:
Oleh Irvina Falah, Selasa, 17 Mei 2016 | 11:05 WIB - Redaktur: Irvina Falah - 391
Seoul - Bertemu dengan masyarakat Indonesia di luar negeri, Presiden Joko Widodo tidak hanya memberikan sambutan, tapi juga memberikan kesempatan kepada masyarakat Indonesia yang ada di luar negeri untuk bertanya kepada dirinya, termasuk ketika bertemu dengan diaspora dan masyarakat Indonesia di Seoul, Korea Selatan, Minggu malam 15 Mei 2016.
Saat ditanya tentang persoalan yang paling rumit yang dihadapi ketika menjadi presiden. "Pertama, korupsi," ucap Presiden.
Hal rumit kedua adalah menyiapkan lapangan kerja, karena pengangguran di Indonesia, meski secara persentase di bawah angka pengangguran di Eropa yang mencapai angka di atas 30 persen. "Di Indonesia 5,6 persen tapi dikali 250 juta penduduk, bukan angka kecil. Bukan angka sedikit," ujar Presiden.
Hal ketiga yang merupakan persoalan rumit adalah masalah kesenjangan penghasilan yang menyebabkan jurang antara kaya dan miskin semakin melebar. "Ada gap, gini ratio kita 0,40-an dan ini juga harus diturunkan," ucap Presiden.
Hal lainnya yang merupakan persoalan yang rumit bagi Presiden Jokowi adalah kesenjangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi.
Setelah bertemu diaspora dan masyarakat Indonesia, Presiden menjelaskan kepada wartawan yang mengikutinya dari Jakarta bahwa langkah pencegahan untuk mengantisipasi korupsi, yakni perlu dilakukan perbaikan sistem, seperti yang dilakukan BKPM "Cegah gratifikasi, amplop-amplop. Kalau sistem terbangun baik, ruang korupsi jadi tidak ada. Penindakan dilakukan secara massive dan keras oleh KPK. Tapi titik beratnya kita membangun sistemnya," ujar Preiden.
Presiden meyakini pencegahan korupsi dapat dilakukan dengan membangun sistem. "Kalau sistemnya terbangun, ruang-ruang untuk korupsi menjadi tidak ada," ucap Presiden.
Pemerintah SIapkan Peraturan Bagi Kemudahan DIaspora Indonesia
Dalam tanya jawab dengan diaspora dan masyarakat Indonesia ada kalanya Presiden memberikan kesempatan kepada menteri atau anggota delegasi untuk menjawab pertanyaan. Kepala BKPM Franky SIbarani misalnya, diberi kesempatan untuk menjawab pertanyaan mengenai sulitnya diaspora Indonesia memiliki properti di Indonesia.
Saat ini, ucap Franky, BKPM berkoordinasi dengan Kemenko Perekonomian, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM tengah mempersiapkan Perpres atau Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang kemudahan memiliki properti bagi diaspora dan masyarakat Indonesia. "Pertama, bagi yang hanya memiliki paspor akan diakui sebagai KTP," ujar Franky.
Sedangkan bagi diaspora Indonesia akan dikeluarkan kartu diaspora oleh KBRI atau KJRI yang akan diakui sebagai NPWP sehingga dapat digunakan untuk membeli properti. "Di Indonesia memang dipersyaratkan tadi harus memiliki KTP, karena itu kita sedang berkoordinasi dalam proses persiapan revisi atau pembuatan PP atau peraturan perpres yang baru," ucap Franky.
Presiden yang turut mendengarkan penjelasan Kepala BKPM, menanyakan berapa lama proses penerbitan peraturan tersebut. "Sekitar 4 bulan, Pak," jawab Franky.
Kartu diaspora ini juga akan berlaku bagi eks WNI sehingga dapat diperlakukan sebagai KTP atau NPWP. "Dan yang terpenting adalah di dalam melakukan aktivitas investasi atau pendirian perusahaan tetap diperlukan sebagai pemilik modal dalam negeri dan tidak diperlakukan sebagai PMA," ujar Presiden.
Sedangkan bagi eks WNI yang bekerja di luar negeri dan ingin bekerja di Indonesia maka para eks WNI ini tidak diperlakukan sebagai tenaga kerja asing jika telah memiliki kartu diaspora. "Jadi tidak perlu adanya KITAS. Proses ini lebih memudahkan WNI atau eks WNI untuk bisa tetap memberikan kontribusinya terhadap pembangunan di Indonesia," kata Presiden.