Belajar dari Anak Pulau Kei, Ketulusan dan Kepekaan Sosial yang Berakar dari Budaya Yelim

: Para pendeta di Klasis GPM PP Kei Kecil dan Kota Tual foto bersama usai pentabisan dan peresmian Gereja Elim. Foto : Rikhard


Oleh MC KAB MALUKU TENGGARA, Senin, 29 April 2024 | 21:14 WIB - Redaktur: Inda Susanti - 218


Langgur, InfoPublik – Masyarakat di Pulau Kei, Provinsi Maluku, sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan hidup. Salah satu budaya yang masih terpelihara adalah yelim.

Mengutip laman kemdikbud.go.id, yelim adalah suatu kegiatan bersama yang dilakukan dalam satu mata rumah (marga) berupa pemberian sumbangan uang, makanan dan material lainnya untuk membantu apabila ada saudara yang mengalami musibah atau kesusahan.

Ketua Majelis Pekerja Harian Sinode GPM, Pendeta Elifas Tomix Maspaitela mengatakan, budaya yelim di Pulau Kei merupakan satu akta kebudayaan yang membuat semua beban menjadi ringan.

Melalui yelim dari jemaat-jemaat dengan para pendeta, Gereja Protestan Maluku (GPM) mampu membangun kampus Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) di Suli dan aula Sitanala learning center di Ambon.

“Yelim adalah pemberian secara sukarela yang mengajari kita bahwa setiap ketulusan membuahkan berkat besar yaitu beban menjadi ringan,” ujarnya pada pentahbisan dan peresmian Gereja Elim di Desa Ohoidertawun, Minggu (28/4/2024).

Dia menerangkan, yelim adalah pemberian secara sukarela dari gambaran hati yang tulus dan wujud hidup yang menyatukan ain ni ain (kita adalah satu/saling memiliki) yang tidak bisa digantikan.

Maspaitela  mengklaim, di era modern ini tidak ada praktik budaya yang lahir dari ketulusan yang bisa mengalahkan budaya yelim.

Menurut dia, menjadi anak Kei itu berkat besar. Tak hanya mewarisi alam yang indah serta keluarga dan persaudaraan yang rukun, juga mewarisi hati yang tulus murni.

Di era modern dalam konteks masyarakat majemuk, sambung Maspaitela, yelim menjadi pelajaran bahwa hidup itu harus dibangun dari dasar ketulusan hati.

Dia mengungkapkan, setiap anak Kei memiliki kepekaan tinggi atas masalah-masalah kemanusiaan. Dari falsafah yelim, setiap anak Kei pasti ingin memberikan yang terbaik kepada semua orang.

“Sebab, dia lahir dari ketulusan hati seorang perempuan dan dibesarkan dalam budaya yang memandang bahwa jauh lebih indah memberi yang terbaik kepada saudara daripada membiarkan saudaranya hidup dalam kesusahan,” ujar Maspaitela yang juga merupakan anak Kei.

Dalam konteks kehidupan beragama, yelim mengajarkan bahwa kemanusiaan dan kehidupan adalah puncak dari semua bentuk kasih sayang dan ketulusan.

Maspaitela menambahkan, yelim tidak memandang perbedaan agama. Yelim adalah pemberian tanpa batas waktu, sebab itu yelim adalah jantung dari setiap agama dan tanpanya agama-agama kehilangan fungsi sebagai tiang moral dan etika.

“Karena setiap anak Kei memiliki hati yang putih maka mari menjaga keutuhan persaudaraan sebagai ain ni ain yang utuh. Terima kasih kepada setiap anak Kei yang telah membantu pelayanan Gereja Protestan Maluku,” pungkasnya. (MC Maluku Tenggara/Adolof Labetubun)