keberadaan pasar ini karena hasilnya bisa digunakan untuk uang saku anaknya.

"Di luar hari pasaran berjualan di pasar ini, saya bekerja di ladang tembakau," katanya.

Menurut pengelola Pasar Papringan, Imam Abdul Rofiq, saat ini tercatat ada sekitar 131 pedagang di Pasar Papringan. Dari pedagang makanan, kerajinan, hingga yang menjajakan hasil pertanian.

Saat pasar beroperasi, jumlah orang desa yang terlibat bisa mencapai sekitar 400 orang. Jumlah itu meliputi pedagang dan pekerja lain. Mulai dari tukang cuci, petugas kebersihan, hingga juru parkir.

Konsep Pasar Papringan ini memang untuk memberdayakan masyarakat lokal. Mereka melibatkan masyarakat setempat sejak dari perencanaan, pembangunan, hingga pelaksanaannya.

"Sekitar 90 persen warga Dusun Ngadiprono terlibat dalam Pasar Papringan ini. Tetangga dusun juga dilibatkan untuk menjadi juru parkir, membuat kerajinan, dan lainnya," kata Imam yang juga menjadi Ketua Komunitas Air.

Omzet penjualan, kata Imam, sekitar Rp 70 juta hingga Rp 80 juta setiap kali beroperasi. Angka yang cukup besar untuk ukuran desa.

Meski potensi besar, Singgih tetap tak mau mengubah hari operasional. Misalnya pasar dibuka setiap hari Minggu. Singgih punya alasan. "Nanti kalau orang desa kaya, mereka akan lupa bertani," selorohnya. "Padahal pasar ini hanya triger bagaimana menyiapkan kembali kekayaan-kekayaan desa."

Keberadaan Pasar Papringan ini hanya ingin menyampaikan pesan, "Jangan sekali-kali meremehkan desa.” (Foto: tangkapan layar facebook @pasarpapringan)