- Oleh Jhon Rico
- Selasa, 26 November 2024 | 09:40 WIB
: Foto: Kemenkes
Oleh Putri, Sabtu, 5 Oktober 2024 | 00:54 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 246
Jakarta InfoPublik - Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengatakan bahwa pasien yang mengalami infeksi akibat resistensi obat antibiotika, penanganannya harus dilakukan dengan tepat.
Kondisi dan gejala pasien akan menjadi pertimbangan apakah diperlukan perawatan di rumah sakit atau tidak. Biasanya memang benar, pasien dikatakan resisten karena gejalanya sudah berat, disuntik obat A tidak mempan.
"Faktor lainnya, karena tidak dilakukan uji kultur. Idealnya, pasien yang sudah resisten harus melakukan uji kultur. Proses ini agak lama, sekitar dua mingguan pemeriksaannya,” kata Syahril melalui keterangan resminya Jumat (4/10/2024).
Lanjutnya, penyakit infeksi termasuk infeksi akibat resistensi obat antibiotika, dapat menular. Oleh karena itu, pasien yang dirawat harus diisolasi agar tidak bercampur dengan pasien lain yang mengalami penyakit berbeda, seperti diabetes atau kanker.
Jika bakteri resisten di dalam tubuh pasien sendiri, Syahril mengatakan maka gejalanya akan menjadi berat dan juga sangat menulari, misalnya, tuberkulosis (TB). Apabila bakteri TB resisten terhadap obat antibiotika, tentunya bahaya buat pasien itu sendiri.
"Dia harus minum obat oral dan suntik dalam jangka waktu yang lebih panjang. Lalu, bakterinya jauh lebih berbahaya dan menular kepada orang lain daripada (bakteri) yang tidak resisten," kata Syahril.
Oleh karena itu, ia kembali mengingatkan agar para dokter tidak terlalu cepat memberikan obat antibiotika kepada pasien. Tindakan itu dapat menjadi salah satu penyebab utama resistensi obat.
“Di negara-negara yang sudah maju, dokter diawasi dalam memberikan obat antibiotika. Kadang-kadang, pasien atau keluarga juga mengatakan kepada dokter supaya jangan dikasih obat antibiotika dulu,” kata Syahril.