Hardiknas Kini Tak Seperti Dulu Lagi

:


Oleh Kristantyo Wisnubroto, Sabtu, 2 Mei 2020 | 18:17 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 819


Jakarta, InfoPublik - Jika Ki Hajar Dewantara masih hidup mungkin ia tak membayangkan setelah hampir seabad merintis sistem pendidikan bagi anak bangsa saat kolonial Belanda kukuh berkuasa, model pengajaran di sekolah berubah total. Dunia pendidikan kini memasuki era baru ketika seluruh wilayah Tanah Air dilanda pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).

Virus menular yang menyebabkan ribuan penduduk terinfeksi dan ratusan meninggal dunia, mau tidak mau memaksa para anak didik belajar di rumah. Kebijakan ini selaras dengan upaya pemerintah memutus mata rantai penyebaran virus SARS-CoV-2 dengan bekerja di rumah, belajar di rumah dan beribadah di rumah. Peran kerja sama guru dan orang tua menjadi kunci dalam mengatur pola belajar jarak jauh ini.

Sejak Februari 2020 sampai memasuki ini, pola belajar jarak jauh dilaksanakan di seluruh daerah. Dari Sabang, Miangas, Pulau Rote hingga Merauke. Interaksi sosial para siswa dan guru di sekolah sekarang beralih di rumah.

Model pembelajaran jarak jauh (PJJ) dengan menggunakan daring maupun dikoordinasikan oleh perangkat sosial media guru dipakai agar pencapaian kurikulum maupun kualitas pendidikan terjaga. Seluruh agenda ujian nasional jenjang SMA dan SMK dibatalkan sejumlah daerah. Penilaian kelulusan siswa kini berbasis kompetensi sejak kelas awal dan kelas akhir oleh sekolah. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) juga tetap dilakukan dengan mengikuti protokol kesehatan dan dilakukan secara daring.

Situasi yang berbeda ini makin terasa saat insan pendidikan Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei sebagai bentuk penghormatan kepada Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Pun, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) masih menyelenggarakan upacara bendera peringatan Hardiknas secara terpusat dan terbatas guna mematuhi protokol kesehatan.

Tahun ini, Kemendikbud meniadakan penyelenggaraan upacara bendera yang umumnya dilakukan satuan pendidikan, kantor Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah, serta perwakilan pemerintah Republik Indonesia di luar negeri sebagai bentuk pencegahan penyebaran Covid-19.

Sesuai dengan tema Hardiknas 2020, yaitu Belajar dari Covid-19, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim mengajak seluruh insan pendidikan di Tanah Air mengambil hikmah dan pembelajaran dari krisis Covid-19.

"Saat ini kita sedang melalui krisis Covid-19. Krisis yang memakan begitu banyak nyawa. Krisis yang menjadi tantangan luar biasa bagi negara kita dan seluruh dunia. Tetapi, dari krisis ini kita mendapatkan banyak sekali hikmah dan pembelajaran yang bisa kita terapkan saat ini dan setelahnya," demikian disampaikan Mendikbud dalam sambutannya pada upacara peringatan Hardiknas 2020 di Jakarta, pada Sabtu (02/05/2020).

Mendikbud melanjutkan, melalui situasi saat ini, untuk pertama kalinya guru-guru melakukan pembelajaran melalui daring dengan menggunakan perangkat baru, dan menyadari bahwa sebenarnya pembelajaran bisa terjadi di manapun. Begitu juga dengan orang tua, untuk pertama kalinya menyadari betapa sulitnya tugas guru untuk bisa mengajar anak secara efektif dan menimbulkan empati kepada guru yang tadinya mungkin belum ada.

"Guru, siswa, dan orang tua sekarang menyadari bahwa pendidikan itu bukan sesuatu yang hanya bisa dilakukan di sekolah saja," ujar Mendikbud.

Pendidikan yang efektif, lanjutnya, membutuhkan kolaborasi yang efektif dari tiga hal ini, guru, siswa, dan orang tua. "Tanpa kolaborasi itu, pendidikan yang efektif tidak mungkin terjadi," ujar Mendikbud.

Survei Pembelajaran Jarak Jauh

Pembelajaran jarak jauh di kala pandemi Covid-19 juga mendapat sorotan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Mereka membuat selama lima hari, mulai 17 April 2020 hingga 21 April 2020 dan telah menjaring 602 responden di 14 provinsi di Tanah Air.

Kesimpulan survei dua lembaga itu ternyata menunjukkan bahwa guru masih fokus pada ketercapaian kurikulum pada pembelajaran daring saat pandemi Covid-19.

"Hal ini bertentangan dengan Surat Edaran Mendikbud 4/2020 tentang pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ), yang mana pembelajaran yang dilakukan tidak harus tuntas," ujar Wakil Sekjen FSGI, Satriwan Salim saat menjelaskan hasil survei di Jakarta, Selasa (28/04/2020).

Pandemi Covid-19, menurutv Satriwan Salim, bukanlah kondisi normal. Oleh karenanya, guru hendaknya jangan menyamakan pembelajaran seperti kondisi normal. Pada saat pandemi Covid-19, fleksibilitas dan kelonggaran kurikulum adalah kunci agar anak dan guru tetap "Merdeka dalam Belajar".

Fenomena itu bisa terjadi disebabkan dua hal, yakni informasi SE Mendikbud tersebut tidak sampai atau tidak dipahami dengan baik oleh Dinas Pendidikan Daerah dan faktor psikologis guru yang tetap ingin "bersikap" ideal dalam menuntaskan kurikulum.

"Sebab, akan ada rasa yang mengganjal pada pikiran, jika pembelajaran tak tuntas. Jadi lebih ke faktor subjekivitas guru, rasanya tak sempurna jika kompetensi dasar tidak tercapai," kata Satriwan Salim.

Kemudian, guru lebih menekankan dan berorientasi pada kegiatan penilaian atau aspek standar penilaian pada pelaksanaan PJJ atau 77,6 persen, dibandingkan dengan kegiatan pembelajaran bermakna.

Menurut dia, hal itu terpaksa dilakukan guru akibat kurangnya penguasaan terhadap aplikasi pembelajaran daring. Hanya 19,1 persen responden yang sudah terbiasa menggunakan aplikasi daring. Selebihnya lebih banyak menggunakan media sosial (aplikasi percakapan WhatsApp). Kondisi demikian, membuat PJJ menjadi model pembelajaran yang tidak menarik bagi siswa.

Secara umum penerapan PJJ berjalan dengan baik meskipun menghadapi banyak kendala, seperti kemampuan guru dalam mengelola PJJ, metode pembelajaran yang digunakan, keterbatasan kepemilikan media gawai pintar, dan keterbatasan akses terhadap internet, sehingga PJJ menjadi kurang bermakna dalam proses pembelajarannya.

Guru yang mengajar di perkotaan cenderung lebih memiliki akses yang luas terhadap kepemilikan gawai dan akses internet. Para guru juga sebagian besar menggunakan media digital dalam pembelajaran, setidaknya menggunakan pembelajaran daring sebanyak satu kali.

Sementara itu, guru yang sudah terbiasa menggunakan pembelajaran daring terus-menerus di kelas paling sedikit hanya delapan persen. Bahkan, masih ada guru yang sama sekali belum pernah melaksanakan pembelajaran daring sebelum pandemi (9,6 persen).

Pemerintah sendiri telah memberikan keleluasaan bagi sekolah dan guru yang akses telekomunikasinya kurang memadai agar pola jemput bola dengan memberikan materi soal yang telah diunduh ke rumah-rumah siswa. Sedangkan, Kemendikbud juga telah melonggarkan aturan agar sekolah dapat memakai Biaya Operasional Sekolah (BOP) untuk digunakan membeli tambahan paket internet bagi para guru.

Kontribusi TVRI dalam menyiarkan siaran Belajar dari Rumah sebagai televisi publik nasional yang dikelola pemerintah dan menjangkau seluruh pelosok menjadi alternatif bagi siswa dalam mengikuti PJJ ini.

Mengevaluasi model belajar daring dari rumah ini, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (PAUD Dikdasmen) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hamid Muhammad mengatakan kolaborasi merupakan kunci kesuksesan untuk kegiatan pembelajaran dari rumah.

"Kunci utama kesuksesan belajar dari rumah adalah komunikasi yang baik antara guru, orang tua dan siswa. Kolaborasi itu yang harus dibangun," ungkap Hamid Muhammad di di Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covio-19 di Jakarta, Sabtu (02/05/2020).

Tanpa adanya kolaborasi tersebut, kata dia, pembelajaran dari rumah yang menyenangkan sulit untuk dicapai.

Hamid juga meminta para guru untuk melakukan inovasi pembelajaran yang sifatnya bervariasi agar siswa tidak jenuh dan tidak merasa berat. "Pembelajaran di rumah, hendaknya bisa membuat mereka merasa senang," kata Dirjen PAUD Dikdasmen.

Para guru untuk jenjang SMP dan SMA diharapkan saling berkoordinasi dalam memberikan tugas. Diakui Hamid ada sejumlah keluhan yang masuk dikarenakan masing-masing guru memberikan tugas. "Kalau di SD, hanya ada satu guru. Namun untuk SMP dan SMA ada tiga hingga empat guru. Kalau semuanya memberikan tugas pada waktu bersamaan, maka itu cukup memberatkan siswa. Untuk itu, mohon melakukan koordinasi agar tidak membebani anak-anak kita dengan beban yang berat, karena kita semua adalah pelayan anak-anak kita," terang dia.

Kemendikbud telah mengeluarkan empat kebijakan selama pandemi Covid-19, yakni mendorong pembelajaran secara daring, baik interaktif maupun tidak interaktif. Banyak yang tidak melakukan pembelajaran daring karena terbatasnya teknologi.

"Namun yang penting, pembelajaran harus tetap terjadi meskipun berada di rumah. Tanpa menargetkan pencapaian kurikulum, jangan memindahkan sekolah ke rumah. Tapi pilihlah materi esensial yang perlu dilakukan di rumah," imbuh Hamid Muhammad mengingatkan.

Satu hal, model PJJ ini mendorong pendidikan kecakapan hidup yang kontekstual dan sesuai dengan kondisi anak, terutama mengenai pengertian Covid-19, karakteristiknya seperti dan bagaimana caranya agar tidak terinfeksi virus corona.

Pembelajaran di rumah harus sesuai dengan minat dan kondisi anak, sedangkan untuk tugas dan seterusnya tidak harus dinilai seperti biasa. Namun bersifat kualitatif dan memberikan motivasi pada anak. Pemerintah tidak ingin angka putus sekolah makin bertambah di era pandemi Covid-19 ini. Oleh karena itu, masa Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tetap dibuka dengan melaksanakan protokol kesehatan dan dilakukan secara daring.

Skenario Pemerintah

Belum dapat dipastikan sampai kapan pandemi Covid-19 akan berakhir. Sejumlah prediksi ilmiah sudah beredar di publik. Namun, pemerintah telah menyiapkan sejumlah skenario sehingga anak Indonesia dapat tetap memperoleh pendidikan yang layak dan berkualitas.

Deputi Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Agus Sartono menyebutkan ada tiga skenario yang telah disiapkan. Skenario pertama adalah skenario optimistis yakni sekolah dibuka kembali akhir bulan Juli atau pertengahan Agustus.

Skenario kedua adalah pesimistis apabila Covid-19 berakhir di akhir 2020, yakni menggunakan pembelajaran daring dengan fokus kepada daerah yang tidak mendapatkan akses listrik dan internet sehingga mendapatkan hak pembelajaran dan dilakukan evaluasi jangkauan TVRI apakah bisa menjangkau sekolah yang tidak memiliki listrik.

Skenario ketiga yaitu apakah dimungkinkan mengubah awal tahun pembelajaran baru di bulan Januari 2021.

"Laporan Bapak Menko PMK kepada Bapak Presiden adalah pembelajaran pada semester ini belum dapat dibuka kembali," ungkap Agus Sartono saat memimpin Rapat Koordinasi Persiapan Masuk Kembali ke Sekolah melalui telekonferensi di Jakarta, Jumat (01/04/2020).

Namun demikian, mengacu pada arahan Presiden untuk kemungkinan membuka kembali layanan pendidikan maka tetap harus menjalankan protokol Covid-19. Kemendikbud serta Kementerian Agama (Kemenag) agar menghitung total kebutuhan masker dan ketersediaan fasilitas cuci tangan.

Selain itu perlu mendata sekolah yang tidak dapat menjangkau internet untuk dilaporkan ke Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo). Nantinya, Kominfo agar dapat memastikan Ring Palapa yang telah dibangun mampu menjangkau 46 ribu satuan pendidikan yang belum memiliki akses jaringan internet dan listrik.

"Intinya kita harus memastikan semua anak mendapatkan layanan pendidikan karena mencerdaskan anak bangsa merupakan amanat Undang-Undang," pungkas Agus Sartono. (bnpb/dik/pmk/Foto: ANTARA FOTO/Rony Muharman)