Menghapus Stigma Negatif

:


Oleh Kristantyo Wisnubroto, Selasa, 5 Mei 2020 | 19:02 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 1K


Jakarta, InfoPublik - Sejumlah warga Desa Baleharjo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menolak adanya rencana penggunaan gedung kesenian sebagai tempat isolasi dan karantina Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Warga menuding tidak ada koordinasi atas penetapan tersebut, sehingga mereka resah akan ada penularan dari pihak luar.

Kisruh serupa juga terjadi minggu lalu di Solo. Tiga orang perawat RSUD Bung Karno Solo terpaksa tinggal di lantai V rumah sakit tersebut setelah diusir dari tempat indekosnya di wilayah Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Warga meminta tiga perawat meninggalkan tempat indekos dan pindah dari lingkungan tersebut. Mereka khawatir para perawat ini menularkan virus ke lingkungan setempat. Ironisnya, sang ibu kos para perawat adalah seorang bidan. Masalah ini diselesaikan setelah Gubernur Jawa Tengah dan Walikota Solo turun tangan. Mereka kini bisa kembali tinggal di kos.

Persoalan macam begini banyak merebak di masyarakat saat pandemi Covid-19 melanda Tanah Air. Para tenaga medis seperti dokter dan perawat sebagai garda utama merawat kesehatan para pasien Covid-19 maupun menjaga kesehatan masyarakat justru dirundung. Diperlakukan seperti aib.

Kondisi ini seperti sebagian masyarakat masih menolak Orang dengan HIV/AIDS (ODH), mengisolasi para penderita kusta atau masih tingginya kasus pemasungan anggota keluarga di beberapa daerah.

Perawat pasien Covid-19 di RS Darurat Wisma Atlet Kapten Fitdy Eka menolak label buruk atau stigma masyarakat bahwa tenaga kesehatan/nakes sebagai unsur penular virus corona jenis baru SARS-CoV-2 ke tengah masyarakat.

"Ada stigma, kami ditolak masyarakat. Mohon dengan sangat kami juga manusia yang melaksanakan ini dengan hati. Terimalah kami juga dengan hati," ungkap Ketua Tim Perawatan RSD Wisma Atlet Kapt Fitdy Eka.

Komentar Fitdy itu menanggapi fenomena stigma dari sebagian unsur masyarakat terhadap para dokter, perawat, analis dan tenaga kesehatan (nakes) lainnya yang mengurusi Covid-19.

Beberapa unsur masyarakat menstigma para tenaga kesehatan sebagai orang yang sebaiknya dijauhi. Beberapa waktu lalu, terdapat jenazah perawat Covid-19 yang ditolak pemakamannya yang meninggal karena virus corona jenis baru ini.

Sementara itu, Fitdy optimistis jika wabah Covid-19 akan segera berakhir jika masyarakat disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan.

Dengan kedisiplinan itu, lanjut dia, akan memicu keselamatan bagi diri sendiri dan orang lain sehingga rantai penularan virus SARS-CoV-2 segera berakhir.

"Mohon dengan sangat lindungi diri dan orang lain sehingga pesan-pesan pencegahan bisa terlaksana dengan baik. Mari sama-sama memenangkan perang ini. Kita kalau dalam konteks ibadah bukan beban, ibadah untuk diri dan orang lain," tukas Fitdy dia.

Perundungan ini makin mengenaskan, ketika para tenaga medis dituntut menyembuhkan pasien, justru sejumlah pasien tidak jujur mengenai gejala Covid-19. Akibatnya fatal, tenaga medis harus dikarantina bahkan sampai ada yang dirawat hingga meninggal. Bayangkan ketika semua pasien berlaku tak jujur seperti itu, maka habislah tenaga medis di semua rumah sakit!

Dari data yang dihimpun dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan Reformasi (FSP FARKES/R) sampai minggu kedua April 2020 tercatat, 44 tenaga medis meninggal dunia akibat terinfeksi virus corona. Rinciannya, 32 dokter dan 12 perawat. Sebagian meninggal akibat ada pasien tak jujur mengungkapkan dirinya mengidap gejala Covid-19.

Seperti kasus seperti di RSUPD Kariadi, Semarang, sebanyak 57 tenaga kesehatan terinfeksi positif karena salah seorang pasien tak jujur soal gejala terinfeksi corona. Begitupula kasus yang sama di RSUD Banjarmasin dan daerah lainnya.

Kementerian Kesehatan mengungkapkan bahwa stigma dan juga stereotipe negatif yang diberikan oleh individu atau kelompok masyarakat terhadap tenaga kesehatan atau pasien Covid-19 berkontribusi terhadap tingginya angka kematian akibat virus corona.

"Stigma harus dilihat secara satu kesatuan karena stigma tidak semata-mata sebuah sikap atau perilaku pada suatu suasana yang menjadi tidak baik tapi stigma juga akan menimbulkan marginilasiasi, dan memperburuk status kesehatan dan tingkat kesembuhan. Inilah yang perlu dipahami bahwa stigma berkontribusi terhadap tingginya angka kematian," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan Fidiansjah di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Jakarta, Jumat (01/05/2020).

Kemenkes mengajak seluruh elemen masyarakat untuk melawan stigma dengan tidak mendiskriminasi dan mengucilkan tenaga kesehatan dan orang-orang yang terpapar Covid-19 ketika harus melakukan isolasi mandiri di rumah. Sebab, stigmasisasi tersebut sangat berdampak terhadap imunitas seseorang yang terpapar Covid-19 dan akan berpengaruh dalam proses proses penyembuhan pasien Covid-19.

Dalam hal ini, upaya melawan Covid-19 harus secara komprehensif tidak hanya pada penanganan secara fisik, tapi juga dalam konteks kesehatan jiwa dan psikososial masyarakat. Aparat pemerintah daerah agar menjelaskan lebih lanjut berbagai informasi yang disampaikan oleh Juru Bicara Pemerintah Penanganan Covid-19 setiap hari.

Menurut Fidiansjah, stigma di masyarakat dapat ditekan dengan cara menyampaikan komunikasi risiko dengan tepat. Media berperan penting dalam komunikasi risiko kepada masyarakat dengan tidak hanya fokus pada pertumbuhan kasus dan kurangnya keterbukaan informasi perihal penanganan Covid-19.

Dia menilai, pemberitaan media terkait informasi yang utuh soal penularan virus yang tidak sampai ke masyarakat sangat memengaruhi stigma terhadap orang terkait Covid-19. Semisal menerangkan soal kategori orang tanpa gejala (OTG), orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), dan pasien positif dan keluarga pasien serta tenaga kesehatan.

Fidiansjah mencontohkan kasus perawat yang distigma dan mendapatkan perlakuan tidak patut di lingkungannya kemudian terpapar Covid-19 dan meninggal dunia, bahkan dalam proses pemakamannya pun masih mendapat penolakan.

"Tentu sikap ini harus kita lawan, dan ini akan menimbulkan dampak kesehatan jiwa pada komunitas masyarakat itu sendiri," kata Fidiansjah.

Kementerian Kesehatan mengajak masyarakat untuk memberikan apresiasi pada tenaga kesehatan atau pada orang-orang yang turut memberikan dukungan dalam penanganan Covid-19. Apresiasi yang dimaksud bukanlah hal yang muluk-muluk, tapi memberikan perhatian dan penghargaan itu sudah cukup.

Fidiansjah menyarankan agar masyarakat memberikan dukungan terhadap persoalan Covid-19 seperti memberikan dukungan ucapan, terima kasih Anda telah berikan pertolongan, dan sebagainya. Sejumlah komunitas dan warga seperti di Yogyakarta dan Tulungagung memberikan apresiasi dan sambutan kepada perawat yang sembuh dari Covid-19. Padahal sebelumnya warga sempat menolak.

Semangat gotong royong warga inilah dengan memberikan apresiasi dalam bentuk makanan, minuman, APD, rutin memberikan semangat kepada tenaga kesehatan maupun pasien Covid-19 isolasi mandiri adalah kunci menghapus stigma tersebut.

Berbeda dengan ulah warga desa tetangganya Balehardjo, justru warga Dukuh Gandungsari, Desa Wonosari, Gunungkidul, urunan menyediakan sembako, sayuran, buah-buahan serta kebutuhan harian lainnya kepada 4 keluarga yang isolasi mandiri di rumah masing-masing.

Bantuan itu berasal dari dana warga sendiri dan sisanya menggunakan dana desa. Mereka memastikan keluarga itu tidak keluyuran dan terjamin kebutuhan pokoknya. Kepala Desa pun sudah membentuk Gugus Tugas Penanganan Covid-19. Kasus positif corona di Wonosari membuat pemerintah kabupaten menurunkan tim kesehatan agar wabah tidak meluas.

Panduan penanganan Covid-19 kepada pengurus RT/RW maupun kepala desa yang disusun oleh Kemenkes dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 sebenarnya bisa jadi pegangan dalam menghapus stigma negatif orang terkonfirmasi corona. Pola gotong royong ini sudah dijalankan antara lain di Kabupaten Tangerang, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banyuwangi, Padang serta model Jogo Tonggo yang diterapkan Provinsi Jawa Tengah.

Karantina Pekerja Migran

Selain tenaga kesehatan. Ada kelompok masyarakat yang juga memerlukan perhatian dan kerap mendapat stigma negatif di masa pandemi Covid-19. Mereka adalah para pekerja migran Indonesia yang selama ini bertahun-tahun mengadu nasib di mancanegara. Ada puluhan ribu PMI yang siap pulang kampung karena di negara mereka bekerja juga sudah menghentikan aktivitas bisnis mereka akibat wabah corona. Sebagian besar mereka adalah anak buah kapal (ABK) kapal pesiar atau kapal nelayan. Sebagian lain adalah pekerja perkebunan, konstruksi, perhotelan, kuliner serta asisten rumah tangga.

Beberapa daerah sudah menyiapkan diri untuk menampung para WNI pekerja migran tersebut. Protokol kesehatan pencegahan Covid-19 tetap harus diikuti bagi orang yang baru datang dari luar negeri. Isolasi dan karantina selama 14 hari.

Kepala Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Dinas Pendidikan Provinsi Bali, I Made Alit Dwitama mengatakan LPMP Provinsi Bali telah menjadi tempat karantina sejak 7 April 2020. LPMP Provinsi Bali meminjamkan asrama yang biasa digunakan sebagai tempat penginapan peserta pelatihan, untuk menjadi tempat tinggal sementara atau ruang isolasi mandiri bagi para PMI yang baru saja tiba di Bali.

Sebagian besar PMI adalah pekerja di kapal pesiar dari Asia Pasifik, Australia, Eropa dan Amerika Serikat. Ada yang diantar dengan kapal pesiar dan sisanya memakai pesawat lewat Bandara Ngurai Rai Denpasar.

Setelah dilakukan pemeriksaan cepat (rapid test) setelah PMI dinyatakan negatif Covid-19 oleh Satgas pada keesokan harinya mereka dijemput oleh satgas kabupaten/kota sesuai domisili masing. Kecuali ada yang terdeteksi positif dilakukan karantina selama 14 hari atau ada gejala sedang-berat langsung dirujuk ke rumah sakit khusus penanganan Covid-19.

Tentu saja, ruangan yang digunakan segera dibersihkan dan didekontaminasi oleh petugas kebersihan LPMP. Kemudian asrama dan wisma LPMP siap kembali digunakan oleh satgas untuk menerima kembali PMI lainnya.

Selain LPMP Bali, masih terdapat UPT Dikbud lainnya yang dipersiapkan untuk membantu pemerintah daerah, dengan memperhatikan protokol kesehatan. Salah satunya LPMP Provinsi Bangka Belitung yang juga telah meminjamkan asramanya sebagai tempat karantina bagi ODP Covid-19 sejak 6 April 2020. Sejalan dengan LPMP Bali, Pegawai LPMP Bangka Belitung tidak melibatkan pegawainya dalam penanganan ODP kecuali petugas keamanan dan kebersihan.

Persoalan pandemi Covid--19 bukan sekadar masalah kesehatan namun juga masalah sosial ekonomi. Menyikapi wabah penyakit dengan gegabah justru memperburuk situasi di kala kita tidak tahu seperti apa bentuk virus itu. Meski dampak sosial ekonomi memang benar-benar dirasakan. Sebelum ada yang jatuh sakit terinfeksi bahkan meninggal, berpikir positif amat membantu pencegahan penyebaran wabah. Patuhi saja protokol kesehatan, mendukung satu sama lain dan saling membagi informasi positif niscaya ujian ini bisa dilewati bersama.
(bnpb/antaranews/Foto:ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko)