Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura, Menunggu Ratifikasi DPR-RI

:


Oleh Ahmed Kurnia, Minggu, 30 Januari 2022 | 22:41 WIB - Redaktur: Untung S - 1K


Jakarta, InfoPublik – Pemerintah RI tak pernah kendor dalam memberantas tindak pidana yang bersifat lintas batas negara seperti korupsi, narkotika, dan terorisme.

Setidaknya itu tercermin dari substansi perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura yang ditandatangani oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) RI, Yasonna H. Laoly, dan Menteri Hukum Singapura, K. Shanmugam, di The Sanchaya Resort Bintan, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022) lalu.

Penandatanganan itu, disaksikan Presiden RI Joko Widodo dan Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong.

“Untuk perjanjian ekstradisi yang baru, masa retroaktif diperpanjang (dari) yang semula 15 tahun, menjadi 18 tahun sesuai dengan pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)," tutur Presiden RI Jokowi dalam konferensi pers yang disiarkan kanal YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (25/1/2022).

Perpanjangan masa retroaktif, artinya perjanjian ini berlaku surut terhitung tanggal diundangkannya) selama 18 tahun ke belakang. “Selain masa retroaktif, Perjanjian Ekstradisi ini juga menyepakati bahwa penentuan kewarganegaraan pelaku tindak pidana ditentukan pada saat tindak pidana dilakukan. Hal ini untuk mencegah privilege yang mungkin timbul akibat pergantian kewarganegaraan dari pelaku tindak pidana guna menghindari proses hukum,” ujar Menteri Yasonna usai penandatanganan.

Penjelasan dalam hukum internasional, ekstradisi merupakan sebuah proses satu negara – seperti halnya Indonesia -  dapat meminta orang yang menurut hukumnya, dinilai melakukan kejahatan meskipun yang bersangkutan berada di luar negeri – seperti di Singapura misalnya. Maka, kesepakatan dalam Perjanjian Ekstradisi biasanya menjadi dasar bagi suatu negara meminta pemulangan seorang tersangka yang berada atau tengah ditahan di negara lain.

Orang yang diekstradisi termasuk yang telah didakwa atas kejahatan, tetapi belum diadili. Orang yang diadili tetapi berhasil melarikan diri dari penahanan, pun juga yang dihukum secara in absentia juga masuk dalam kategori yang bisa diekstradisi.

Selain perjanjian ekstradisi dengan Singapura, RI telah lebih dulu juga memiliki perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara jiran lainnya yakni Malaysia, Filipina, Vietnam, Thailand, Australia, Republik Rakyat Tiongkok, Hong Kong, dan Korea Selatan.

Lebih jauh, Menkumham Yasonna juga menjelaskan bahwa perjanjian ini mencakup 31 jenis tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi, seperti di antaranya tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, terorisme, dan pendanaan kegiatan yang terkait dengan terorisme.

“Perjanjian ekstradisi ini akan menciptakan efek gentar bagi pelaku tindak pidana di Indonesia dan Singapura,” katanya lagi.

Dalam pertemuan di Bintan itu, Presiden Jokowi dan PM Lee juga menyaksikan penandatanganan 15 dokumen lainnya dalam bidang kerja sama strategis kedua negara di bidang politik, hukum, keamanan, ekonomi dan sosial budaya.

Pembahasan Perjanjian Ekstradisi yang Alot Sejak 1972

Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura telah dirintis sejak 1972. Pembahasan soal perjanjian itu secara detail baru dimulai pada 2004 lalu.

Indonesia, memiliki kepentingan dengan perjanjian ekstradisi itu untuk menangkap para koruptor yang biasanya kabur ke Singapura. Di samping itu, perjanjian itu juga dapat menjadi instrumen hukum untuk pengembalian aset negara yang juga disembunyikan .

Pembahasan mengenai rancangan perjanjian ekstradisi itu ternyata alot. Alhasil, kedua negara baru menandatanganinya pada 27 April 2007 di Bali. Hal itu di antaranya karena Singapura memaksakan bahwa kesepakatan perjanjian ekstradisi harus disepakati dengan pakta perjanjian lainnya.

Pakta yang dimaksud, adalah perjanjian kerja sama pertahanan atau defence cooperation agreement. Dalam perjanjian kerja sama pertahanan itu, Singapura meminta wilayah perairan dan udara di sekitar Sumatera dan Kepulauan Riau supaya bisa digunakan untuk latihan militer tentara Singapura. Sesuatu yang mungkin agak sulit diterima oleh pihak Indonesia.

Boleh jadi, ganjalan ini yang membuat kedua negara seperti tarik ulur dalam menyepakati perjanjian ekstradisi.

Pada 2007 itu, pembahasan Perjanjian Ekstradisi pernah dilakukan secara paralel dengan pengesahan Perjanjian Kerja Sama Keamanan Indonesia – Singapura. Dalam perkembangannya, Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Periode 2004 – 2009 dalam Rapat Kerja dengan Menteri Luar Negeri pada 25 Juni 2007, menolak untuk mengesahkan Perjanjian Kerja Sama Keamanan yang telah ditandatangani sehingga berdampak pada proses ratifikasi Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura.

Akhirnya, proses ratifikasi Perjanjian Ekstradisi dan Perjanjian Kerja Sama Keamanan antara RI-Singapura tak kunjung disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Itu sebabnya, banyak buronan tindak pidana asal Indonesia yang lari dan bersembunyi di Singapura. Salah satu penyebabnya adalah karena kedua negara tersebut belum memiliki perjanjian ekstradisi.

Menkumham Yasonna menjelaskan, Perjanjian Ekstradisi yang ditandatangani kembali pekan lalu di Bintan itu, “bersifat progresif, fleksibel, dan antisipatif terhadap perkembangan, bentuk dan modus tindak pidana saat ini dan di masa depan,” jelas Menteri Yasonna.

Meski Perjanjian Ekstradisi itu sudah ditandatangani, namun kita semua masih harus menunggu perjanjian itu diratifikasi oleh DPR-RI.

Keterangan Foto: Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna H. Laoly  dan Menteri Hukum Singapura K. Shanmugam menandatangani Perjanjian Ekstradisi di The Sanchaya Resort Bintan, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022) lalu. Penandatanganan itu disaksikan Presiden RI Joko Widodo dan Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong (Dokumentasi Kemenkumham)