- Oleh Putri
- Selasa, 5 November 2024 | 05:34 WIB
: Ilustrasi/Foto: Kemenkes
Jakarta, InfoPublik - Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Aji Muhawarman mengungkapkan bahwa pemerintah telah mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar Rp217,3 triliun untuk 2025.
Anggaran itu mencakup enam persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, meskipun ketentuan mandatory spending atau kewajiban alokasi anggaran untuk kesehatan telah dihapus dalam Undang-Undang Kesehatan No 17 Tahun 2023.
“Dengan alokasi sebesar enam persen ini, pemerintah menunjukkan komitmennya untuk mengelola anggaran kesehatan secara efektif dan efisien demi peningkatan kualitas serta akses layanan kesehatan,” ujar Aji dalam konferensi pers pada Senin (4/11/2024).
Dari total anggaran tersebut, Kemenkes akan mengelola sekitar Rp129,8 triliun. Rincian alokasinya, Rp105,6 triliun dikelola oleh Kemenkes, sementara Rp24,2 triliun akan disalurkan kepada pemerintah daerah dalam bentuk dana alokasi khusus fisik dan nonfisik.
Dana ini akan digunakan untuk mendukung berbagai program unggulan Presiden Prabowo Subianto dalam mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang sehat dan produktif, serta menyukseskan agenda transformasi kesehatan.
Program cepat yang dicanangkan Presiden di bidang kesehatan yang akan dilaksanakan mulai 2025 antara lain pemeriksaan kesehatan gratis, penurunan kasus tuberkulosis (TB), dan peningkatan fasilitas rumah sakit daerah kelas D/D pratama menjadi kelas C.
Program strategis Kemenkes lainnya mencakup percepatan penurunan stunting melalui pemberian makanan bergizi bagi ibu hamil, menyusui, dan balita, serta pengendalian penyakit menular seperti malaria dan AIDS.
Selain itu, anggaran kesehatan 2025 juga akan mencakup penguatan akses dan layanan kesehatan di seluruh daerah, peningkatan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), penyediaan sarana dan prasarana, serta memperkuat kemandirian industri farmasi dalam negeri.
Untuk mendukung berbagai program strategis tersebut, pemerintah juga mengalokasikan dana untuk pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan. Peningkatan kapasitas dan keterampilan SDM kesehatan menjadi prioritas untuk meningkatkan kualitas dan distribusi tenaga kesehatan yang lebih merata.
“Dengan anggaran kesehatan yang lebih besar, kami berharap dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan,” kata Aji.
Penting untuk dicatat bahwa penghapusan mandatory spending dari UU Kesehatan bertujuan untuk merubah paradigma belanja kesehatan. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berupaya agar alokasi anggaran tidak lagi bersifat wajib untuk dihabiskan, melainkan berbasis kebutuhan program kesehatan.
Sebelum penerapan UU Kesehatan, Aji menjelaskan bahwa program kesehatan sering kali disusun dengan paradigma yang menekankan pada penggunaan lima persen kewajiban alokasi anggaran. Hal ini sering kali mendorong terciptanya program yang tidak efektif, contohnya, anggaran untuk stunting yang digunakan untuk renovasi pagar Puskesmas.
“Dalam paradigma baru, anggaran dibuat berdasarkan kebutuhan dan program yang akan dijalankan, sehingga lebih tepat sasaran. Oleh karena itu, isu yang beredar bahwa penghapusan mandatory spending di UU Kesehatan akan mengurangi anggaran kesehatan ke depannya adalah tidak benar,” tegas Aji.