BI Rate Turun 25 bps Menjadi 7,25 Persen

:


Oleh Irvina Falah, Kamis, 14 Januari 2016 | 15:36 WIB - Redaktur: Irvina Falah - 474


 No.18/ 3 /DKom

 
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 13-14 Januari 2016 memutuskan untuk menurunkan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 7,25%, dengan suku bunga Deposit Facility 5,25% dan Lending Facility pada level 7,75%. Keputusan ini sejalan dengan pernyataan Bank Indonesia sebelumnya bahwa ruang pelonggaran kebijakan moneter semakin terbuka dengan terjaganya stabilitas makroekonomi, serta mempertimbangkan pula dengan meredanya ketidakpastian pasar keuangan global pascakenaikan Fed-Fund Rate (FFR). Penurunan BI Rate secara terukur diharapkan dapat memperkuat pelonggaran kebijakan makroprudensial dan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) yang telah dilakukan sebelumnya.
 
Pelonggaran lebih lanjut akan dilakukan setelah dilakukan asesmen menyeluruh terhadap perekonomian domestik dan global dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Bank Indonesia juga akan terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dalam pengendalian inflasi, penguatan stimulus pertumbuhan, dan reformasi struktural, sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
 
Ketidakpastian di pasar keuangan global mereda setelah kenaikan Fed Fund Rate (FFR), sementara pemulihan ekonomi global diperkirakan masih terbatas. Kenaikan FFR pada 17 Desember 2015 yang telah diantisipasi pasar serta pernyataan the Fed bahwa normalisasi akan dilakukan secara gradual dan terbatas tidak menimbulkan gejolak di pasar keuangan global. Sementara itu, harga komoditas global masih terus menurun, termasuk harga minyak dunia. Perbaikan ekonomi AS masih tertahan, sejalan dengan masih lemahnya indikator penjualan eceran dan personal expenditure, serta masih terkontraksinya sektor manufaktur.
 
Pemulihan ekonomi Eropa terus berlanjut didorong oleh perbaikan permintaan domestik, meskipun belum mampu meningkatkan inflasi yang masih rendah. Ekonomi Jepang diperkirakan masih lemah seiring dengan konsumsi yang melemah. Di sisi lain, perekonomian Tiongkok diperkirakan masih melambat, di tengah berbagai upaya stimulus, baik melalui kebijakan moneter dan fiskal, serta reformasi di sisi penawaran. Reaksi pasar terhadap perlambatan ekonomi dan konsistensi dalam upaya liberalisasi pasar keuangan di Tiongkok menimbulkan tekanan di pasar sahamnya. Ke depan, risiko terkait perlambatan ekonomi Tiongkok dan terus menurunnya harga komoditas global perlu dicermati.
 
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan IV 2015 belum menunjukkan perbaikan secara signifikan, meskipun telah dilakukan stimulus fiskal dan relaksasi kebijakan makroprudensial. Pertumbuhan ekspor masih tertahan akibat permintaan global yang masih lemah dan terus menurunnya harga komoditas. Perbaikan ekonomi domestik tercatat pada konsumsi pemerintah dan investasi bangunan, didorong oleh realisasi belanja pemerintah dan meningkatnya implementasi proyek infrastruktur pemerintah. Konsumsi swasta masih relatif stabil, di tengah indikasi adanya penurunan tabungan dan pendapatan yang dapat dibelanjakan. Investasi swasta juga masih lemah dengan menurunnya kinerja perusahaan, khususnya yang berbasis komoditas, dan masih besarnya ekses kapasitas produksi karena perlambatan ekonomi domestik.
 
Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan IV 2015 diperkirakan membaik, terutama didukung oleh surplus Transaksi Modal dan Finansial. Kinerja transaksi modal dan finansial (TMF) mencatat surplus yang meningkat, terutama ditopang oleh peningkatan investasi portofolio pada obligasi Pemerintah, termasuk penerbitan Global Bond, dan investasi lainnya. Peningkatan tersebut menunjukkan keyakinan terhadap prospek perekonomian Indonesia semakin baik dan berkurangnya ketidakpastian di pasar keuangan global.
 
Sementara itu, defisit transaksi berjalan sepanjang tahun 2015 diperkirakan membaik dari 3,1% menjadi sekitar 2% dari PDB. Cadangan devisa pada akhir Desember 2015 tercatat sebesar 105,9 miliar dolar AS, atau setara dengan 7,7 bulan impor atau 7,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
 
Rupiah mengalami penguatan di Desember 2015, seiring dengan menurunnya ketidakpastian di pasar keuangan global. Meskipun secara rata-rata mencatat pelemahan, Rupiah, secara point to point (ptp), mengalami penguatan sebesar 0,36% (mtm) ke level Rp13.785 per dolar AS. Menurunnya ketidakpastian di pasar keuangan global setelah kenaikan FFR pada 17 Desember 2015 mendorong kembalinya aliran modal asing ke pasar surat berharga negara. Ke depan, Bank Indonesia akan terus mewaspadai perkembangan global, khususnya perkembangan ekonomi Tiongkok dan harga komoditas, dengan tetap menjaga stabilitas nilai tukar sesuai dengan fundamentalnya.
 
Inflasi 2015 tercatat sebesar 3,35% (yoy), lebih rendah dari inflasi tahun sebelumnya dan berada dalam kisaran sasaran inflasi 2015 yang ditetapkan Pemerintah sebesar 4±1% (yoy). Pencapaian sasaran inflasi tersebut tidak terlepas dari kebijakan pengendalian inflasi yang ditempuh oleh Bank Indonesia dan Pemerintah, termasuk dengan semakin solidnya koordinasi yang dilakukan melalui TPI dan TPID. Inflasi inti tergolong rendah dan tercatat sebesar 3,95% (yoy). Rendahnya inflasi inti tersebut tidak terlepas dari peran kebijakan Bank Indonesia dalam mengelola permintaan domestik, menjaga stabilitas nilai tukar, dan mengarahkan ekspektasi inflasi. Inflasi volatile food tercatat sebesar 4,84% (yoy), cukup rendah di tengah terjadinya gejala El Nino.
 
Hal ini seiring dengan semakin kuatnya koordinasi Pemerintah dan Bank Indonesia dalam mendorong peningkatan produksi dan memperbaiki distribusi serta meminimalkan berbagai distorsi harga bahan pangan. Sementara itu, kelompok administered prices mencatat inflasi yang rendah, yakni 0,39% (yoy), yang didukung oleh reformasi subsidi berupa penyesuaian harga BBM dan LPG 12 kg, serta penyesuaian tarif listrik, di tengah menurunnya harga minyak dan gas global. Ke depan, inflasi akan dijaga pada sasaran inflasi yang telah ditetapkan, yaitu sebesar 4±1% pada 2016-2017 dan 3,5±1% pada 2018.
 
Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga, ditopang oleh ketahanan sistem perbankan dan kinerja pasar keuangan yang cukup kuat. Pada November 2015, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) tercatat sebesar 21,1%, sementara rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) berada di kisaran 2,7% (gross) atau 1,3% (net). Dari sisi fungsi intermediasi, pertumbuhan kredit tercatat sebesar 9,8% (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan pada periode yang sama tahun sebelumnya, sejalan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada November 2015 tercatat sebesar 7,7% (yoy). Ke depan, perlu diantisipasi adanya tekanan likuiditas sebagai dampak operasi keuangan Pemerintah dan perlambatan pertumbuhan DPK. Bank Indonesia akan terus memonitor dan memitigasi risiko likuiditas agar stabilitas sistem keuangan tetap terjaga.
 
Pada tahun 2016, bauran kebijakan Bank Indonesia tetap difokuskan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan dengan tetap memelihara momentum pertumbuhan ekonomi. Di bidang moneter, pemanfaaatan ruang pelonggaran moneter dilakukan secara terukur dengan tetap konsisten menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Kebijakan tersebut akan didukung oleh upaya untuk menjaga nilai tukar yang sesuai fundamentalnya, memperkuat kecukupan cadangan devisa, dan mengelola aliran modal asing. Di bidang makroprudensial, kebijakan makroprudensial yang akomodatif akan terus dilanjutkan dengan tetap memperhatikan stabilitas sistem keuangan, dan terus mendorong pendalaman pasar keuangan. Sementara itu, di bidang sistem pembayaran, kebijakan diarahkan untuk mengembangkan industri sistem pembayaran domestik yang lebih efisien, termasuk melalui perluasan elektronifikasi sistem pembayaran. Berbagai kebijakan tersebut akan disertai dengan peningkatan koordinasi dengan Pemerintah dan institusi terkait sehingga stabilitas makroekonomi tetap terjaga, dengan struktur perekonomian yang lebih kuat dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
 
Jakarta, 14 Januari 2016
Departemen Komunikasi
 
Tirta Segara
Direktur Eksekutif