Waspada!, Pascainflasi Tinggi Terbitlah Stagflasi

:


Oleh DT Waluyo, Rabu, 26 Oktober 2022 | 08:27 WIB - Redaktur: Untung S - 6K


Jakarta, InfoPublik – Waspada inflasi tinggi!, peringatan itu disampaikan sejumlah pemimpin negara di dunia. Para pelaku ekonomi di tanah air pun menyampaikan hal yang sama. Bank Indonesia (BI), sebagaimana disampaikan Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter BI, Wahyu Agung Nugroho, kepada media beberapa waktu lalu menyampaikan kenaikan harga BBM akan menambah tingkat inflasi sebesar 1,8 hingga 1,9 persen.

BI memprediksi Laju inflasi, terutama inflasi inti, diyakini akan kembali ke level 2 hingga 4 persen pada kuartal ketiga 2022. Kendati demikian, BI memperkirakan ekonomi pada kuartal III/2022 akan tumbuh lebih tinggi dari kuartal sebelumnya. Hal itu, terutama didorong oleh membaiknya konsumsi domestik.

Perekonomian Indonesia saat ini ada dalam tren melanjutkan pemulihan yang kuat sejak kuartal pertama 2022.  Berdasarkan data terakhir, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2022 tumbuh sebesar 5,4 persen secara tahunan. Pada kuartal ketiga 2022, ekonomi diperkirakan tumbuh sebesar 5,5 persen secara tahunan.

Sementara itu Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, menyebutkan inflasi tinggi disejumlah negara di dunia diakibatkan adanya kenaikan harga komoditas. Hal itu didorong oleh meningkatnya permintaan barang yang tinggi, sejalan dengan adanya  pemulihan ekonomi pascapandemi.

Kondisi tersebut itu diperburuk dengan beberapa pasokan bahan pangan dan bahan energi yang tidak mulus karena adanya kondisi geopolitik Rusia-Ukraina. “Kenaikan komoditas itu mendorong inflasi tinggi di berbagai negara. Kenaikannya adalah the worst in 40 years,” ungkap Menkeu saat menjadi narasumber Program Pelatihan Kepemimpinan IA ITB di Jakarta, Selasa (25/10/2022).

Inflasi yang terjadi saat ini, kata Menkeu, merupakan terburuk yang dialami sejumlah negara. Kondisi itu terjadi di Amerika, Eropa, dan Jepang yang selama berdekade-dekade berjuang dengan deflasi. “Suddenly, mereka punya inflasi. Itu adalah di satu sisi tadinya para policy maker di negara-negara maju itu mikir, oh ini inflasi sementara karena tadi demandnya lari duluan (sementara) supply-nya telat di belakang,” jelas Menkeu.

Data yang dihimpun Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan tren inflasi yang meningkat. Hal itu menyebabkan negara-negara maju tersebut menaikkan suku bunga dengan tajam. Kalau bisanya bank sentral menaikkan suku bunga 25 basis poin atau 0,25 persen, saat ini bank sentral bisa menaikkan 50 basis sampai 75 basis sekali naik.

Langkah bank sentral seperti itu, tentu bukanlah sesuatu yang bisa dianggap sepele. Kenaikan suku bunga secara serentak di seluruh dunia, di negara maju ini akan menimbulkan dampak dan memang itu yang diinginkan, yaitu dampak untuk melemahkan demand supaya supply-nya bisa kerja dulu. Tujuan utamanya adalah agar inflasi turun.

Masalahnya, kenaikan suku bunga tersebut menyebabkan dan menciptakan potensi terjadinya pelemahan demand. Hal seperti itu, kata Menkeu, layak dicermati. Alasannya, bila hal itu berlangsung terus, kondisi itu dapat menyebabkan resesi.

“Kalau resesinya datang lebih dulu tapi inflasinya belum turun, maka yang terjadi ekonominya adalah resesi tambah inflasi. Namanya stagflasi. Itu yang tidak diinginkan,” pungkas Menkeu.

Apa itu stagflasi?

Stagflasi adalah kondisi ekonomi yang ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang melemah dan angka pengangguran yang tinggi. Dilansir dari Investopedia, Senin (11/10/2021), kondisi ini biasanya diikuti dengan kenaikan harga-harga atau inflasi. Stagflasi juga bisa didefinisikan sebagai kondisi pada sebuah periode inflasi yang dikombinasikan dengan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB).

Adalah politisi Inggris Macleod yang menggunakan istilah stagflasi pada 1960. Mcleod merujuk pada kondisi ekonomi yang tengah mengalami tekanan kala itu. Berpidato di Dewan Rakyat Britania Raya kala itu, Macleod menggambarkan kondisi inflasi sekaligus stagnasi yang terjadi di Inggris sebagai situasi stagnasi.

Istilah stagflasi kembali muncul di media pada periode resesi yang terjadi pada tahun 1970an. Kala itu terjadi krisis bahan bakar, seiring dengan pertumbuhan PDB negatit Amerika Serikat selama lima kuartal berturut-turut. Tingkat inflasi tumbuh dua kali lipat pada 1973 dan mencapai double digit pada tahun 1974. Di sisi lain, tingkat pengangguran AS kala itu mencapai 9 persen per Mei 1975.

Dengan bahasa sederhana, stagflasi adalah kondisi yang terjadi manakala pengangguran meningkat dan saat bersamaan terjadi kenaikan harga-harga, sementara, jumlah barang atau suplai terbatas. Adapun penyebabnya, adalah kondisi ekonomi yang melemah, di saat yang bersamaan, terjadi inflasi atau kenaikan harga-harga. (*)

Foto: Istimewa/Antara