Dari Desa Menata Indonesia

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Senin, 20 Juli 2020 | 10:20 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 640


Jakarta, InfoPublik- Acara ini digelar dalam waktu 2,5 bulan, dari Juni hingga pertengahan Agustus mendatang. Penggagasnya anak-anak muda dari Desa Panggungharjo, Bantul, Yogyakarta. Digawangi oleh Kepala Desa Panggungharjo, Wahyudi Wahyudi Anggoro Adi, anak-anak muda yang berkumpul dalam Sanggar Inovasi Desa, menggagas acara Kongres Kebudayaan Desa (KKD) dengan mengangkat tema besar 'Membaca desa, mengeja ulang Indonesia'.

"Ini kongres terbesar yang belum pernah terjadi di negeri ini," katanya Wahyudi akhir Juni lalu.

Wahyudi bercerita awal mula menggagas acara ini. Katanya, awalnya hanya terkait akan kebutuhan Desa Panggungharjo. Saat wabah Corona melanda, desa yang dipimpinnya sengaja mengadakan review Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa 2019. RPJMDes 2019 itu disusun dengan asumsi-asumsi sebelum adanya pandemi Covid-19. Saat Corona melanda, pihaknya terpaksa harus meninjau ulang asumsi-asumsi yang mendasari penyusunan RPJM Desa.

Asumsi-asumsi yang digunakan sebelum pandemi ternyata meleset semua. "Pandemi ini seperti membuka kotak pandora," katanya.

Ia mencontohkan soal pola transaksi di pasar, misalnya. Begitu ada pandemi, ternyata pola transaksi langsung gagal. Pandemi mengharuskan sistem transaksi dilakukan secara daring dan itu ternyata sistemnya belum siap.

Situasi ini tidak hanya dialami Panggungahardjo tapi seluruh desa. Berangkat dari situlah, pihaknya kemudian mencetuskan adanya rembug gagasan dengan desa-desa lain serta pemangku kepentingan yang ada. Bagaimana membangun tatanan baru yang kokoh pasca pandemi yang dimulai dari desa.

Ketua Pelaksana Kongres Kebudayaan Desa, Ryan Sugiarto, menambahkan pandemi Corona ini tak hanya warga kota tapi juga desa. Pagebluk Corona membuat tata kehidupan dan relasi sosial semua orang, termasuk kehidupan warga desa di seluruh Indonesia berubah. Perubahan yang terjadi membutuhkan respons cepat, sistematis, dan terstruktur.

Desa 'dipaksa' berubah menuju tatanan baru alias new normal. Masalahnya, tatanan seperti apakah yang harus dilakukan pada kehidupan desa itu? "Dari kongres ini kami ingin mendorong dan menyusun tatanan arah Indonesia Baru dari Desa," kata Ryan.

Sejumlah langkah dan strategi di susun. Tak hanya mengundang desa tapi juga semua orang yang peduli akan desa dan bangsa diminta urun rembug. "Kami ingin acara ini bukan kongresnya para elit," katanya.

Karena bukan acara kaum elit, sebagai pembuka acara, pihaknya melakukan riset ke masyarakat desa yang dimulai Juni hingga pertengahan Juli ini. Melalu riset ini, mereka ingin melibatkan dan mendengar suara masyarakat desa tentang arah Indonesia ke depan.

"Kami ingin tahu sebenarnya imajinasi mereka tentang Indonesia ke depan itu seperti apa," ujar Ryan.

Tak berhenti di situ, mereka juga mengundang semua warga yang peduli akan desa dan Indonesia menyumbangkan gagasannya melalui Call for Paper. Pun, mereka juga menggelar webinar selama 10 hari berturut-turut dengan menghadirkan 90 narasumber. Tak ketinggalan, festival desa adat juga diberi ruang dalam kongres ini.

Menurut Wahyudi, kenormalan baru akibat pandemi ini tidak cukup jika hanya dimaknai secara teknis, seperti memakai masker, cuci tangan, dan menjaga jarak fisik. Sangat diperlukan pemaknaan yang lebih substantif, yakni merancang ulang tatanan kehidupan baru dalam berdesa, berbangsa, dan bernegara.

Dirjen Kebudayan Hilmar Farid sepakat. Mengutip pemikir sekaligus pebisnis Inggris, Shanu Hinduja, Hilmar menekankan pentingnya revolusi perdesaan sebagai landasan tatanan masa depan.

Bagaimana caranya? Belum tahu. "Yang bisa dipastikan, titik tolaknya adalah desa. Asal mula pengelompokan masyarakat adalah desa," ujarnya.

Desa memang ditinggalkan ketika membangun bangsa membangun masyarakat modern. Namun, kata Hilmar, pandemi ini mengingatkan kita untuk kembali ke asal-usul.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Halim Iskandar berharap, acara kongres ini bisa menemukan nalar tebal kebudayaan masyarakat desa dalam menghadapi persoalan yang ada saat ini. Sebab, masyarakat desa punya cara unik dalam menghadapi persoalan-persoalan yang dihadapinya.

Ada dua pesan yang ingin disampaikan dari pelaksanaan kongres ini. Pertama, kekuatan Indonesia baru. Menurut Wahyudi, dari pandemi Covid-19 ada pelajaran yang bisa dipetik yaitu nilai gotong royong. Nilai ini terbukti tangguh dalam membangun pola relasi berdesa, berbangsa, ataupun bernegara. Kedua, meramu sebuah visi bersama untuk Indonesia baru.

Karena angan-angan besar itu tak salah jika ada yang menyebut kongres ini sebagai revolusi senyap. (Foto: Tangkapan layar instagram kongreskebudayaandesa)