:
Oleh H. A. Azwar, Selasa, 29 Agustus 2017 | 18:01 WIB - Redaktur: Juli - 358
Jakarta, InfoPublik - Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Muhammad Hanif Dhakiri menyatakan saat memasuki puncak bonus demografi, kualitas SDM Indonesia harus berada pada posisi kualitas yang baik.
Selain itu, dibutuhkan pula tenaga kerja terampil dan kompeten yang siap bersaing di pasar kerja dan industri. "Kalau tidak dikelola dan disiapkan dengan baik, maka bonus demografi akan menjadi bencana. Tetapi, jika dikelola dengan baik akan menjadi kekuatan besar," kata Hanif saat menjadi pembicara pada acara Seminar Nasional Pemanfaatan Demografi Indonesia yang diselenggarakan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/BAPPENAS) pada Selasa (29/8).
Menurutnya, bonus demografi akan menjadi berkah jika angkatan kerja produktif yang mendominasi jumlah penduduk bisa terserap pada pasar kerja secara baik. Sebaliknya, bonus demografi menjadi bencana demografi jika angkatan kerja tidak terserap pasar kerja dengan baik.
"Bonus demografi adalah suatu kondisi dimana jumlah penduduk produktif atau angkatan kerja (usia 15-64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk yang tidak produktif (di bawah 5 tahun dan di atas 64 tahun). Tahun 2020 -2030, Indonesia akan memasuki bonusi demografi. Pada rentan waktu tersebut, diperkirakan penduduk usia produktif Indonesia akan mencapai 70 persen," ujarnya.
Hasil riset dari McKinsey Global Institute memaparkan bahwa Indonesia akan menjadi negara dengan perekonomian terbesar ketujuh secara global pada 2030. Hal ini disebabkan, pada masa itu nantinya Indonesia akan mengalami bonus demografi.
"Untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara perekonomian terbesar ketujuh di dunia, maka 15 tahun ke depan, masih diperlukan penambahan tenaga terampil (skilled workers) sebanyak 3,8 juta orang setiap tahunnya. Data tahun 2015, tenaga terampil Indonesia sebanyak 56 juta orang," papar Hanif.
Menurut Hanif, saat ini lulusan perguruan tinggi di Indonesia per tahun mencapai sekitar 800 ribu orang. Jika diasumsikan seluruh lulusan tersebut memiliki kompetensi yang bagus, jumlahnya masih kurang. "Maka untuk menambah tenaga terampil sebanyak 3,8 juta orang per tahun, sudah terbukti tidak dapat hanya mengandalkan jalur pendidikan, tapi kita juga butuh terobosan dari pendidikan vokasi dan pelatihan kerja," ujar Hanif.
Untuk membangun SDM yang berkualitas, saat ini Kemnaker melakukan beberapa terobosan. "Bagi angkatan kerja lulusan SD/SMP, kami tingkatkan kompetensinya dengan pelatihan di Balai Latihan Kerja (BLK)," ujar Hanif.
Selain itu, kata Hanif, Kemnaker juga mencanangkan pemagangan berbasis kompetensi bagi angkatan kerja yang ingin meningkatkan keterampilan. Hingga saat ini, lanjut Hanif, banyak status pendidikan yang tidak sesuai dengan kompetensinya. Misalnya, lulusan S1 tetapi tidak bisa melakukan pekerjaan yang seharusnya mereka kuasai. dari 15,27 juta orang PYB (penduduk yang bekerja) lulusan perguruan tinggi hanya 5,75 juta orang (37,65 persen) yang jurusan pendidikannya sesuai dengan jabatan pekerjaanya.
Di sisi lain di saat ekonomi telah berbasis pengetahuan dan teknologi sekarang ini, maka yang perlu dilakukan adalah bagaimana mensinkronkan kualitas SDM dengan perkembangan teknologi.
"Perkembangan teknologi akan membunuh pekerjaan lama, tapi juga akan menciptakan pekerjaan baru. Namun, dituntut SDM yang lebih berkualitas. Karakter pekerjaaan kita terus berubah, tapi sisi penawarannya (supply) cukup lambat untuk berubah," kata Hanif.
Sementara itu, Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, untuk membangun ekonomi yang kuat, tidak hanya dengan menciptakan tenaga kerja yang bagus. "Kita juga harus menciptakan wirausahawan muda, dengan demikian perekonomian Indonesia bisa semakin kuat," ujar Bambang.