:
Oleh MC Provinsi Jawa Tengah, Senin, 25 Juli 2016 | 12:41 WIB - Redaktur: Kusnadi - 360
Magelang, InfoPublik – Sejak satu pekan terakhir, suasana berbeda tampak di Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang. Beragam properti seni berbahan baku alam seperti gunungan raksasa dan penjor terbuat dari jerami, bambu, maupun akar tumbuhan menghiasi beberapa sudut jalan serta pemukiman.
Suasana tersebut sengaja diciptakan para seniman lokal dan warga dalam rangka pagelaran Festival Lima Gunung (FLG) XV/2016. Festival seni budaya yang diselenggarakan seniman petani yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung (Sumbing, Merbabu, Andong, Merapi, dan Menoreh) tahun ini mengusung tema "Pala Kependhem". Artinya refleksi berbagai kekuatan ketahanan pangan dan nilai-nilai moral budaya yang tersimpan di masyarakat.
Kegiatan tahunan yang berlangsung mulai Selasa (19/7) ini, berlangsung meriah sampai puncak acara pada Minggu malam (24/7). Beragam kegiatan telah digelar sejak beberapa hari lalu, antara lain arak-arakan sesajen dan hasil bumi di puncak Gunung Wukir, pasar tiban, serta pagelaran puluhan seni budaya tradisional karya anak negeri.
Pada puncak kegiatan festival, ratusan warga dari berbagai daerah menyemut di kawasan antara lereng Merbabu dan Merapi untuk menyaksikan beragam pertunjukan kesenian dan ritual FLG . Hadir pula dalam acara tersebut, Gubernur Jateng H Ganjar Pramowo SH MIP, budayawan Romo Budi Subanar, Romo Sindhunata, serta sejumlah tokoh masyarakat.
Gubernur Ganjar dalam sambutannya mengatakan kegiatan beragam seni budaya tradisional yang ditampilkan FLG, setiap tahun selalu menarik dan mampu menyedot perhatian banyak orang. Untuk itu, pihaknya akan memasukan pagelaran kesenian tahunan tersebut dalam kalender event pariwisata Jateng.
"Festival Lima Gunung ke-15 ini semakin bagus, desain panggung juga lebih menarik. Bahkan ada sesuatu di bagian atas sehingga memaksa saya mendongak untuk melihatnya dan ini luar biasa. Saya mendorong ini (FLG) masuk dalam kalender event pariwisata Jateng," ujarnya pada puncak FLG XV/2016 di Lapangan Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (24/7).
Ia menjelaskan terkait paparan review penataan kawasan objek wisata Candi Borobudur beberapa hari lalu, menurutnya semua konsepnya tidak jelas. Termasuk konsep perencanaan penggunaan kawasan, pelibatan masyarakat, serta landscape.
Karenanya gubernur akan berkompromi dengan para seniman dan pengurus pariwisata konvensional untuk bersama-sama memajukan Borobudur. Termasuk melalui kegiatan seperti FLG yang terbukti mampu menarik banyak pengunjung dari berbagai daerah.
"Saya membayangkan antusiasme masyarakat ini dapat pula dihadirkan dalam ruang-ruang pariwisata yang juga disaksikan wisatawan dari berbagai negara. Saya harapkan FLG juga masuk dalam event di Borobudur. Sehingga kita dapat menunjukkan ke banyak pihak bahwa kita punya sesuatu yang unik dan menarik. Dan di desa ini pertunjukan FLG bikin orang-orang bahagia. Pesan saya terakhir jangan lupa bahagia," pungkasnya.
Dalam kesempatan itu, sembari menyaksikan beragam tontonan seni budaya kolaborasi Jateng dan Bali, gubernur juga menikmati suguhan aneka palawija, sesuai dengan tema festival, antara lain ubi, singkong, gembili, dan talas yang disajikan dalam wadah terbuat dari anyaman bambu dengan alunan gamelan dan tetabuhan alat musik lain. Para pengunjung duduk di lincak atau bangku dari bambu dan sebagian lainnya duduk lesehan di atas jerami, sehingga membuat acara semakin eksotik.
Sejumlah pementasan kesenian pada puncak festival tersebut, antara lain tari Jingkrak Sundang (Sanggar Saujan Keron), tari Gunungan (Sanggar Wonoseni Bandongan), tari Nila Tuaku (Elisabett Nila, Yogyakarta), tari Dua Sisi (Kirana Laksita Solo), serta tari Kuda Lumping yang dipadukan dengan tarian khas Bali (Sanggar Andong Jiwani Mantran Wetan Gunung Andong).
Tidak kalah menariknya, pagelaran sendratari Aryo Penangsang Gugur (Padepokan Wargo Budoyo Gejayan Gunung Merbabu). Pagelaran dibuka dengan tarian para bocah dan balita, serta atraksi menegangkan Titis Cahyo Mudo (Sanggar Cahyo Budoyo Sumbing), karena peserta aksi memakan api dan kertas, bahkan tidak sedikit yang kesurupan. (humas jateng/Kus)