:
Oleh MC KAB SIAK, Minggu, 11 Desember 2022 | 08:43 WIB - Redaktur: Kusnadi - 1K
Siak, InfoPublik - Selasa, 6 Desember 1759, inilah hari paling kelam dan paling memalukan bagi Belanda selama berurusan dengan Kerajaan Siak. Sebaliknya, pertempuran itu justru menjadi kemenangan terbesar Kerajaan Siak selama berurusan dengan Belanda.
Bermula dari kecerobohan Komandan Loji Pulau Guntung, Vandrig Hansen yang begitu percaya dengan omongan Sultan Mahmud Abdul Jalil Muzaffar Syah.
Sultan Mahmud yang dikenal juga bernama Tengku Buwang Asmara itu adalah anak kedua Raja Kecik (Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah), sultan pertama Kerajaan Siak. Dia memimpin dari 1746-1760.
Dalam buku berjudul "Belanda di Johor dan Siak" yang ditulis bekas Gubernur Belanda di Pesisir Barat Sumatera, Elisa Netscher, sebelum Hansen dan anak buahnya dihabisi, seorang Imam berketurunan Arab diutus dulu oleh Tengku Buwang menghadap Hansen ke Pulau Guntung, kini masuk wilayah Desa Selat Guntung Kecamatan Sabak Auh Kabupaten Siak, Provinsi Riau , itu.
Buwang berpesan, dia ingin berbaikan dengan Belanda. Untuk itulah dia mau mampir mengantar hadiah. Kebetulan Buwang sedang dalam perjalan pulang ke Siak usai menikahi putri Sultan Johor.
Isi pesan tadi sebenarnya hanya siasat yang telah disusun jauh-jauh hari dalam sebuah sidang kerajaan. Para peneliti kemudian menyebut siasat itu; 'Muslihat Bermartabat'.
Tapi entah kenapa kemudian, mendengar pesan tadi, girang Hansen tak ketulungan. Sampai-sampai dia tak lagi mau mendengar saran anak buahnya Hendrik Pothopen yang menaruh curiga dengan keinginan Tengku Buwang itu.
Tapi segirang-girangnya Hansen, dia tetap saja membatasi gerak rombongan Buwang kalaupun jadi mampir. Dia bilang kepada Imam begini, Silahkan sultan mampir tapi orang-orang yang ikut dengan dia tak boleh bawa senjata tajam.
Terus, kapal-kapal Sultan tak boleh merapat ke Loji, tunggu saja di laut, nanti rombongan akan dijemput pakai sekoci.
"Jengkel juga Sultan waktu itu. Tapi lantaran sudah kadung membikin strategi seperti itu, jengkelnya diredam, biar bisa masuk Loji," cerita Ellya Roza saat berbincang dengan media di rumahnya di kawasan Panam Pekanbaru, kemarin.
Singkat cerita, Selasa pagi itu, sekitar 80 orang pasukan terlatih Sultan, satu persatu masuk ke dalam Loji. Mereka menggotong sejumlah peti dan dulang berkaki. Semuanya ditutupi kain sutra warna-warni.
Padahal di dalam peti itu sesungguhnya bukan hadiah, tapi senjata keris dan sondang untuk dipakai memerangi serdadu kompeni itu di Loji nanti.
Tengku Buwang masuk, lima tembakan meriam sebagai penghormatan meletup ke udara. Hansen yang dikawal lima anak buahnya, sumringah menyambut.
Entah apa yang kemudian menggerakkan hati Hansen, sebab begitu Sultan duduk, sekitar 50 anak buah Sultan yang notabene panglima-panglima tangkas, diperbolehkan masuk dan langsung bersujud di kaki Sultan, "Apa yang akan kita perbuat yang mulia?" salah seorang di antaranya bertanya.
Spontan saja Sultan memberi aba-aba menyerang. Menantu Sultan, Said Umar memilih menghabisi Hansen yang nampak lengah. Lambungnya dihujam pakai keris Jambu Awan. Sementara yang lain menghabisi pengawal Hansen dan semua serdadu kompeni yang ada di Loji itu.
Hari itu juga, Loji yang juga sebagai benteng Belanda itu berhasil dikuasai Sultan dan pasukannya. Sekitar 50 buah kapal, semua perlengkapan dan alat perang yang ada di Pulau Guntung itu, dirampas.
"Di masa itu, posisi Pulau Guntung sangat strategis lantaran berada di gerbang masuk Sungai Siak. Sementara para saudagar yang keluar masuk daratan Sumatera, harus melintasi pulau itu. Maka Belanda pun memungut cukai di sana," ujar Ellya yang juga telah membukukan perjuangan Tengku Buwang itu enam tahun silam.
Meski Pulau Guntung sudah ditaklukkan, bukan berarti urusan Kerajaan Siak dengan Belanda kelar. Yang ada justru sebaliknya. Gubernur Jenderal Belanda di Melaka kecewa berat dengan aksi pembantaian massal itu meski gara-garanya Hansen yang tak becus.
Kekecewaan itu telah memicu kesumat. Itulah makanya, demi membalaskan dendam tadi, Daeng Kamboja di Riau- Lingga dan saudara Tengku Buwang, Raja Alam, dibujuk untuk ikut membombardir Kerajaan Siak.
Hanya Raja Alam yang mau. Itupun lantaran sejak lama lelaki ini sudah tak suka dengan Buwang yang lebih dipercaya Raja Kecik melanjutkan kepemimpinan di Kerajaan Siak.
Sampai Tengku Buwang mangkat pada 23 November 1760 lantaran sakit, tak terhitung entah sudah berapa kali pasukan Sultan dan Belanda terlibat pertempuran.
Oleh perjalanan panjang Sultan melawan Belanda inilah kemudian, sejak tiga tahun lalu, Pemerintah Kabupaten Siak berniat mengusulkan agar Tengku Buwang diangkat menjadi Pahlawan Nasional.
Sederet riset sudah dilakukan bahkan hingga ke Belanda dan Trengganu Malaysia. Bahkan sektsa wajah Tengku Buwang juga sudah dibikin oleh anak bekas orang dalam Kerajaan Siak, Orang Kaya (OK) Nijami Jamil.
Pertemuan juga sudah sering dilakukan, termasuk seminar lokal yang digelar di Siak Sri Indrapura 22 November lalu. Seminar nasional malah bakal digelar pada 13 Desember nanti.
"Dari sisi persyaratan, Tengku Buwang ini sudah memenuhi syarat menjadi Pahlawan Nasional dan rasanya data-data kita sudah lengkap untuk keperluan usulan itu," kata doktor sejarah dan budaya melayu Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini.mcsiak/07dp