Upaya Melindungi PMI dari Kejahatan Perdagangan Manusia

:


Oleh Ahmed Kurnia, Sabtu, 28 Agustus 2021 | 22:12 WIB - Redaktur: Untung S - 2K


Jakarta, InfoPublik – Masih banyak pekerja migran Indonesia (PMI) yang sampai saat ini mendapatkan berbagai eksploitasi seperti kekerasan fisik, pelecehan seksual, upah yang tidak dibayar sesuai kontrak, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, bahkan pemberlakuan jam kerja yang melebihi batas.

Mereka – para pekerja migran itu – banyak yang menjadi korban kejahatan kemanusiaan seperti perdagangan orang (human trafficking), penyelundupan manusia (people smuggling), perbudakan (modern slavery). “Maka perlindungan terhadap PMI merupakan hal penting,’’ tegas Benny Rhamdani, Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dalam pertemuannya dengan Dian Ediana Rae, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) di Gedung PPATK, Jakarta, Selasa (24/8/2021).

PPATK dengan BP2MI dalam pertemuan itu sepakat untuk meningkatkan kerja sama yang diformalkan melalui Nota Kesepahaman (MoU) dalam hal pertukaran informasi, pelatihan maupun sharing knowledge mengenai modus-modus terkait aktivitas penempatan tenaga kerja yang melawan hukum alias ilegal.

Pertemuan ini merupakan awal dari rencana kerja sama antara BP2MI dengan PPATK dalam aksi pemberantasan sindikat penempatan ilegal Pekerja Migran Indonesia (PMI), khususnya dalam hal penyitaan harta dari para pelaku, sehingga Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

“Kejahatan human trafficking adalah kejahatan yang harus kita hadapi bersama-sama, kejahatan ini merupakan kejahatan yang bisa dikategorikan Extraordinary Crime,” ujar Benny lagi.

Padahal, seperti kata Benny, PMI merupakan penyumbang devisa terbesar kedua setelah sektor Migas. Kontribusi PMI mencapai Rp159,6 triliun setiap tahun – atau setara dengan 7 persen dari APBN. Sumbangan devisa negara yang diberikan pekerja migran itu – nyaris sama atau hanya beda tipis dari penerimaan sektor migas sebesar Rp159,7 triliun.

Maka, kata Benny lagi, tidak ada alasan untuk tidak memberikan pelayanan dengan rasa hormat kepada para PMI, termasuk memberikan perlindungan maksimal dengan menghentikan segala bentuk eksploitasi kepada mereka. “Sesuai amanah Presiden Jokowi, PMI harus diperlakukan sebagai warganegara VVIP dan berhak mendapat perlakuan hormat dari negara,’’ kata Benny lagi.

Menurut Benny, UU No 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia memandatkan perlindungan PMI dan anggota keluarganya. Perlindungan diberikan pada saat sebelum, ketika, dan setelah bekerja. Bahkan hingga perlindungan yang lebih luas mulai dari sosial, hukum, dan ekonomi dalam bentuk literasi atau edukasi keuangan.

Pada kenyataannya hingga saat ini masih terus terjadi praktik kejahatan dalam pengiriman PMI yang dilakukan oleh sindikat pengiriman pekerja ilegal. “Ini adalah bisnis kotor, yang berkomplot di dalamnya adalah pemilik modal, dibekingi oknum aparat dan birokrat,” kata Benny.

Ketua BP2MI itu juga melihat ada praktik rente dan ijon yang menempatkan PMI hanya sebagai objek sapi perahan. “Mereka (sindikat) adalah lintah darat, sel-sel yang mengalami pembelahan, di mana di satu sisi sebagai sebagai perekrut tenaga kerja, tetapi di sisi lain juga membentuk koperasi simpan pinjam yang meminjam uang ke bank dengan bunga 6 persen. Ini uang negara yang diambil, tetapi ketika dipinjamkan kepada PMI sebelum berangkat untuk memenuhi segala kebutuhannya, maka bunganya menjadi 21 persen hingga 27 persen. Akibatnya, ada PMI yang tidak menerima gaji selama 10 bulan – karena harus menanggung beban bunga pinjaman yang begitu tinggi,” ungkap Benny.

Hasil riset yang dilakukan BP2MI juga menunjukkan bahwa praktik sindikat perdagangan orang ternyata menghasilkan uang haram yang besar jumlahnya. “Dari satu PMI yang berangkat secara ilegal dapat diperoleh keuntungan sampai Rp40 juta, sedangkan modal yang dikeluarkan hanya Rp20 juta” papar Benny.

Sementara itu, data World Bank 2019 menyebut PMI yang ada di luar negeri mencapai 9 juta orang. Padahal, menurut data BP2MI, PMI yang tercatat berangkat secara legal ada 3,7 juta orang. "Di sistem kami tercatat 3,7 juta orang yang berangkat. Kami tahu persis, mereka berasal dari mana dan dipekerjakan ke negara mana. Tapi ternyata World Bank mendata ada sekitar 9 juta PMI. Jadi, ada selisih sekitar 5,3 juta pekerja asal Indonesia yang berarti dikirim oleh para sindikat perdagangan orang," kata Benny. Mereka, PMI yang dikirim melalui sindikat perdagangan orang itu otomatis berada di luar kontrol perlindungan negara.

PPATK menaruh perhatian yang sangat besar terhadap kasus-kasus yang terkait dengan kejahatan terhadap kemanusiaan seperti perdagangan orang, penyelundupan manusia, perbudakan modern. "Oleh karena itu kerja sama dengan BP2MI diharapkan dapat lebih meningkatkan upaya Indonesia didalam melakukan perlindungan terhadap tenaga kerja migran Indonesia," kata Dian.

Lebih lanjut Dian menjelaskan sesuai hasil penilaian risiko nasional (National Risk Assessment/NRA) Tahun 2021 potensi tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang terkait Tindak Pidana Penyelundupan Migran tidak luput dari perhatian PPATK dan Aparat Penegak Hukum karena sifatnya terkait dengan kemanusiaan dan melibatkan jaringan internasional.

“Profil Tenaga Kerja Indonesia atau PMI juga rentan dimanfaatkan dalam modus TPPU melalui transfer dana dan pembawaan uang tunai lintas batas” ungkap Dian.

 

Keterangan Foto: Pertemuan Kepala BP2MI Benny Ramdhani dan Kepala  PPATK Dian Ediana Rae di Gedung PPATK, Jakarta (24/8/2021)