RUU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan Disetujui Untuk Disahkan Menjadi Undang-Undang

:


Oleh Irvina Falah, Jumat, 18 Maret 2016 | 12:00 WIB - Redaktur: Irvina Falah - 464


Jakarta, 17 Maret 2016 – DPR telah menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (RUU PPKSK) yang diajukan Pemerintah untuk disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR RI Masa Sidang III Tahun 2015-2016 tanggal 17 Maret 2016.
 
RUU PPKSK, sebelumnya disebut dengan nama RUU  Jaring Pengaman Sistem Keuangan, terdiri dari 8 bab dan 55 pasal. Ruang lingkup RUU ini mencakup tiga hal yaitu (1) pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan, (2) penanganan krisis sistem keuangan, serta (3) penanganan permasalahan bank sistemik, baik dalam kondisi stabilitas sistem keuangan normal maupun kondisi krisis sistem keuangan.
 
Titik berat RUU ini terletak pada pencegahan dan penanganan permasalahan bank sistemik sebagai bagian penting dari sistem keuangan. Hal ini didasarkan pada dua pertimbangan utama. Pertama, permasalahan bank sistemik dapat menyebabkan gagalnya sistem pembayaran yang mengakibatkan tidak berfungsinya sistem keuangan secara efektif dan berdampak langsung pada jalannya roda perekonomian.  Kedua, sebagian besar dana masyarakat saat ini dikelola oleh sektor perbankan, khususnya bank sistemik.  Untuk itu perlu dijaga keberlangsungan fungsi dan layanan utama bank (critical functions and critical shared services) dari kemungkinan kegagalan. Meskipun demikian, pemantauan, pemeliharaan dan penanganan permasalahan sistem keuangan juga dilakukan terhadap bidang fiskal, moneter, lembaga jasa keuangan, pasar keuangan, dan infrastruktur keuangan, termasuk sistem pembayaran dan penjaminan simpanan.
 
Dalam pendapat akhir Pemerintah, Menteri Keuangan menyampaikan 5 isu utama yang disepakati Pemerintah dan DPR dalam pembahasan RUU PPKSK, yaitu: 
 
Penguatan peran dan fungsi, serta koordinasi antar empat lembaga yang bergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan, yaitu Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. Di dalam RUU ini, ke-empat lembaga tersebut, secara sendiri-sendiri sesuai dengan tupoksinya masing-masing, harus melaksanakan upaya yang optimal dalam rangka pencegahan krisis sistem keuangan. Selain itu, RUU ini juga mengamanatkan kepada ke-empat lembaga tersebut untuk secara bersama-sama melakukan koordinasi yang reguler dan intensif, baik dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan, maupun penanganan kondisi krisis sistem keuangan.
 
Mendorong upaya pencegahan krisis melalui penguatan fungsi pengawasan perbankan, khususnya bank yang ditetapkan sebagai bank sistemik. Bank sistemik adalah bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban; luas jaringan atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan; serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank lain atau sektor jasa keuangan, apabila bank tersebut mengalami gangguan atau kegagalan. Penetapan daftar bank sistemik harus dilakukan sejak awal pada saat stabilitas sistem keuangan dalam kondisi normal, dan harus dilakukan pemutakhiran daftar bank sistemik setiap enam bulan sekali. Untuk pertama kalinya, penetapan daftar bank sistemik dilakukan paling lambat tiga bulan sejak diundangkannya Undang-Undang ini. Artinya, penetapan sistemik atau tidaknya suatu bank, tidak boleh dilakukan pada saat bank tersebut mengalami permasalahan.
 
Penanganan permasalahan bank dengan mengedepankan konsep bail in, yaitu penanganan permasalahan likuiditas dan solvabilitas bank menggunakan sumber daya bank itu sendiri yang berasal dari pemegang saham dan kreditur bank, hasil pengelolaan aset dan kewajiban bank, serta kontribusi industri perbankan.  Pendekatan ini sejalan dengan rekomendasi Financial Stability Board (FSB) dan menjadi praktik yang lazim diterapkan (common practices) di negara-negara G-20 dimana Indonesia menjadi salah satu anggotanya. Melalui pendekatan bail in, diharapkan penanganan permasalahan bank tidak membebani keuangan Negara.
 
Metode penanganan permasalahan likuiditas dan solvabilitas bank, diatur secara lengkap dan komprehensif. Penanganan permasalahan bank tersebut dilakukan dengan lebih dini, antara lain melalui penerapan rencana aksi penyehatan bank (recovery plan) yang telah disusun oleh Bank. Dalam hal terjadi permasalahan likuiditas, RUU ini mengatur lebih detail mekanisme pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah. Selanjutnya, apabila bank mengalami permasalahan solvabilitas, RUU ini memperkenalkan dua metode baru untuk penanganan yang lebih efektif, yaitu pengalihan sebagian atau seluruh asset dan/atau kewajiban bank kepada bank lain sebagai bank penerima (purchase and assumption), atau pengalihan kepada bank baru yang didirikan sebagai bank perantara (bridge bank); dan
 
Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan memegang kendali penuh dalam penanganan krisis sistem keuangan. Di dalam RUU ini, berdasarkan rekomendasi dari KSSK, Presiden bertindak selaku penentu akhir untuk memutuskan kondisi stabilitas sistem keuangan, apakah dalamkondisi normal atau kondisi krisis sistem keuangan. Selain itu Presiden juga dapat memutuskan penyelenggaraan atau pengakhiran program restrukturisasi perbankan apabila terjadi permasalahan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional.
 
Setelah RUU PPKSK disahkan, diharapkan regulasi ini dapat menjadi landasan hukum bagi Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia agar berfungsi efektif dan efisien, serta mampu bertahan dari gejolak yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri.
 
Informasi lebih lanjut hubungi:
Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan R.I.
Gedung Radius Prawiro, lantai 6 Jalan Dr.Wahidin Nomor 1 Jakarta 10710
Telepon   : (021) 348 33208 | Faksimile : (021) 348 33207