:
Oleh MC PROV JAWA BARAT, Selasa, 26 Januari 2021 | 16:49 WIB - Redaktur: Kusnadi - 325
Garut, InfoPublik – Sebagai dinas yang concern terhadap pengendalian penduduk, Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBPPPA) Kabupaten Garut menemui beberapa hambatan dalam proses pengendalian penduduk di Kabupaten Garut.
Kepala Dinas DPPKBPPPA Kabupaten Garut, Yayan Waryana mengutarakan AKI/AKB atau Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi menjadi salah satu hambatan yang ditemui oleh dinasnya, karena angka AKI/AKB Kabupaten Garut pada tahun 2017 menjadi yang tertinggi di Jawa Barat (Jabar).
“AKI/AKB kita atau Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi cukup tinggi, sehingga di tahun 2020 kita mendapatkan peringkat ketiga dari 27 kabupaten/kota di Jawa Barat tertinggi, tetapi di 2017 sungguh dramatis angka kita tertinggi se-Jawa Barat, dengan angka kematian ibu 74 kasus, dan angka kematian bayi 333 kasus, ini sangat mencengangkan dan termasuk kejadian yang luar biasa,” ujar Yayan Waryana, di kantornya, Jalan Terusan Pahlawan, Kelurahan Sukagalih, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, belum lama ini.
Selain itu, lanjut Yayan, yang menjadi hambatan itu yakni keperansertaan masyarakat dalam program Keluarga Berencana (KB) Metode Jangka Panjang (MJP) di Kabupaten Garut masih sangat rendah, karena masyarakat masih banyak memilih alat kontrasepsi non MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka Panjang) seperti penggunaan pil, suntik, dan kondom.
“Sementara yang MJP ada IUD (yakni) alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR), ada Implan, ada MO, MO itu kan Medis Operasi ada prianya MOP dan wanitanya MOW, atau yang kita kenal tubektomi dan vasektomi ini masih tergolong rendah, baru mencapai sekitar 29,48 persen, artinya yang kepesertaan ber-KB dengan non MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka Panjang) itu jauh lebih besar, dan ini akan berakibat terhadap tingkat drop out, atau tingkat lepas pakainya cukup tinggi, dikarenakan alat kontrasepsi yang non MKJP ini sangat rentan untuk terjadinya lepas pakai alat kontrasepsi, atau kita kenal dengan drop out -nya cukup tinggi,” ujarnya.
Yayan mengatakan, angka PUS (Pasangan Usia Subur) yang ingin ber-KB tetapi belum terlayani masih cukup tinggi, bahkan melebihi angka rata-rata di Jabar.
“Angka cakupan PUS yang ingin ber-KB, tetapi belum terlayani atau dikenal dengan bahasa unmet need itu cukup tinggi kita melebihi dari Provinsi Jawa Barat, angka Provinsi Jawa Barat sekitar sembilan persen, dan Kabupaten Garut hampir 13,32 persen jadi melebihi dari rata-rata di tingkat Provinsi Jawa Barat,” ungkap Yayan.
Ia menjelaskan, hambatan disebabkan oleh beberapa hal seperti angka kemiskinan yang tinggi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang masih cukup rendah, serta angka pernikahan dini yang relatif tinggi.
“Nah sementara hambatan-hambatan yang kita hadapi tersebut ada beberapa penyebab dari hambatan tersebut, yang pertama misalnya angka kemiskinan di Kabupaten Garut cukup tinggi, kalau di 2019 kita ingin menurunkan angka 12,47 di 2020 kita ingin menurunkan sampai ke 9,27 artinya masih cukup tinggi angka kemiskinan kita sekitar 241.310 jiwa, dan IPM di Kabupaten Garut ini masih tergolong rendah masih di angka 62,23 di tahun 2019, dan ini (akan) dinaikan di tahun 2024 menjadi 65,42 poin. Nah penyebab-penyebab ini ditambah lagi dengan rata-rata usia kawin pertama wanita masih tergolong rendah yaitu di kisaran angka 18 tahun, jadi belum mencapai umur ideal dua puluh tahun,” tuturnya.
Yayan mengungkapkan, pihaknya saat ini kekurangan petugas lapangan KB, karena rasionya satu petugas masih menggarap empat sampai enam desa di Kabupaten Garut.
“Kemudian penyebab isu-isu strategis tadi yaitu rasio petugas lapangan KB yang PNS, ini dibanding dengan desa garapan, rasionya satu petugas masih menggarap empat sampai enam desa, jadi kita kekurangan petugas lapangan KB, sehingga dibantu oleh para TPD atau Tim Penggerak Desa maupun para TKK, sukwan dan pos KB atau institusi masyarakat, sehingga peran serta masyarakat masih tergolong rendah,” pungkasnya.