:
Oleh MC KOTA BENGKULU, Jumat, 23 Februari 2024 | 09:35 WIB - Redaktur: Kusnadi - 64
Bengkulu, InfoPublik - Seperti namanya, pernikahan dini merupakan pernikahan yang berlangsung pada pasangan yang belum berusia 19 tahun. Kondisi ini tidak hanya memicu munculnya banyak masalah.
Pernikahan dini memiliki berbagai risiko mulai dari risiko sosial, risiko kejiwaan dan resiko kesehatan.
Pertama, risiko sosial pernikahan dini secara sosial akan menjadi bahan pembicaraan teman-teman remaja dan masyarakat, sehingga remaja kurang dapat membicarakan masalah-masalah yang dihadapinya.
Seperti kita ketahui, pernikahan dini memberikan pengaruh bagi kesejahteraan keluarga dan dalam masyarakat secara keseluruhan. Wanita yang kurang berpendidikan dan tidak siap menjalankan perannya sebagai ibu akan kurang mampu untuk mendidik anaknya, sehingga anak tak tumbuh dan berkembang secara baik, yang dapat merugikan masa depan anak tersebut.
Kemudian, risiko kejiwaan pernikahan dini. Remaja apabila tidak mampu menghadapi problematika yang terjadi pada pernikahan dini akan lebih rentan terkena stress. Pasalnya, istri dan suami memerlukan kesiapan mental dalam menghadapi stres, jika wanita pada masa perkawinan usia muda menjadi hamil dan secara mental belum mantap, maka janin yang dikandungnya akan menjadi anak yang tidak dikehendaki ini berakibat buruk terhadap perkembangan jiwa anak sejak dalam kandungan.
Dan apabila anak tersebut lahir, biasanya ibu kurang memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak dan anak dianggap sebagai beban. Bahkan berbagai penelitian menyatakan bahwa 85% dari ibu muda yang hamil untuk pertama kali, mereka mengalami kecemasan setelah mengetahui dirinya hamil.
Pada intinya, risiko kehamilan usia dini merupakan kehamilan pada usia masih muda yang dapat merugikan. Pernikahan dini juga memiliki risiko kesehatan, terutama pasangan wanita pada saat mengalami kehamilan dan proses persalinan.
Kehamilan usia muda mempunyai dampak negatif terhadap kesejahteraan seorang remaja. Sebenarnya remaja tersebut belum siap mental untuk hamil, namunnkarena keadaan remaja yang terpaksa menerima kehamilan dengan risiko.
Adapun risiko kehamilan dan persalinan yang dapat dialami oleh remaja (usia dibawah 20 tahun) yaitu kurang darah (anemia). Pada masa kehamilan hal ini dapat berakibat buruk bagi janin yang dikandung, seperti pertumbuhan janin terlambat dan kelahiran bayi prematur.
Setelah itu, kurangnya gizi pada masa kehamilan dapat mengakibatkan perkembangan biologis dan kecerdasan janin menjadi terlambat, sehingga bayi dapat lahir dengan berat badan rendah, perdarahan dan persalinan lama, preklamsi dan eklamsi yang dapat membawa maut bagi ibu maupun bayinya, ketidakseimbangan besar bayi dengan lebar panggul biasanya akan mengakibatkan persalinan yang macet.
Apabila tidak diakhiri dengan operasi, maka keadaan ini akan menyebabkan kematian bagi ibu maupun bayinya, pasangan yang kurang siap untuk menerima kehamilan cenderung untuk mencoba melakukan pengguguran kandungan (aborsi) yang dapat berakibat
kematian bagi wanita, pada wanita yang menikah dini sebelum usia 20 tahun mempunyai risiko kira kira dua kali lipat untuk mendapat kanker serviks dibandingkan dengan wanita yang menikah pada umur yang lebih tua.
Pencegahan Pernikahan Dini Melalui Pendidikan Pranikah
Pendidikan pranikah sangat diperlukan, tak hanya kepada calon pengantin, namun juga kepada para remaja. Hal itu untuk memantapkan mental remaja sehingga dapat mencegah pernikahan dini, perceraian, hingga stunting.
Pendidikan pranikah yang diberikan sejak remaja ini dinilai dapat mencegah pernikahan dini.
Pendidikan sebelum melangsungkan pernikahan atau pranikah penting dilakukan tidak hanya pasangan calon pengantin, melainkan juga para remaja. Selain untuk mencegah dan mengurangi berbagai masalah sosial dan hak asasi manusia yang berhubungan dengan perkawinan dan keluarga, program tersebut juga sebagai upaya mencegah pernikahan usia anak dan perceraian.
Pendidikan pranikah akan membekali pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan bagi pasangan calon pengantin atau remaja usia pranikah, sehingga memiliki kesiapan dan kematangan yang memadai. Terutama kesiapan, fisik, biologis, dan menjadi orangtua.
Pasalnya, para remaja yang telah masuk usia pranikah dan pasangan calon pengantin, harus dibekali 10 pengetahuan penting. Di antaranya menyangkut Undang-Undang tentang Perkawinan, UU tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU tentang Perlindungan Anak.
Selain itu juga harus mengetahui pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan seksual, relasi dan pembagian peran atau tanggungjawab yang adil antara suami dan istri.
Oleh karena itu, pendidikan pranikah juga sebagai salah satu upaya pencegahan pernikahan anak. Karenanya, pemerintah dan masyarakat mempunyai peran penting dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Adapun strategi pencegahan perkawinan anak yang dapat dilakukan antara lain, penguatan regulasi dan penegakkan hukum yang proporsional terhadap kepentingan terbaik anak, penguatan efektivitas kapasitas SDM, penyedia layanan, koordinasi, sistem data dan informasi. Selain itu, fungsi pembinaan dan pengawasan, peningkatan pemahaman tentang perlindungan anak bagi pemangku kepentingan, masyarakat, keluarga dan anak.
Yang tak kalah penting ialah penguatan jejaring antara pemerintah dengan komunitas, media massa, lembaga masyarakat, peningkatan partisipasi anak dalam pembangunan sesuai tingkat kematangan usia, dan lain-lain.
Upaya Pemkot Cegah Pernikahan Dini Demi Tekan Angka Stunting
Menilik data perkawinan anak dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS 2023 lalu tercatat angka perkawinan anak di Indonesia terbilang cukup tinggi yaitu mencapai 1,2 juta kejadian. Dari jumlah tersebut proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin sebelum umur 18 tahun adalah 11,21% dari total jumlah anak.
Artinya, sekitar 1 dari 9 perempuan usia 20-24 tahun menikah saat usia anak. Jumlah ini berbanding kontras dengan laki-laki dimana 1 dari 100 laki-laki berumur 20 – 24 tahun menikah saat usia anak.
Menyikapi fenomena ini, Pemerintah Kota Bengkulu melalui DP3AP2KB melakukan berbagai upaya mencegah pernikahan usia dini di Kota Bengkulu, salah satunya dengan menjalankan program ketahanan remaja meliputi Bina Keluarga Remaja (BKR) dan Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R).
Seperti kita ketahui, Bina Keluarga Remaja merupakan program yang ditujukan kepada keluarga yang mempunyai remaja dengan tujuan untuk mewujudkan kepedulian dan tanggungjawab orangtua dalam membimbing dan membina anak dan remaja melalui interaksi yang harmonis.
Oleh karena itu, BPR ini dinilai sangat penting dalam mencegah terjadinya pernikahan usia dini, dikarenakan di kelompok BPK melakukan pertemuan dan pembinaan secara rutin terhadap orangtua yang mempunyai anak remaja.
"Orangtua mempunyai peran penting dalam keluarga untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan mengenai pernikahan usia dini," jelas Kepala DP3AP2KB Dewi Dharma, Jumat (23/2)
Kemudian, Kota Bengkulu juga melakukan pencegahan pernikahan usia dini dengan memberdayakan para remaja melalui program Generasi Berencana (GenRe).
GenRe alias Generasi Berencana adalah program yang bertujuan mengedukasi dan memberikan informasi kepada remaja Indonesia agar menjadi generasi yang punya perencanaan kehidupan yang matang. Program ini membidik remaja dan generasi muda di bawah 40 tahun ( Perempuan 21 tahun, Laki laki 25 Tahun). Karena adanya perubahan fokus dalam program dan rencana pelayanan kepada masyarakat , inilah yang melatar belakangi dibentuknya GenRe. Sehingga kesehatan reproduksi dan pembangunan keluarga menjadi program dalam kegiatan ini.
Isue terhadap Percepatan Penurunan Stunting pun menjadi alasan untuk melibatkan generasi muda untuk ikut berperan. GenRe mengajak generasi muda untuk punya perencanaan kehidupan berkeluarga. Sebelum memutuskan berkeluarga, pasti banyak tahap yang harus dilalui, misalnya merencanakan pendidikan, berkarier.
Dengan program tersebut, generasi muda mendapatkan informasi, teredukasi, bisa merencanakan kehidupan yang matang, agar melahirkan generasi sehat dan tumbuh kembang sesuai dengan usia,dengan status gizi baik.
"Para Duta GenRe yang telah terpilih diikutsertakan dalam mensosialisasikan pencegahan pernikahan usia dini di kalangan seumurannya dengan cara pendekatan persuasif. Selain dengan cara langsung, mereka juga melakukan sosialisasi melalui medsos," jelasnya.
Terakhir, dalam pembinaan remaja juga terdapat program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) yang membahas tentang tingkat kematangan usia perkawinan. Program PUP ini sangat bermanfaat bagi remaja karena dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta pertimbangan yang matang terkait dengan usia perkawinan yang tepat. (**)