Selaru adalah nama satu pulau sekaligus kecamatan, terletak di ujung selatan Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku. Berpenduduk kurang lebih 14.000 jiwa, terbagi menjadi 7 desa. Dalam peta Nusantara kita, Selaru adalah salah satu pulau terdepan di perbatasan Indonesia - Australia. Jarak tempuh ke Darwin, Australia hanya 40 menit dengan pesawat udara. Saking dekatnya, nelayan pulau Selaru dan pulau pulau sekitarnya, yang terkena musibah hempasan ombak, sering terdampar di wilayah negara tetangga Australia.
Setelah menempuh perjalanan 45 menit dari Saumlaki dengan Kapal Patroli TNI Angkatan Laut, saya dan sejumlah rekan dari Kementerian ESDM merapat di Selaru. Hari masih pagi, baru masuk pukul 7 waktu Indonesia Bagian Timur. Ditemani Pak Camat, disambut Danramil dan Kapolsek Selaru, kami melakukan kunjungan singkat di Selaru.
Kami mendengarkan penjelasan Pak Camat J Lessy, tentang sulitnya memperoleh air: tapi juga tentang potensi wilayah yang dapat dijadikan tujuan wisata, potensi perikanan, dan berbagai tantangan mengelola wilayah ini. Ikan banyak tapi tak bisa ditangkap berlebih karena tidak ada industri, karena itu nelayan hanya bisa mendapatkan penghasilan ala kadarnya.
Dari 7 desa di kecamatan Selaru, hanya 3 desa yang sudah mendapatkan pasokan listrik, selebihnya masih belum tersentuh listrik. Keadaan ini tak beda jauh dari situasi kabupaten Maluku Tenggara Barat, bahkan Provinsi Maluku secara keseluruhan. Dari 25.254 Kepala Keluarga di MTB kebutuhan listrik baru menyentuh separuhnya.
Sementara untuk provinsi Maluku Dari 1.206 desa, baru 700an desa yang mendapat layanan listrik PLN. Selebihnya 540 desa harus mengupayakan layanan listrik secara mandiri atau off-grid, atau bahkan belum tersentuh aliran listrik sama sekali. Inilah situasi penyediaan energi kita. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Di seluruh Indonesia kita masih berutang kepada 2.519 desa yang sama sekali belum mendapat aliran listrik.
Ada hal menarik, di Pulau Selaru kami bertemu dua perempuan muda, Siska dan Nana. Keduanya insinyur, Siska alumni Fakultas Teknik Universitas Trisakti, dan Mirna (biasa dipanggil Nana) tamatan Institut Teknologi Indonesia. Kedua gadis ini sudah tiga bulan bermukim di dua pulau terdepan, pulau paling selatan indonesia. Siska di Pulau Selaru, Nana di Pulau Yamdena. Mereka adalah dua di antara 80 pemuda pemudi para insinyur muda yang ditempatkan di 30an titik terdepan Republik Indonesia. Wilayah yang sulit: signal telepon kadang kadang tidak ada, air bersih terbatas, komunikasi sulit, transportasi juga tidak tersedia leluasa.
Tugas Siska, Nana dan 78 insinyur muda lainnya adalah membantu masyarakat mencari solusi masalah energi di tempat tempat terpencil. Siska dan Nana saat ini mengawasi pembangunan PLTS dengan ukuran masing masing 100 KW yang direncanakan dapat melistriki 500 keluarga. Selain itu, mereka juga melakukan kegiatan-kegiatan lain seperti mengajar anak-anak disekitar rumah mereka dan membantu usaha pertanian rakyat. Sebagai Patriot Energi, mereka juga melakukan berbagai pelayanan pembangunan lainnya, diluar energi.
Dari obrolan dengan dua gadis tangguh ini, terkesan mereka amat menghayati kehidupan sebagai warga desa. Mereka tinggal di orang tua angkat yang disebut "Papa dan Mama Piara". Cengkok bahasanyanya sudah amat mirip dengan warga setempat. Nana sebenarnya ditempatkan di Tutu Kembong, sejam perjalanan dengan mobil dari Saumlaki dilanjutkan sejam dengan speed boat. Tetapi karena harus mengirim email laporan bulanan, dia harus menyebarang ke Selaru untuk mencari tempat yang memiliki akses internet.
Keseharian mereka, bergaul dan berbaur dengan warga setempat. Mengajari anak anak berbagai pengetahuan dan keterampilan. Dari Nana dan Siska saya belajar, bahwa mengelola pembangunan mengentaskan rakyat dari penderitaan dan kesulitan memang memerlukan pemahaman situasi lokal. "Sampaikan kepada Bapak Presiden, Indonesia Timur perlu lebih diperhatikan", kata mereka berdua kompak.
Saya membayangkan ribuan desa lainnya yang masih menunggu sentuhan pembangunan di berbagai bidang. Kita memerlukan ribuan Siska dan Nana yang bersedia meninggalkan gemerlap dan wangi kota, menjadi bagian dari masyarakat yang masih tertinggal memecahkan berbagai masalah mereka.
Siska dan Nana, dua Patriot Energi bersama puluhan patriot lainnya adalah generasi muda yang terpanggil membangun Indonesia dari pinggiran. Semoga mereka mampu memotret situasi nyata dan memberi inspirasi dalam mencari solusi pembangunan.
Saumlaki, 8 Januari 2016
Sudirman Said