Ketut Wiradnyana Serahkan Buku "Gayo Di Masa Lalu" kepada Gubernur Aceh dan DPRK Aceh Tengah

:


Oleh MC Kab Aceh Tengah, Minggu, 12 Desember 2021 | 19:10 WIB - Redaktur: Kusnadi - 377


Medan, InfoPublik - Gubernur Aceh, Nova Iriansyah diwakili Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Aceh, Jamaluddin, dan Wakil Ketua DPRK Aceh Tengah Edi Kurniawan menerima buku “Gayo di Masa Lalu” dari Kepala Balai Arkeologi Sumatera Utara (Balar Sumut) Dr. Ketut Wiradnyana, M.Si, disaksikan oleh Ketua Komisi B DPRK Aceh Tengah, Sukurdi Iska, Seniman/Budayawan Gayo, Fikar W Eda dan sejumlah pakar sejarah dan budaya Gayo. Buku berisi jejak kehidupan Gayo Prasejarah itu,  diserahkan oleh Ketut dalam acara “Dialog Menyusur Jejak Gayo Prasejarah” yang digelar di Aula Balai Arkeologi Sumut, Jumat (10/12/2021).

Buku “Gayo di Masa Lalu” diterbitkan oleh Balai Arkeologi Sumatera Utara  yang merupakan rangkuman dari hasil penelitian dan penggalian arkeologi di Ceruk Mendale, Ujung Karang di kawasan Kebayakan, Aceh Tengah. Buku ini mengupas tentang  kedatangan tiga kelompok manusia, membawa budaya berbeda pada era mesolitikum (zaman batu pertengahan) sampai era klasik.

Sekain kepada Pemerintah Aceh dan DPRK Aceh Tengah, Kepala Balar Sumut,  Ketut Wiradnyana juga menyerahkan 100 eksemplar buku tersebut  kepada Komunitas Gayo Prasejarah untuk selanjutnya didistribusikan kepada peserta wisata prasejarah dalam rangka Desember Kopi yang akan berlangsung dari tanggal 10 sampai dengan 18 Desember 2021 di Aceh Tengah. Buku tersebut berbentuk buku cerita bergambar, yang diterbitkan pada tahun 2019 yang lalu.

“Dengan format demikian akan mudah dipahami mulai dari anak-anak sekolah dasar sampai orang dewasa,” kata Ketut Wiradnyana tentang isi buku tersebut.

Lebih lanjut Ketut menyebutkan, dalam buku itu memuat kisah pra sejarah pada 12.000 tahun lalu, dimana Pulau Sumatera sudah dihuni oleh manusia  dengan postur tubuh tegap dan memilih tinggal di pinggir pantai. Lama kelamaan, karena kekurangan bahan makanan kelompok manusia ini mencari hunian baru dengan panduan sungai, sampai ke daerah pedalaman, hingga suatu ketika kelompok ini mencapai gua atau Loyang Mendale yang berada di tepi Danau Laut Tawar, Aceh Tengah sekarang. Memilih Loyang Mendale sebagai tempat hunian karena guanya luas dan terlindung, serta dekat dengan sumber air dan makanan. Kelompok ini membuat beberapa peralatan yang dapat mendukung kehidupan mereka, memanfaatkan batu, kayu dan sisa tulang binatang  maupun cangkang kerang.

Mereka juga sudah mengenal api untuk mengolah makanan, mereka juga sudah mampu membuat kapak dari batu kali, dan ada kalanya menambahkan tangkai dari kayu untuk memudahkan memegang dan menggunakannya. Manusia prasejarah juga bisa membuat jarum dari tulang binatang, membuat peralatan berburu seperti tombak maupun mata panah dari batu.

Kemudian pada kisaran 5.000 tahun silam datang kelompok kedua dengan postur tubuh berbeda dari kelompok pertama yang membawa budaya berbeda, kelompok kedua ini  adalah penutur bahasa Austronesia. Mereka sudah menggunakan peralatan baru, seperti gerabah atau tembikar dan anyaman.

Menurut Dr Ketut, kelompok pertama dan kelompok kedua hidup saling berbaur dan dengan damai di Loyang Mendale.

"Kelompok manusia Austronesia ini telah memiliki kemahiran membuat pola hias dengan cat warna merah pada tembikar," jelas Dr Ketut.

Tembikar-tembikar itu ada yang dihias dengan cara digores. Tembikar merupakan salah satu wadah  tempat air, tempat makanan dan keperluan religi. Kelompok ini sudah lebih mahir membuat peralatan berburu, kapak yang mereka buat  telah digosok lebih halus dan bertangkai.

Mereka juga membuat berbagai perhiasan dari kulit kerang berupa manik-manik dan gigi hewan. Manik-manik itu dibuat dengan cara melubangi kulit kerang atau tulang binatang dan dirangkai menjadi kalung  dan gelang. Ketika ada yang meninggal dunia, mereka perlakukan seperti manusia saat hidup. Kuburnya ada yang berbentuk oval dan melipatkan kaki mayat saat dikubur. Peneliti Balai Arkeologi Sumut menemukan beberapa model cara penguburan.

Selanjutnya, tambah Dr Ketut, pada kisaran 3.000 tahun lalu terjadi bencana letusan gunung berapi. Saat letusan sudah reda mereka kembali lagi ke tempat hunian awal di Mendale.

Berikutnya, jelas Ketut yang terjun langsung melakukan penelitian arkeologi di Ceruk Mendale, datang kelompok manusia ketiga pada 2.000 tahun silam, mereka juga tinggal di beberapa ceruk atau gua di tepi Danau Laut Tawar. Sebagaimana kelompok pertama dan kedua, manusia kelompok ketiga ini juga memiliki cara hidup yang sama yaitu berburu, menangkap ikan dan menanam umbi-umbian. Hanya saja kelompok ketiga ini sudah lebih  maju dalam membuat tembikar dan anyaman-anyaman, terutama dalam menghias tembikar dengan cara poles dan gores.

Berbagai bentuk wadah tembikar yang dihasilkan memiliki ciri  pola hias tersendiri dengan cara menghiasi seluruh bagian tembikar.

Dr Ketut menyebutkan baik kelompok pertama, kedua dan ketiga, sama-sama hidup berdampingan, kebudayaannya saling berbaur sehingga membentuk budaya baru yang diyakini sebagai cikal bakal budaya Gayo pada masa lampau.

"Kelompok-kelompok inilah yang kemudian membentuk etnis Gayo yang hidup sampai sekarang di wilayah budaya Gayo," Dr Ketut Wiradnyana menyimpulkan. (Fathan Muhammad Taufiq/MC Aceh Tengah)