:
Oleh Irvina Falah, Rabu, 20 April 2016 | 16:40 WIB - Redaktur: Irvina Falah - 361
LONDON - Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa masyarakat Indonesia lebih mengenal Inggris, ketimbang sebaliknya. "Di Indonesia, pertandingan antara Manchester United dan Arsenal kadang-kadang menjadi sumber 'pertengkaran' dalam keluarga," ujar Presiden ketika menyampaikan pidato di depan Parlemen Kerajaan Inggris, Selasa 19 April 2016.
Bahkan, lanjut Presiden, masyarakat Indonesia lebih hafal bait-bait lagu One Direction, Coldplay, Genesis, the Beatles, Led Zeppelin, Queen, dan Iron Maiden. "Di Indonesia, kami sangat tahu nama produk-produk Inggris seperti Mark&Spencer dan Debenhams, bahkan beberapa dari kita sangat mengerti dimana Harrods itu," kata Presiden.
Oleh karenanya, Presiden menginginkan masyarakat Inggris juga lebih mengenal Indonesia, lebih banyak warga Inggris yang ke Indonesia, tidak hanya ke Bali. "Tapi juga ke tempat-tempat indah lainnya. Ada penerbangan regular dari Jakarta ke London," ujar Presiden.
Presiden ingin produk-produk Indonesia semakin mudah dan semakin banyak masuk ke pasar Inggris. "Saya ingin kerja sama Indonesia dan Inggris semakin kokoh, dalam dan luas," kata Presiden.
Indonesia "Blessing" Bagi Dunia
Hubungan antara Indonesia dan Inggris sudah mulai terjalin sejak akhir abad ke 16 ketika Francis Drake datang ke Maluku. Beberapa tahun kemudian, di tahun 1602 ketika John Lancaster tiba di Aceh membawa surat dari Ratu Elizabeth I untuk memulai hubungan dagang.
Kini, setelah lebih dari 400 tahun, hubungan panjang ini harus diperkuat untuk kemakmuran rakyat kedua bangsa. Untuk persahabatan dan kerja sama kedua negara
Indonesia saat ini sedang bekerja keras, untuk menjadi negara maritim yang makmur. "Negara menjunjung nilai-nilai universal kemanusian, pluralisme, dan toleransi. Negara yang mengedepankan demokrasi dan menghormati hak asasi manusia. Negara di mana Islam dan demokrasi berjalan seiring. Negara dimana moderasi, tradisi dan modernitas disatukan oleh satu rujukan. Rujukan ke Pancasila, yang menjadi dasar negara kami," ucap Presiden.
Presiden meyakini bahwa Indonesia yang sedang membangun ini, akan menjadi “rahmat” bagi dunia, "blessing" bagi dunia. Dunia yang saat ini masih berkutat melawan kemiskinan. Dunia yang masih kental dengan ketidakadilan. Dunia yang diwarnai oleh berbagai konflik multidimensi. Dunia yang terganggu oleh terorisme dan ekstrimisme kekerasan. Dunia yang masih sarat dengan prasangka dan sikap intoleran.
Keyakinan Presiden itu didasarkan pada kenyataan, bahwa Indonesia dianugrahi dua aset penting dalam kehidupan bangsa kita, yakni Islam dan demokrasi. Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia dengan jumlah lebih dari 200 juta penduduk muslim, dengan ciri utama yang moderat.
"Kami bangga bahwa islam di Indonesia memiliki peran penting dalam mengkonsolidasikan demokrasi. Bertindak sebagai penjaga kemajemukan dan toleransi. Menyerukan moderasi dalam masyarakat. Menentang radikalisme, segala bentuk terorisme, dan ekstrimisme kekerasan dan dapat menjadi inspirasi bagi dunia," ujar Presiden.
Islam Moderat dan Demokrasi : Aset Indonesia
Sejak reformasi 1998, Indonesia telah menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Pemilu demokratis dan damai, yang telah berjalan selama empat kali, kini menjadi satu-satunya mekanisme pergantian kekuasaan.
Semua warga negara, terlepas dari latar belakang ras, jender dan agama adalah sama di mata hukum dan memiliki persamaan hak dan kewajiban. Militer di Indonesia tidak lagi terlibat dalam politik. "Kebebasan berbicara, kebebasan pers dan kebebasan beragama, semuanya dijamin oleh konstitusi. Setiap WNI mempunyai hak menjadi Presiden, termasuk saya," ujar Presiden.
Seperti di banyak negara lain, dua aset penting dalam kehidupan di Indonesia, yakni Islam moderat dan demokrasi, masih mendapat berbagai tantangan, seperti tindakan intoleransi dalam masyarakat, radikalisme dan ektremisme kekerasan, aksi-aksi terorisme yang mengatasnamakan agama. "Bahkan ada juga warga negara kami yang bergabung dengan gerakan-gerakan teroris asing di luar negeri meskipun jumlahnya sangat kecil sekali di antara 252 juta penduduk Indonesia," kata Presiden.
Perdamaian Perlu Dukungan Bersama
Presiden menjelaskan cara Indonesia menghadapi tantangan di dalam negeri dengan memperkuat penegakan hukum, merevisi UU anti-terorisme, dan meningkatkan kemampuan otoritas intelijen. Namun yang lebih penting adalah mengedepankan pendekatan soft power, menggunakan pendekatan agama dan budaya, melibatkan partisipasi masyarakat, khususnya ormas keagamaan, menjalankan program deradikalisasi, rehabilitasi, dan reintegrasi di masyarakat. "Kami juga menjalin kerja sama internasional, termasuk dalam menyerukan perdamaian dan kerja sama antar-peradaban," ucap Presiden.
Presiden menggarisbawahi bahwa tantangan yang dihadapi sekarang ini tidak bisa dihadapi dengan pendekatan militer semata, tidak juga dapat diselesaikan secara unilateral. "Apalagi dengan pendekatan yang diwarnai oleh intoleransi dan buruk sangka justru intoleransi dan buruk sangka inilah yang ingin disamai oleh terorisme maupun oleh gerakan radikal dan ekstremisme," kata Presiden.
Karena itu, lanjut Presiden, serangan teror dimana pun, harus mengingatkan kita pada pentingnya kerja sama internasional, pentingnya mempromosikan toleransi dan tidak terprovokasi, pentingnya mengatasi akar masalah. "Suara dan upaya perdamaian yang diserukan Indonesia, tidak dapat kami lakukan sendirian," kata Presiden.
Turut hadir mendampingi Presiden, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Perdagangan Thomas Lembong, Sekretaris Kabinet Pramono Anung dan Dubes Indonesia untuk Inggris Rizal Sukma.
Sumber: ksp.go.id