- Oleh MC KAB LUMAJANG
- Selasa, 15 April 2025 | 08:57 WIB
:
Oleh MC KAB LUMAJANG, Jumat, 11 April 2025 | 14:21 WIB - Redaktur: Juli - 1K
Lumajang, InfoPublik - Di lereng perbukitan Gucialit yang sejuk, berdiri sebuah sekolah negeri yang tidak hanya mengajarkan matematika dan sains, tapi juga menanamkan nilai-nilai kehidupan yang lebih dalam tentang bagaimana hidup berdampingan dalam perbedaan. Sekolah itu adalah SMP Negeri 1 Gucialit, tempat di mana moderasi beragama bukan sekadar wacana, melainkan budaya hidup sehari-hari.
Bagi Kepala Sekolah Luluk Winarni, moderasi beragama adalah ruh pendidikan karakter. Ia tak ingin sekolah hanya menjadi tempat mengejar nilai akademik, tetapi juga menjadi rumah tumbuhnya sikap toleran, saling menghargai, dan penuh cinta kasih terhadap sesama.
"Di sini, kami tidak bicara soal mayoritas atau minoritas. Semua anak adalah keluarga. Kami rangkul dan kami ajak tumbuh bersama," ujar Luluk dengan senyum hangat saat ditemui, Jumat (11/4/2025).
Itu bukan sekadar kata. Buktinya, selama Ramadan tahun ini, dua kegiatan keagamaan berjalan berdampingan: Pondok Ramadan untuk siswa-siswi Muslim dan Pasraman Kilat bagi yang beragama Hindu. Di saat satu kelompok belajar memperdalam makna puasa dan Al-Qur’an, kelompok lain memahami ajaran dharma dan nilai kebajikan dalam Hindu.
Tak ada sekat, tak ada suara sumbang. Justru muncul rasa ingin tahu dan respek satu sama lain. Bahkan, beberapa siswa yang tidak ikut kegiatan keagamaan pun tetap datang ke sekolah untuk membantu panitia atau sekadar menjaga suasana tetap hangat dan kondusif.
"Ini jadi ruang belajar sosial yang sangat kuat. Anak-anak belajar menghormati tanpa harus menyeragamkan," kata Yepta Putra Ferdiansyah, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan.
Tak hanya itu, sekolah juga mengajarkan praktik kepedulian melalui pembagian zakat fitrah ke masyarakat sekitar. Kegiatan ini bukan hanya soal menyalurkan bantuan, tetapi juga mempertemukan empati dengan aksi nyata. Anak-anak diajak menyusun paket zakat, menuliskan nama penerima, hingga mengantarkan sendiri ke rumah-rumah. Sebuah pelajaran tentang makna berbagi, yang barangkali tak bisa mereka dapatkan di buku teks.
Setelah Ramadan usai, kegiatan tidak lantas berhenti. Pada 9 April, suasana hangat kembali tercipta saat seluruh keluarga besar SMPN 1 Gucialit mengikuti Halal Bihalal. Bukan hanya ajang saling memaafkan, tapi juga merayakan keberagaman dan kebersamaan yang telah dirawat sepanjang bulan suci.
"Halal Bihalal menjadi penanda bahwa kita siap melanjutkan perjalanan sebagai keluarga besar. Kita bisa berbeda dalam keyakinan, tapi harus satu dalam niat menjaga keharmonisan," lanjut Yepta.
Apa yang dilakukan SMPN 1 Gucialit sejatinya sederhana, namun dampaknya mendalam. Anak-anak di sekolah ini tumbuh menjadi pribadi yang terbuka, penuh respek, dan memiliki kecerdasan sosial yang tinggi. Mereka belajar dari pengalaman, dari interaksi langsung, dari melihat gurunya yang memberi contoh nyata.
Sekolah ini menjadi bukti bahwa pendidikan yang inklusif bukan impian belaka. Di tengah dunia yang kadang gaduh oleh intoleransi, SMPN 1 Gucialit seperti embun pagi yang menyegarkan. Ia hadir memberi harapan bahwa toleransi masih hidup, dan bahkan tumbuh subur di ruang-ruang kelas pelosok negeri.
Dengan segala keterbatasan, mereka membuktikan bahwa membangun karakter bangsa tidak selalu harus dengan proyek besar. Cukup dengan hati yang tulus, niat yang kuat, dan langkah kecil yang konsisten, dan di antara hijaunya Gucialit, pelangi persaudaraan itu terus memancar dari sebuah sekolah negeri yang sederhana tapi penuh cinta. (MC Kab. Lumajang/Dindikbud/Ysn/An-m)